Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi Ramadan | Pelukan untuk Bapak di Hari Fitri

23 Mei 2019   23:24 Diperbarui: 25 Mei 2019   20:45 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Edan, seminggu saja gajinya Pogba segede itu. Lha mungkin sama dengan gaji bapakku selama ratusan tahun," ujar Hanif sembari membanting koran yang baru saja dia baca.

Cak Dayat, sang pemilik warung kopi, kaget demi melihat ulah bocah kelas 6 SD  berusia 12 tahun itu. "Lapo koran e kok mbok banting Nif (ada apa korannya kok kamu banting)," katanya.

"Iki lho cak, gemas aku. Paul Pogba, pemain Mancheste United iku lho, masak seminggu gajinya 4,5 miliar. Duit e segitu dipakai beli sepatu bola dapat berapa coba," sambung Hanif.

"Ya, jadi pemain bola top memang enak Nif. Terkenal lan gaji nya gedhe, mau apa saja bisa," sergah Cak Dayat. 


Hanif bukan pengunjung satu-satunya di warung kopi Cak Dayat. Di malam-malam bulan Ramadan seperti ini, warung kopi Cak Dayat yang berada persis di seberang jalan, memang pada pengunjung. Rata-rata usia mereka belasan tahun seperti Hanif. Di warung kopi, palingan mereka hanya mengobrol, baca koran ataupun main game di ponsel mereka memanfaatkan wi-fi gratis di warkop.

Bagi Cak Dayat, banyaknya pengunjung itu membuatnya merasa serba salah. Di sisi lain, sebagai pedagang dirinya tentu senang karena warkopnya ramai yang tentu saja pemasukanya banyak. Namun, dia juga miris melihat anak-anak muda zaman sekarang yag lebih suka ke warung kopi dibanding tadaruz-an (membaca Alquran) di musholla ataupun masjid seperti ketika dirinya muda dulu.

"Ngomong-ngomong, kamu nggak ikut tadaruz-an di mushola Nif," tanya Cak Dayat.

"Lagi males aku Cak. Sebal aku minta dibelikan sepatu bola baru ke bapak tapi nggak pernah dituruti. Bapak memang tidak sayang sama aku," curhat Hanif.

Hanif memang lagi senang-senangnya bermain bola. Sembari menunggu waktu berbuka, dia bersama teman-temannya bermain di tanah lapang sempit yang diapit warung ayam bakar dan Puskesmas. Meski bermain bertelanjang kaki, yang penting senang.

Sejak pekan lalu, dia berniat masuk klub sepak bola di kampung tetangga. Syaratnya selain membayar uang pendaftaran, juga harus memakai sepatu bola. Masalahnya, dia tak punya sepatu bola. Dia hanya punya sepatu untuk sekolah. Meski sudah merengek ke bapaknya, tapi permintaannya tidak digubris. Marah, dia pun "puasa bicara" dengan bapaknya. Selama beberapa hari, dia tidak mau ngomong dengan bapaknya.

"Nggak boleh begitu Nif. Bagaimanapun, bapakmu itu kerja keras untuk kamu. Dia pasti punya alasan nggak mau belikan kamu sepatu bola. Asal kamu tahu, bapakmu dulu itu pemain sepak bola top lho," jelas Cak Dayat, menghibur Hanif.

Mendengar cerita Cak Dayat, Hanif terperanjat. Seolah tak percaya. Dalam hatinya, benarkah bapaknya yang sering melarang dirinya bermain bola dan enggan membelikannay sepatu bola itu dulunya pemain sepak bola terkenal. Dia buru-buru pamitan dari warung kopi untuk pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter.

Sesampai di rumahnya yang memiliki halaman cukup luas, Hanif buru-buru mengucap salam. Jam dinding di ruangan depan sudah menunjuk hampir puul 22.00. Tidak terdengar jawaban. Ayahnya rupanya sudah tidur setelah capek sepulang kerja.

Ketika hendak melangkah ke kamar mandi untuk mencuci kaki, Hanif mendapati ibunya sedang menghangatkan menu sajian untuk sahur di dapur. Dia pun buru-buru bertanya. 

"Bu, apa benar bapak dulu pemain bola top," tanyanya.

Sang ibu, tak menjawab. Dia meneruskan mengolah masakan sembari berujar pelan. "Sudah malam, ayo tidur sana, biar besok bangun sahurnya tidak susah," ucap sang ibu.

Tentu saja, jawaban itu tidak memuaskan Hanif. Dia pun berangkat tidur dengan rasa penasaran. Namun, sebelum terpejam, dia memiliki rencana brilian yang menurutnya akan ampuh untuk menelusuri misteri apa benar bapaknya dulu pemain bola terkenal.
 
Pagi waktu sahur, Hanif lagi-lagi susah dibangunkan. Oleh sang bapak, dia lantas dibopong dari kamarnya lantas didudukan di kursi meja makan. Selama sahur, dia sama sekali tak berbicara dengan bapaknya. Rasa sebal kepada bapaknya karena tidak dibelikan sepatu bola dan tidak diizinkan ikut bergabung di sekolah sepak bola, masih belum hilang.

"Makan sahurnya kok sedikit sekali Nif, ayo nambah lagi," ujar sang bapak yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Hanif.

Esok malam, selepas tarawih, Hanif kembali ke warung kopi Cak Dayat. Sekadar nongkrong. Kali ini dia mengajak Duta, kawan sepermainannya yang lebih tua lima tahun darinya. Dia mengajak Duta bukan tanpa alasan.

"Mas Duta, aku boleh pinjam HP nya sebentar ya. Mumpung wifi gratis. Aku mau buka Google," ujar Hanif.

Inilah rencana yang disusun Hanif sebelum tidur semalam. Dia ingin melacak siapa bapaknya lewat Google. Hatinya berdesir penasaran ketika menuliskan nama bapaknya di kolom pencarian. Dan, betapa kagetnya ketika dia mendapati beberapa tautan berita yang memberitakan bapaknya. Cak Dayat ternyata tidak berbohong. Bapaknya dulunya memang pemain bola top.

Selama ini, Hanif memang tak tahu apa-apa. Di rumahnya, dia sama sekali tidak mendapati peninggalan bapaknya sebagai pemain bola. Sama sekali tidak ada foto. Juga tidak ada piala. Baik ibu dan bapaknya juga tidak pernah menceritakan hal itu.
   
Begitu tahu masa lalu bapaknya, Hanif langsung berpamitan pulang, meninggalkan Duta sendirian di warung Cak Dayat.

"Bapak mana Bu," ujar Hanif begitu sampai rumah.

"Bapakmu malam ini tidak pulang Leh, ada pekerjaan ke luar kota selama seminggu," ujar sang Ibu.

Ada perasaan kecewa menyeruak di dadanya. Dia lantas menghujani ibunya dengan pertanyaan. "Ibu kenapa selama ini nggak pernah cerita ke aku kalau bapak dulunya pemain sepak bola terkenal? Kenapa bapak juga nggak pernah mau cerita? Kenapa juga aku nggak boleh ikut klub bola?

Ibunya yang tengah menonton tayangan dangdut di layar televisi, awalnya tidak merepons. Namun, ketika Hanif terus mengulang pertanyaannya itu sembari merengek, dia lantas menaruh remote TV yang dipegangnya.

"Itu masa lalu Leh, nggak usah dibahas lagi," sahutnya.

Karena Hanif terus merengek, bahkan sifat cengengnya mulai muncul, sang ibu pun akhirnya mau bercerita. Cerita tentang kisah suaminya yang dulu merupakan pemain terkenal di klub sepak bola di kota mereka yang pernah tampil di kompetisi teratas di Indonesia. Karier suaminya pernah menanjak. Gajinya besar. Bahkan, sempat dikabarkan akan masuk tim nasional.

Namun, suatu ketika, dalam sebuah pertandingan keras, suaminya mengalami cedera parah. Cedera itu membuat dia lama tidak bisa bermain. Apesnya, pihak klub malah lepas tangan dengan tidak mau membiayai pengobatannya. 

Alhasil, uang hasil tabungan dari bermain bola selama inipun, habis dipakai untuk pengobatan ke sana kemari. Bapaknya Hanif sempat lama tidak bisa berjalan normal, imbas cedera itu. Ke mana-mana berjalan dengan bantuan tongkat. Setelah beberapa tahun, bapaknya Hanif akhirnya sembuh. Namun, dia tidak mau lagi bersentuhan dengan sepak bola. Semua kenangan dengan sepak bola dia hilangkan.

"Bapakmu khawatir bila nasib buruk yang menimpanya di sepak bola, kelak terjadi pada kamu. Karena itu, dia enggan membelikanmu sepatu bola. Bukannya tidak sayang, tapi karena saking sayangnya. Dia tidak mau anaknya celaka seperti dirinya," ujar Ibu Hanif.

Mendengar cerita itu, Hanif terdiam. Dia lantas buru-buru mencium tangan ibunya, sembari melangkah ke kamar tidurnya. Di kamar, tatapannya menerawang ke langit-langit. Dia merasa bersalah kepada bapaknya. Dia merasa telah menjadi anak yang kurang bersyukur.

Dia jadi ingat dengan salah satu kutipan mantan pemain sepak bola top, Zinedine Zidane yang pernah dibacanya di koran di warung kopi Cak Dayat. Bunyinya "pernah suatu saat aku menangis karena tidak punya sepatu untuk bermain bola, tapi lain hari aku melihat orang yang tidak punya kaki, aku pun sadar betapa beruntungnya aku".

Mendadak, dia sangat merindukan bapaknya. Dia ingin segera meminta maaf. Dia seperti tak sabar untuk menunggu kepulangannya bapaknya pada malam takbiran. Dia ingin meminta maaf di Hari Idul Fitri. Dia ingin memeluk bapaknya sembari mengucapkan kalimat "bapak hebat, Hanif sayang bapak, terima kasih ya sudah bekerja keras". Hanif sungguh tidak sabar menanti datangnya hari yang fitri itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun