Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kisah Panggung Pertama Ebiet G Ade dan Balada Penulis Pemula

1 Juli 2019   16:39 Diperbarui: 3 Juli 2019   20:58 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ebiet G Ade tampil di Syncronize Fest 2017 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (7/10/2017). Festival musik yang berlangsung selama tiga hari hingga Minggu (8/10/2017) tersebut menampilkan beberapa musisi di antaranya ada Bangkutaman, Jason Ranti, Adhitya Sofyan, Float, Pee Wee Gaskins, Indische Party, dan Hello Dangdut. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO (KRISTIANTO PURNOMO).

Penyanyi legendaris Indonesia, Ebiet G Ade (65 tahun) ketika menjadi bintang tamu di acara Mata Najwa bertajuk "Panggung Ebiet G Ade" beberapa waktu lalu, sempat berkisah tentang 'konser' pertamanya sebagai penyanyi.

Ebiet yang lagu-lagunya 'tidak pernah tua' meski sudah berumur 40 tahun-an, bercerita banyak hal. Termasuk cerita dari beberapa sahabatnya.

Salah satunya cerita tentang pengalaman pertamanya naik panggung ketika tampil di acara Ramadan di kampus UGM bersama Emha Ainun Nadjib pada tahun 1976.

Sahabat Ebiet G Ade, Eko Tunas, lantas berkisah betapa panggung pertama yang digelar seusai Tarawih di kampus UGM itu berakhir "tragis". Tragis karena Ebiet dan Emha ditinggalkan penonton sebelum sempat menunjukkan kepiawaian bernyanyi dan memainkan gitar juga berpuisi. Hanya tinggal tikar di depan panggung yang menjadi 'penonton bisu' aksi mereka.

"Zaman itu belum dikenal, siapa itu Ebiet G Ade," ujar Eko Tunas, yang mengaku sebagai 'manajer pertama' dan tukang bawa gitar Ebiet G Ade.

Sebelumnya, dalam sesi tanya jawab dengan hot.detik.com seputar hal pertama dalam hidupnya pada pertengahan 2017 lalu, Ebiet juga berkisah tentang pengalaman panggung pertamanya tersebut.

Dia menggambarkan betapa momentum naik panggung ketika itu memang tidak tepat. Orang memilih pulang setelah menunaikan sholat tarawih. "Apalagi, persiapan kami lama, karena bukan profesional, mungkin yang hadir bosan," ujarnya.

Nah, yang menarik adalah cerita berikutnya. Setelah insiden ditinggal penonton tersebut, beberapa waktu kemudian, Ebiet menjelma sebagai penyanyi tenar. Dia sudah masuk dapur rekaman di tahun 1979 di bawah label Jackson Records dan lagu-lagunya 'meledak'. 

Diantaranya lagu Camelia 1, Camelia 2, Berita Kepada Kawan, kemudian berlanjut album ketiga dan keempat di tahun 1980 dengan lagu hits seperti Camelia III, Elegi Esok Pagi, Nyanyian Rindu dan Titip Rindu Buat Ayah.

Menariknya, Ebiet lantas berkesempatan untuk kembali tampil di kampus UGM. Kali ini dengan predikat sebagai penyanyi top, bukan lagi pendatang baru. Lucunya, ketika tampil, dia menyebut sempat 'membalas' perlakuan penonton di UGM beberapa tahun sebelumnya.

"Saya balas waktu sudah rekaman, saya datang ke sana lagi yang nonton banyak sekali. Saya lalu pura-pura meninggalkan panggung. Tapi hanya pura-pura," ujar Ebiet sembari terkekeh. 

Inspirasi dari Panggung Pertama Ebiet G Ade Bagi "Tukang Nulis"

Nah, berkorelasi dengan kisah panggung pertama Ebiet G Ade tersebut, saya tertarik menyambungkan benang merah cerita tersebut dengan pengalaman kita. Saya yakin, kisah Ebiet G Ade tersebut juga pernah dirasakan oleh banyak orang dalam berbagai profesi ketika mendapatkan kesempatan "panggung pertama".

Sampean (Anda) yang bekerja sebagai pembawa acara, mungkin pernah merasakan betapa gugupnya naik panggung di awal tampil membawakan acara. Sampean yang bekerja di media massa, mungkin merasakan betapa tidak mudahnya mewawancara tokoh yang diidolakan (ini pengalaman pribadi hehe). Termasuk kita yang dulunya mengawali sebagai 'pendatang baru' di Kompasiana.

Seperti halnya kisah panggung pertama Ebiet G Ade, kita mungkin pernah merasakan betapa tidak mudahnya meyakinkan orang lain agar mau melihat "karya kita" ketika masih berstatus bukan siapa-siapa. Terlebih, 'demam panggung' dan tidak percaya diri, terkadang datang tiba-tiba.

Ketika menulis, setiap orang pastinya memiliki motivasi bermacam-macam. Ada yang ingin mendapatkan keuntungan materi, ada yang ingin menjadikan tulisan sebagai media "menjual diri" alias personal branding. Ada juga yang ingin menambah kawan. Serta, sekadar ingin menuangkan gagasan ke dalam tulisan.

Terlepas dari semua motivasi itu, tidak sedikit yang berharap agar tulisan mereka dibaca banyak orang. Tentu saja itu harapan yang lumrah. Harapan seperti itupula yang dimiliki beberapa mahasiswa yang setiap Senin, saya bertemu mereka di kelas. Sekadar untuk membagikan "ilmu menulis".

