olahraga. Semuanya mungkin terjadi. Namun, ketidakmungkinan yang bisa menjadi mungkin itu juga bukan semudah seorang pesulap yang tinggal mengucapkan mantranya agar aksi sulapnya terjadi.
Tidak ada yang tidak mungkin terjadi di lapanganSebab, di lapangan olahraga, ada banyak faktor yang membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin. Di antaranya kesiapan, ketenangan, motivasi berlipat dari mereka yang dianggap tidak mungkin menang, hingga bantuan keberuntungan.
Seperti juga kita yang sempat memiliki harapan tunggal putri Indonesia bisa melangkah jauh, bahkan mungkin juara di turnamen bulutangkis Indonesia Open 2019. Meski sulit, siapa tahu harapan itu mungkin terjadi. Siapa tahu, tunggal putri Indonesia bisa "meledak" karena tampil di Istora, di depan pendukungnya sendiri.
Namun, sekali lagi, kemungkinan itu tidak cukup dengan mengucapkan mantra seperti pesulap. Yang terjadi hari ini, kita harus menerima kenyataan pahit. Empat wakil tunggal putri Indonesia di Indonesia Open 2019, sudah habis di babak awal. Ini menyusul kekalahan Gregoria Mariska Tunjung dari pemain top Thailand, Ratchanok Intanon.
Gregoria yang menjadi satu-satunya tunggal putri Indonesia yang masih tampil di putaran II, belum mampu membuat kejutan. Dia kalah rubber game (tiga game) dari Intanon 21-13, 19-21, 15-21, Kamis (18/7) siang.
Sebelumnya, 3 tunggal putri Indonesia langsung tereliminasi di putaran pertama yang dimainkan pada Selasa (16/7) dan Rabu (17/7). Diawali kekalahan Rusellli Hartawan yang takluk straight game dari Intanon 14-21, 14-21. Lalu Lyanny Alessandra Mainaky kalah rubber game dari pemain Amerika Serikat, Zhang Beiwen.
Hasil pahit juga diterima salah satu tunggal putri andalan Indonesia, Fitriani yang memang "ketiban sial". Fitri harus langsung bertemu pemain terbaik Tiongkok yang menjadi unggulan 2, Chen Yufei. Fitri kalah 7-21, 19-21 dari juara All England Open 2019 tersebut.
Meski kalah, perjuangan Gregoria Mariska layak diapresiasi
Tetapi memang, di turnamen BWF World Tour level Super 1000 (level tertinggi) seperti Indonesia Open, tidak ada lawan mudah. Semua pemain harus siap menghadapi siapapun, termasuk unggulan utama.
Alur cerita seperti itu juga disadari oleh Gregoria Mariska Tunjung. Setelah tampil hebat di putaran pertama ketika mengalahkan pemain masa depan Thailand, Pornpawee Chochuwong dengan "skor aduhai", 21-10, 21-8 (16/7), rute drawing mempertemukan pemain kelahiran Wonogiri berusia 19 tahun ini dengan Intanon.
Secara kualitas permainan, Intanon jelas berbeda dengan Porpawee Chochuwong. Meski, secara usia tidak terlalu berbeda jauh, Intanon (24 tahun) dan Chochuwong (21 tahun), tetapi jam terbang keduanya berbeda jauh.
Predikat Intanon sebagai juara dunia 2013 dan juara Asia 2015 serta 3 kali juara BWF World Tour dan 6 kali juara BWf Superseries, tentu berbeda dengan Chochuwong yang merupakan peraih medali perunggu SEA Games 2017 dan 3 kali juara turnamen level International Challenge (di bawah Super Series).