Pelawak tunggal (komika) Pandji Pragiwaksono dalam pertunjukan bertajuk "World Tour Jakarta" yang digelar beberapa bulan lalu, menyampaikan pesan menarik dalam sesi penutup 'konser' stand up comedy tersebut.Â
Pandji melakukan kilas balik kariernya dari orang biasa hingga terkenal sebagai pekerja seni yang membuatnya  bisa tampil di beberapa film dan menjadi orang berpengaruh di panggung komedi tunggal di Indonesia. Â
Kata dia, 'perubahan nasibnya' tidak lepas dari ketika dirinya bekerja di sebuah radio di Bandung. Dia pernah dipercaya membawakan sebuah acara "ngerjain orang" yang dalam beberapa tahun mendatang diangkat ke layar kaca. Yang menarik adalah bagaimana dia memperlakukan acara tersebut layaknya acara paling seru yang didengar seluruh pendengar radio di Indonesia.
Pandji mengaku kurang tertarik memikirkan berapa jumlah pendengar yang kebetulan sedang mendengar dirinya 'on air'. Baginya, yang paling penting dirinya melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati, sebaik-baiknya. Tidak boleh ada pikiran "paling yang dengar cuma berapa, dibawa asal-asalan saja".
Singkat kata, acara Pandji tersebut didengar pendengar yang kelak jadi orang yang mengajaknya masuk ke dunia TV. Gara-garanya, ketika mendengar acara di radio itu pertama kali, orang itu langsung tertarik dengan cara dan gaya Pandji siaran.Â
Dia lantas menandai jam siarannya. Berikutnya, di tiap jam acara itu diputar di radio, dia mendengar dan ternyata gaya dan totalitas Pandji ketika mengudara, tetap sama. Hingga akhirnya dia jadi pendengar setia dan 'mengidolakan' Pandji.
Nah, ada pesan menarik yang disampaikan Panjdi dari kisah kilas balik itu. Dulu, andai dirinya tidak bekerja sepenuh hati ketika membawakan acara radio tersebut karena hanya menganggap acaranya tidak didengar banyak orang, kariernya tidak akan bisa 'terbang' seperti sekarang. Sebab, bila bekerja asal-asalan, mana ada orang lain yang mau datang memberinya peluang karena melihat potensinya.
"Kita tidak pernah tahu, enam menit yang kita lakukan dengan serius dan sepenuh hati, mungkin akan bisa mengubah hidup kita. Karena itu, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan enam menit itu," begitu kurang lebih pesan Pandji.
Nah, berkorelasi dengan kisah dan pesan Pandji tersebut, kiranya setiap orang juga bisa mendapatkan peluang tak terduga bak istilah efek dari kibasan sayap kupu-kupu. Termasuk kita yang setiap hari rajin menghiasi rumah Kompasiana ini dengan tulisan-tulisan beraneka rupa tema.
Seperti halnya kisah Pandji, kita tidak pernah tahu bila dari tulisan-tulisan  yang kita tulis lantas kita pajang di Kompasiana, ternyata bisa menjadi peluang bagi kita untuk mengembangkan karier dalam penulisan.Â
Ataupun, kesempatan tampil sebagai narasumber di media arus utama karena kita dianggap pakar di bidang tertentu karena tulisan-tulisan yang kita hasilkan.
Siapa tahu, ada pembaca yang tertarik dengan tulisan sampean (Anda) lantas rajin mengikuti kiprah sampean di Kompasiana dan akhirnya mengajak bekerja sama.Â
Siapa tahu, sampean yang konsisten menulis tema politik, tema pemerintahan, olahraga hingga tema hiburan, lantas berkesempatan diundang media lokal hingga nasional sebagai pengamat politik, pengamat birokrasi, pengamat olahraga ataupun pakar film yang tentu saja bisa berdampak bagus bagi karier sampean.
Saya termasuk jenis orang yang percaya bahwa cerminan diri kita bisa dilihat lewat tulisan-tulisan kita. Bahwa apapun yang kita tulis dan 'dilempar' ke publik baik itu berupa tulisan status di media sosial maupun tulisan artikel, bisa digunakan oleh orang lain untuk menilai siapa kita, bahkan mungkin mengukur wawasan kita.
Nah, dalam ranah Kompasiana, jangan sekali-kali berpikir untuk menghasilkan tulisan di rumah ini dengan prinsip "asal menulis". Memang, menulis di Kompasiana itu "mudah". Lha wong kita tinggal menulis dan bisa menayangkannya sendiri tanpa menunggu persetujuan 'penjaga halaman' seperti misalnya kita mengirimkan artikel Opini ke media massa. Namun, mudah bukan berarti lantas "pokoknya menulis".
Sebab, sebelum menghasilkan tulisan, ada proses panjang yang kita lakukan. Kita pastinya terlebih dulu berpikir tema tulisan apa yang akan kita tulis, lantas mencari referensi dan data pendukung tulisan, mengeksekusi tulisan dengan pilihan sudut pandang kita sendiri, kemudian melakukan editing sebelum ditayangkan.
Namun, karena tidak asal menulis, jangan juga lantas jarang menghasilkan tulisan karena beralasan butuh waktu lama untuk mengemas tulisan menjadi sesempurna mungkin. Singkat kata, menulis tidak perlu dipersulit, tapi juga jangan dianggap remeh.
Makna "asal menulis" itu maksudnya ketika kita menghasilkan tulisan dengan menabrak 'aturan' semisal dengan melakukan praktek menyalin tulisan orang lain atapun sekadar mencomot tulisan di media arus utama.Â
Termasuk jika tidak patuh aturan penulisan yang benar semisal penulisan huruf besar dan kecil, penulisan kutipan yang benar, penulisan kata "di" yang digabung dan dipisah hingga penulisan kata yang sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kembali pada peluang di Kompasiana, pertengahan Mei lalu, sampean mungkin sudah pernah membaca imbauan dari akun resmi Kompasiana untuk memperbarui data profil dan mendapat peluang mendapatkan keuntungan berlimpah di Kompasiana.Â
Bahwa, akan dirilis beberapa program afiliasi yang memudahkan Kompasianer dalam memonetasi aktivitasnya di Kompasiana dan sebuah halaman multiakun yang memungkinkan Kompasianer membentuk grup atau komunitas berdasarkan minat atau domisili. Untuk selengkapnya bisa dibaca di sini.
  Â
Saya yakin, ada banyak penulis di Kompasiana yang sudah merasakan manfaatnya menulis di Kompasiana. Tidak hanya karena mendapatkan ruang luas untuk menampilkan ide-ide dan tulisannya sehingga dibaca banyak orang, tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari menulis.
Dan, sekali lagi, kesempatan itu datang bukan karena 'salah orang' atau bak undian lotere yang siapa saja bisa mendapatkannya. Namun, peluang itu datang karena merupakan efek manis dari bagaimana kita mengenalkan diri di "rumah ini" melalui tulisan-tulisan kita.
Seperti halnya pesan Pandji, bahwa kita tidak pernah tahu, enam menit yang kita lakukan, bisa sangat penting dalam mengubah hidup kita. Salam literasi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H