Sejak awal bertemu, saya senang menyelipkan motivasi agar mereka gemar menulis. Singkat cerita, sebulan sebelum puasa, mahasiswa-mahasiswa itu mendapat tugas meliput acara lantas hasil reportasenya wajib ditulis di Kompasiana.

Sebelumnya, saya sempat 'mengkampanyekan' Kompasiana di kelas. Dari mulai cara membuat akun, kemudahan dalam menulis, serta 'kenikmatan' yang bisa mereka rasakan. Karena tugas, semuanya menulis. Namun, setelah menulis, reaksi yang muncul berbeda-beda.

Saya lantas dicecar pertanyaan, lebih tepatnya dihujani keluhan. Banyak yang berkisah perihal tulisan yang mereka tayangkan di Kompasiana, ternyata sepi pembaca. Sedikit saja yang mau melirik tulisan mereka.

Kabar buruknya, sepinya pembaca itu membuat semangat mereka untuk aktif di Kompasiana, tidak lagi sebesar ketika mendaftar. Sepekan kemudian, ketika saya kembali bertanya, apakah masih ada yang menulis di Kompasiana, kelas terdiam. Sebagian besar berhenti menulis. Meski, masih ada yang cukup rajin menulis.

Ternyata memang, tidak mudah untuk mengajak orang agar bisa konsisten menulis. Petuah bijak yang acapkali saya sampaikan "yang paling penting menulis dulu, setelah itu biarkan tulisan menemui takdirnya apakah dibaca banyak orang atau sepi pembaca", ternyata kurang ampuh.

Sebenarnya, bagaimana caranya agar tulisan kita tidak sepi pembaca?

Bila harus menjawab pertanyaan ini, saya yakin sampean (Anda) memiliki jawaban yang keren-keren. Mungkin ada yang menjawab bisa dengan menulis tema tulisan yang sedang ramai (viral) dan menarik perhatian banyak orang.

Atau juga 'nebeng promosi' di Kompasianer top yang tulisannya banjir pengunjung dengan menyelipkan tautan tulisan kita. Ada banyak cara yang bisa dilakukan.

Namun, saya tertarik untuk mengikuti apa yang telah dilakukan Ebiet G Ade setelah panggung pertamanya yang ditinggalkan penonton. Bahwa, Ebiet melakukan intropeksi mengapa penonton awalnya pergi.

Seperti penuturannya, sejatinya bukan hanya karena dirinya pendatang baru dan belum dikenal orang, tetapi mungkin juga caranya dalam mempersiapkan diri jelang tampil yang dianggap orang lain membosankan.

Hal terpenting adalah respons yang ditunjukkan Ebiet. Panggung pertamanya itu tidak membuatnya menyerah. Justru, ia semakin bersemangat. Ia terus berproses menjadi penyanyi hebat. Pada akhirnya, ia masuk depar rekaman dan orang pun tahu kemampuannya.

Andai setelah panggung pertama itu, Ebiet jadi tidak pede dan tidak mau lagi tampil, kita mungkin tidak akan pernah tahu betapa Indonesia memiliki "Bob Dylan" yang tidak hanya piawai beryanyi, tetapi juga menulis lagu dan memainkan gitar.

Sama saja dengan penulis, bila karena tulisan pertamanya yang diunggah ternyata sepi pembaca lantas semangat menulisnya ambruk, dia tidak akan pernah menjadi besar di bidang tulis menulis.

Memang, sebagai pendatang baru, tidak mudah untuk meyakinkan pembaca agar mau "mampir" membaca tulisan kita. Butuh usaha lebih. Tetapi, yakinlah bahwa itu sejatinya hitungan waktu.

Terpenting adalah tetap rutin menulis. Bukannya sekali menulis lantas menghilang berhari-hari apalagi berbulan-bulan (tidak menulis lagi). Karena dengan terus menulis, dengan rajin mengunggah tulisan dan berbagi komentar dengan penulis lainnya, lama-kelamaan, kita juga akan dikenal. Lama-lama, orang juga akan penasaran membaca tulisan kita.

Nah, setelah rajin menulis, penting untuk berproses menghasilkan tulisan lebih baik. Bisa dengan mengamati tulisan-tulisan orang lain yang acapkali jadi headline, terpopuler, atau mendapat nilai tertinggi. 

Dengan mengamati, kita bisa tahu seperti apa "selera pembaca" dan "selera admin". Selain juga berproses dalam memilih judul dan tema tulisan yang menarik, penggunaan pilihan kata yang "renyah" dan tatanan kalimat yang tidak kaku.

Bila seperti itu, sampean berada di jalur yang benar untuk menapaktilasi sukses Ebiet di jalur penulisan. Bukankah yang namanya pendatang baru, baik itu penyanyi baru ataupun penulis baru, tidak selamanya menjadi 'orang baru'? Bukankah para pakar sekalipun, mereka juga mengawali dari status pendatang baru?

Ah iya, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui. Lha wong saya juga sekadar tukang nulis biasa di "rumah ini". Tukang nulis yang menemukan kegembiraan lewat menulis.

Sebab, dengan menulis, wawasan yang kita bagikan tidak akan berkurang, tetapi bertambah karena orang lain akan melengkapinya. Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun