Inspirasi dari Panggung Pertama Ebiet G Ade Bagi "Tukang Nulis"
Nah, berkorelasi dengan kisah panggung pertama Ebiet G Ade tersebut, saya tertarik menyambungkan benang merah cerita tersebut dengan pengalaman kita. Saya yakin, kisah Ebiet G Ade tersebut juga pernah dirasakan oleh banyak orang dalam berbagai profesi ketika mendapatkan kesempatan "panggung pertama".
Sampean (Anda) yang bekerja sebagai pembawa acara, mungkin pernah merasakan betapa gugupnya naik panggung di awal tampil membawakan acara. Sampean yang bekerja di media massa, mungkin merasakan betapa tidak mudahnya mewawancara tokoh yang diidolakan (ini pengalaman pribadi hehe). Termasuk kita yang dulunya mengawali sebagai 'pendatang baru' di Kompasiana.
Seperti halnya kisah panggung pertama Ebiet G Ade, kita mungkin pernah merasakan betapa tidak mudahnya meyakinkan orang lain agar mau melihat "karya kita" ketika masih berstatus bukan siapa-siapa. Terlebih, 'demam panggung' dan tidak percaya diri, terkadang datang tiba-tiba.
Ketika menulis, setiap orang pastinya memiliki motivasi bermacam-macam. Ada yang ingin mendapatkan keuntungan materi, ada yang ingin menjadikan tulisan sebagai media "menjual diri" alias personal branding. Ada juga yang ingin menambah kawan. Serta, sekadar ingin menuangkan gagasan ke dalam tulisan.
Terlepas dari semua motivasi itu, tidak sedikit yang berharap agar tulisan mereka dibaca banyak orang. Tentu saja itu harapan yang lumrah. Harapan seperti itupula yang dimiliki beberapa mahasiswa yang setiap Senin, saya bertemu mereka di kelas. Sekadar untuk membagikan "ilmu menulis".
Sejak awal bertemu, saya senang menyelipkan motivasi agar mereka gemar menulis. Singkat cerita, sebulan sebelum puasa, mahasiswa-mahasiswa itu mendapat tugas meliput acara lantas hasil reportasenya wajib ditulis di Kompasiana.
Sebelumnya, saya sempat 'mengkampanyekan' Kompasiana di kelas. Dari mulai cara membuat akun, kemudahan dalam menulis, serta 'kenikmatan' yang bisa mereka rasakan. Karena tugas, semuanya menulis. Namun, setelah menulis, reaksi yang muncul berbeda-beda.
Saya lantas dicecar pertanyaan, lebih tepatnya dihujani keluhan. Banyak yang berkisah perihal tulisan yang mereka tayangkan di Kompasiana, ternyata sepi pembaca. Sedikit saja yang mau melirik tulisan mereka.
Kabar buruknya, sepinya pembaca itu membuat semangat mereka untuk aktif di Kompasiana, tidak lagi sebesar ketika mendaftar. Sepekan kemudian, ketika saya kembali bertanya, apakah masih ada yang menulis di Kompasiana, kelas terdiam. Sebagian besar berhenti menulis. Meski, masih ada yang cukup rajin menulis.
Ternyata memang, tidak mudah untuk mengajak orang agar bisa konsisten menulis. Petuah bijak yang acapkali saya sampaikan "yang paling penting menulis dulu, setelah itu biarkan tulisan menemui takdirnya apakah dibaca banyak orang atau sepi pembaca", ternyata kurang ampuh.