Acara Rating Kota Cerdas Indonesia yang digelar di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (12/7), menyita perhatian awak media. Bukan hanya karena acara tersebut dibuka oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafrudin, serta para pemimpin daerah.
Namun, yang menjadi sorotan media adalah pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika membuka acara tersebut. Wapres JK menyinggung kepala daerah yang selama ini sibuk melakukan studi banding ke luar negeri.
Menurut Pak Wapres, opsi studi banding tidak hanya dilakukan di luar negeri. Tetapi juga bisa melakukan kunjungan kerja ke kota lain di dalam negeri yang memang berprestasi dan bisa menjadi percontohan. Sebab, terpenting dari studi banding adalah implementasi dengan menerapkan hasilnya dalam pembangunan kotanya.
"Jangan hanya kita studi banding ke Singapura, ke Tokyo atau kemana saja. Tapi melaksanakannya dengan baik," begitu kata Pak JK saat membuka peresmian pembukaan Rating Kota Cerdas Indonesia di Istana Wakil Presiden.
"Jadi studi banding ke kota-kota lain, Surabaya bersih, atau Tangerang baik, ya studi banding ke situ. Nggak usah pergi ke Singapura terlalu jauh, dan lebih murah kalau studi banding yang ke situ," sambung Wapres.
Sebenarnya, pernyataan lebih tepatnya saran dari Pak JK itu wajar-wajar. Sebagai wakil presiden, wajar bila pak JK menyebarkan semangat positif agar kepala daerah saling belajar satu sama lain dalam membangun daerahnya. Pendek kata, sesama kepala daerah harus saling berkolaborasi. Bukan sebaliknya.
"Maka dalam kesempatan ini, kenapa perlu wali kota dan bupati bersama berkumpul, supaya saling belajar dan saling melihat. Tidak perlu cerdas sekali untuk pintar," sambung Pak JK.
Namun, di jagat dunia maya, pernyataan Wapres JK itu dimaknai berbeda. Netizen menganggap pernyataan Pak JK itu tidak hanya disampaikan kepada para kepala daerah yang hadir di acara itu. Tetapi juga merupakan bentuk sindiran kepada Gubernur Jakarta, Anies Baswedan.
Dalam beberapa laman komentar di beberapa media daring yang memberitakan acara tersebut, mudah menemukan beberapa komentar kritis netizen yang menghubungkan pernyataan pak JK dengan kepergian Anies.Â
"Ini nyindir ya," tulis salah seorang netizen.
Dan memang, sebuah kebetulan, ketika acara tersebut digelar, Anies Baswedan sedang berada di luar negeri. Dikutip dari CNN Indonesia, Anies berada di Medellin, Kolombia, untuk menghadiri undangan menghadiri acara World Cities Summit. Dia berangkat Selasa (9/7) pagi. Di sana, Anies mengatakan dirinya akan menjadi salah satu pembicara.
World Cities Summit dalam laman resminya, acimedellin.org menjelaskan bahwa ratusan kepala daerah di sejumlah negara di dunia akan hadir dalam pertemuan itu. Para kepala daerah akan membahas mengenai inovasi, kepemerintahan dan budaya negara.
Masih menurut CNN Indonesia, sebelum pergi ke Kolombia, Anies juga sempat terbang ke luar negeri, yakni Jepang pada Mei 2019. Ia terbang untuk keperluan pertemuan Urban Mayor Summit di Tokyo dan Singapura pada Mei 2019 tentang Perencanaan Pembangunan Kota.
Berita di CNN Indonesia ini pun banjir komentar dari warganet, baik yang mendukung Anies maupun sebaliknya. Silang pendapat terjadi.
Mereka yang mendukung, ada yang menulis begini: "Maju terus pak Anies, jadilah pemimpin yang bisa menularkan buah pikir positif bagi masyarakat dunia umumnya khususnya masyarakat Indonesia yang masih melek dengan ilmu, bukan hedonisme semata. Ada pula yang menulis "gubernur rasa presiden".
Namun, masih lebih banyak warganet yang berkomentar tidak mendukung. Ada yang menulis begini: "mau terbang ke seluruh dunia mana aja sih gak masalah, tapi hasilnya buat Jakarta apa?". Juga ada yang berkomentar "asik te perjalanan dinas pake duit rakyat".
Saran Pak JK bisa menjadi "cermin" bagi kepala daerah
Sebenarnya, saran dari Pak JK tersebut tidak perlu disimpulkan hanya ditujukan kepada satu atau dua orang pemimpin daerah. Namun, kepada semua pemimpin daerah. Saran tersebut bisa menjadi "cermin" untuk bercermin dan intropeksi apakah selama ini mereka memang senang pergi ke luar negeri.
Terlebih, studi banding atau apapun nama kegiatan di luar negeri, bukan sekali ini terjadi. Sejak dulu, agenda ini acapkali menuai pro kontra. Ada yang berpendapat bila kegiatan ke luar negeri sekadar plesir dan membuang anggaran serta tidak ada manfaatnya. Benarkah?
Sebenarnya, menyebut studi banding ke luar negeri tidak ada manfaatnya sama sekali juga kurang tepat. Kunjungan ke tempat, apalagi bisa dicontoh merupakan salah satu sumber informasi yang berharga. Observasi secara langsung, bertemu masyarakat dengan kebiasaan dan istem yang berbeda, tentu sesuatu yang bernilai.
Hanya saja, terpenting sejatinya bukan kegiatannya itu. Namun, lebih kepada output yang ditetapkan untuk dicapai dalam kunjungan itu. Apakah hasil kunjungan ke luar negeri itu memang memberikan pengaruh nyata yang bisa diterapkan di kota sendiri. Ataukah sekadar melihat, mendapat wawasan baru lantas tidak pernah diaplikasikan.
Itulah "cermin" yang dimaksud. Bahwa, pernyataan Pak JK tersebut bisa menjadi pengingat bagi para kepala daerah yang selama ini cukup sering ke luar negeri ataupun mereka yang akan studi banding ke luar negeri.Â
Sebuah pengingat: "apa iya memang penting berkegiatan ke luar negeri yang tentu saja membutuhkan anggaran cukup besar"? Atau sekadar ingin terlihat 'keren'.
Jangan hanya agar terlihat keren
Bila tujuannya untuk mendapatkan output positif yang bisa diterapkan demi perbaikan kota, sejatinya studi banding kepala daerah, tidak melulu harus ke luar negeri. Toh, beberapa kota/kabupaten di Indonesia juga punya prestasi tingkat dunia dan layak dijadikan percontohan.
Namun, beda cerita bila berkegiatan ke luar negeri karena hanya ingin dianggap terlihat keren. Jadi yang dipikirkan bukan esensi dari kegiatannya, tetapi 'bungkus dari kegiatannya asal terlihat bergengsi.
Mungkin saja masih ada yang beranggapan, bila melakukan studi ke kota-kota di negeri sendiri, tentunya hanya bersifat regional. Kurang keren. Bandingkan bila ke luar negeri yang sifatnya global dan mendunia.
Bila pandangan seperti itu dipelihara, ya mau sampai kapan agenda ke luar negeri pada kepala daerah bisa mendatangkan hasil yang benar-benar bermanfaat bagi daerah yang dipimpinnya.
Jangan gengsi studi ke "kota tetangga" bila ternyata lebih bermanfaat
Sebenarnya, studi banding ke kota-kota di dalam negeri yang memang layak menjadi percontohan, akan lebih memberikan kemanfaatan bagi kepala daerah dan daerah yang dipimpinnya.
Contohnya, studi banding ke kota yang telah mampu menerapkan sistem pemerintahan berbasis e-government dengan baik sehingga mampu meminimalisir praktik korupsi bagi pejabat pemerintah daerahnya.
Atau juga kota yang mampu menata kotanya sehingga mendapatkan banyak penghargaan internasional dan menjadi destinasi bagi para investor untuk berinvestasi yang tentu saja menggairahkan perekonomian di kota tersebut.
Sebut saja Kota Surabaya yang selama ini telah mendapatkan banyak prestasi tingkat dunia. Utamanya dalam hal menata kota. Diantaranya penghargaan Lee Kuan Yew World City Prize dari Urban Development Authority (URA) dan Center Liveable Cities (CLC) berkat program Peningkatan Kampung Unggulan dan Pahlawan Ekonomi.
Bahkan, tidak hanya melihat kotanya, para kepala daerah juga bisa 'menimba ilmu' secara langsung kepada Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang memiliki 'jam terbang' tinggi dalam keberhasilan menata kota maupun pergaulan di dunia internasional. Dikutip dari Tribunnews, Bu Risma pernah menjadi pembicara acara One Planet Summit di New York pada (26/9/2018) dan menjadi satu-satunya wali kota yang menjadi pembicara.
Terlebih, ongkos studi banding di dalam negeri tentunya lebih murah dibandingkan ke luar negeri. Padahal, pejabat melakukan studi banding tentunya tidak memakai anggaran pribadi.
Selain itu, dengan studi banding di dalam negeri, kiranya hasilnya akan lebih mudah diaplikasikan oleh sang kepala daerah di daerahnya. Sebab, kota-kota di Indonesia tentunya memiliki beberapa kesamaan karakter. Termasuk juga kesamaan karakter wilayahnya ataupun sistem dalam mengelola pemerintah daerah.
Karenanya, semoga pernyataan Pak JK itu membuka pemahaman baru bagi kepala daerah bahwa bukan lagi zamannya studi banding demi gengsi. Terpenting adalah esensinya bagi perubahan dan kemajuan daerah yang dipimpinnya.
Terpenting lagi, sudah saatnya antar pendukung kepala daerah juga tidak saling baperan (bawa perasaan) ketika membanding-bandingkan pemimpin daerah satu dengan lainnya. Apalagi bila mengaitkannya dengan agenda 2024 mendatang. Membandingkan dalam koridor positif untuk memotivasi sih sah-sah saja.
Selama ini, tidak sedikit pendukung kepala daerah yang over fanatik sehingga hanya melihat sisi bagus pemimpinnya tetapi seolah menutup mata bila masih ada kekurangan dari hasil kinerjanya. Yang terjadi, malah nyinyir menyindir pemimpin kota tetangganya. Bila seperti itu yang terjadi akan bak pepatah "gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan kelihatan".Â
Bukankah akan indah bila sesama kepala daerah saling dukung dan pendukungnya juga rukun dan saling menasehati dalam hal kebaikan. Seperti semangatnya Pak JK, agar kepala daerah saling belajar satu sama lain dalam membangun daerahnya, sesama kepala daerah harus saling berkolaborasi. Pak Jokowi dan Pak Prabowo saja sudah salaman, apa iya pendukung kepala daerah masih gegeran. Salam Â
Referensi:
JK Minta Kepala Daerah Tak Melulu Studi Banding ke Luar Negeri
Anies Terbang ke Kolombia, Jadi Pembicara World Cities Summit
Surabaya Raih 10 Penghargaan Internasional dalam 2 TahunTerakhir: Kini Sejajar Kota-kota Besar Dunia
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H