Pertengahan tahun 2018 lalu, anggota Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, membuat tulisan 'mengkhawatirkan' perihal masa depan sektor pertanian di Indonesia yang dimuat di Tempo.co. Judul artikelnya "Darurat Regenerasi Petani". Dalam ulasannya, Khudori menyoroti beberapa fakta yang membuat kita pantas cemas dengan keberlanjutan produksi beras kita di masa mendatang.
Salah satu fakta yang membuat kita patut khawatir adalah hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Bahwa ternyata, profil petani padi didominasi generasi tua. Sekitar 61 persen petani padi sawah berumur 50 tahun ke atas. Sekitar 13 persen saja berumur 20--39 tahun.
Fakta itu diperparah oleh fakta lainnya, bahwa 68 persen petani padi sawah hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar dan sisanya tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar.
Data Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada September 2015 silam juga merilis kabar buruk bagi dunia pertanian di negeri ini. Bahwa profesi petani terus mengalami penurunan. Setiap tahunnya, 15 ribu petani telah meninggalkan profesinya.
Singkat kata, ketika sektor pertanian dituntut untuk mampu menjawab tantangan kemajuan zaman melalui penciptaan inovasi di sektor pertanian tanaman pangan demi peningkatan produsi, tetapi kenyataannya daya dukung sumber daya manusianya ternyata lemah. Kenyataan itu bermuara pada kesimpulan, bahwa perlu ada regenerasi petani sesegera mungkin. Karena bila tidak, entah bagaimana dengan nasib sektor pertanian Indonesia di masa mendatang
Meregenerasi Petani Butuh "Orang Hebat" yang Mau BerjibakuÂ
Masalahnya, melakukan regenerasi petani tidak semudah mengucapkannya. Regenerasi petani juga tidak sesederhana mengganti petani yang berusia lanjut dengan mereka yang muda-muda seperti halnya mengganti batera remote televisi yang sudah soak dengan batere yang baru.
Akan tetapi, tantangannya luar biasa. Diantaranya mengubah pola pikir anak-anak kekinian tentang sektor pertanian. Sebab, kenyataan di lapangan, tidak sedikit anak-anak muda yang terlanjur tidak berminat menjadi petani.
Karenanya, dibutuhkan kerja keras untuk mengubah pola pikir anak-anak kekinian agar mau berkontribusi terhadap sektor pertanian. Selain itu, harus ada 'orang hebat' yang mau turun langsung membagikan pengalaman dan wawasan untuk mengedukasi sekaligus mengurai masalah pertanian.
Kebetulan, saya mengenal salah satu anak muda hebat yang mau turun langsung untuk mengubah pola pikir petani sekaligus memberikan pencerahan kepada anak muda agar tidak alergi bertani. Namanya Nur Rahmad Akhirullah. Usianya masih cukup muda, 34 tahun.
Nara--begitu ia disapa, punya perhatian besar terhadap nasib para petani di negeri ini. Dengan wawasan luas di bidang pertanian yang dia kuasai serta ilmu manajemen pemasaran yang didapatnya di bangku kuliah, dia tergerak melakukan perubahan pada nasib petani di Pulau Madura yang selama bertahun-tahun 'terjebak' pola pikir bertani tradisional yang kenyataannya tak mampu membuat mereka hidup sejahtera.Â
Berawal dari Curhatan "Anak-Anak Petani yang "Dilarang" Bercita-Cita Bertani
Kepedulian Nara untuk mengedukasi para petani di pulau garam, bermula dari pengalamannya menjadi relawan dalam program mengajar "Kelas Inspirasi" pada September 2014 lalu. Yakni gerakan profesional turun ke SD di kawasan pelosok selama sehari guna berbagi cerita pengalaman kerja kepada anak-anak.
Dibalik kebahagiannya bertemu anak-anak, pria kelahiran Bangkalan ini mendapati temuan mengejutkan, dari sekian anak yang ikut program itu, semuanya merupakan anak petani. "Tetapi, tidak ada satu pun anak petani itu yang punya cita-cita jadi petani," ujar Nara.
Memang, tidak ada yang aneh ketika anak-anak desa itu tidak bercita-cita menjadi petani. Toh, setiap anak berhak punya cita-citanya sendiri. Dan memang, banyak orang tua berharap anak-anaknya tidak bekerja seperti mereka, tetapi jadi lebih baik. Bila orang tua nya petani, anak-anaknya "dilarang" untuk ikut-ikutan jadi petani.
Namun, bagi Nara, kenyataan itu ironi. Dia jadi penasaran, mengapa tidak ada seorang pun anak petani yang mau jadi petani. Padahal, petani punya peran strategis dalam menjaga ketersediaan suplai bahan pangan bagi masyarakat. Karenanya, ia sampai pada sebuah pengandaian "kalau kelak tidak ada petani dan regenerasi petani, lalu siapa yang akan bertani dan menanami sawah dengan padi dan aneka sayur mayur untuk dikonsumsi masyarakat".
Menghidupkan Harapan Petani dengan Mengubah Cara Pikir Petani
Pengakuan anak-anak petani yang tak bangga punya cita-cita menjadi petani dan bahkan 'dilarang' orang tua untuk bertani, membuat Nara serasa menemukan ide akan melakukan apa di usianya yang masih muda. Ketika selesai mengikuti program Kelas Inspirasi dan mulai terpikir untuk melakukan gerakan mengedukasi petani itu, usia Nara belum genap 30 tahun.Â
Alumnus Manajemen Pemasaran Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo, Bangkalan ini berkeinginan menghidupkan harapan petani untuk melakukan perbaikan hidup. Dia ingin petani punya wawasan luas sehingga menjadi jalan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ia tidak sekadar bicara. Pada November 2014, dia mulai menyusun rencana untuk menjalankan misinya. Namun, dia sadar, bekal teori dari bangku kuliah dan baca-baca buku/majalah pertanian, tidak akan cukup untuk meyakinkan para petani. Dia merasa harus ikut memahami kehidupan petani dan merasakan apa saja masalah petani.
Maka, dia pun mengambil keputusan besar: pensiun dini dari profesi jurnalis dan memutuskan jadi petani. Dengan uang tabungannya, dia menyewa lahan di Bangkalan untuk ditanami sayur dan singkong gajah. Dari situ, dia bisa belajar langsung menjadi petani. Dengan sering pergi ke sawah, dia banyak bergaul dengan beberapa petani dan bisa mendengar keluhan serta harapan mereka. Obrolan-obrolan di pematang sawah itu dianggapnya sebagai aspirasi murni dari para petani yang perlu ditindaklanjuti.
Forum inipun terus berkembang. Dia lalu mengajak mahasiswa untuk bergabung. Hampir semua kecamatan di Bangkalan yang jumlahnya 18 kecamatan, sudah didatangi. Di mana setiap kecamatan ada tiga hingga empat desa yang disinggahi. Setelah Bangkalan, Nara juga menyambangi petani di kota lain di Pulau Garam seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Nara dan kawan-kawannya juga membentuk kelompok-kelompok tani (Poktan) dan Serikat Tani Mandiri sebagai wadah pembelajaran dan kaderisasi tani secara teknis, organisatoris dan juga politis dalam artian membentuk petani yang melek aturan-aturan terkait pertanian, juga melek hak dan kewajiban sebagai petani.
Regenerasi Petani Bukan Hanya Soal Peremajaan Usia Petani
Menurut Nara, menjadi petani tidaklah mudah. Siapapun yang tidak pernah bertani kemudian bertani, kemungkinan besar tidak akan tahan dengan tantangan bertani. Sebab, bertani tidak hanya butuh keterampilan dan manajemen, tetapi juga membutuhkan tenaga yang besar. Tenaga dalam arti yang sebenarnya: mencangkul, membajak, menanam, memupuk, merawat, memanen hingga ke penjualan.
Karena besarnya tenaga yang dibutuhkan itulah, regenerasi petani menjadi macet . Sebab, anak-anak muda kini semakin sedikit yang punya tenaga seperti pemuda di zaman dulu dikarenakan banyak menikmati kenyamanan teknologi. Ini bukan hanya terjadi pada pemuda di kota, tapi hal serupa terjadi pada anak-anak petani.
Padahal, regenerasi petani jelas perlu. Terlebih bila mengacu survei BPS. Bila tidak ada regenerasi, petani kita bisa habis. Namun, regenerasi petani juga bukan hanya soal mengganti petani berusia di atas 50 tahun dengan yang lebih muda.Â
Terpenting adalah memperbarui cara berpikir petani yang kekinian. Yaitu petani-petani yang mampu menjalankan mesin-mesin teknologi pertanian. Sebab, tidak sedikit petani yang terlanjur miskin sejak pikiran dan antipati terhadap teknologi. "Jarang sekali ada petani yang bermind-set pengusaha. Harapan saya, semua hal terkait pertanian harus lebih mudah, cepat dan berlipat ganda produksinya," sebutnya.
Harapan untuk Anak-Anak Muda Sebagai Penerus Petani Indonesia
Ya, kepada anak-anak muda, masa depan pertanian Indonesia digantungkan. Sebab, siapa lagi kalau bukan anak muda yang menjadi pelaku pertanian. Bagaimanapun, anak muda memiliki kelebihan yang spesifik untuk jadi penggerak industri pertanian. Yaitu, penguasaan informasi.
Anak-anak muda bisa melakukan percepatan-percepatan dalam industri pertanian dengan mempelajari kesalahan-kesalahan dan keunggulan-keunggulan pertanian Indonesia di masa lalu. Selain itu, mereka juga bisa mempelajari kehebatan industri pertanian di luar negeri untuk diterapkan di Indonesia
Bila anak-anak muda yang melek informasi punya semangat besar untuk memajukan sektor pertanian Indonesia, bayangan petani modern yang akrab dengan teknologi dan bisa dengan mudah menjual hasil taninya sehingga bisa hidup lebih sejahtera, bukan sekadar angan-angan.Â
Pada akhirnya, agar sektor pertanian Indonesia semakin maju di era revolusi industri 4.0, perlu ada 'pemain-pemain baru' berwujud regenerasi yang tidak hanya mengacu pada usia, tetapi juga kemampuan menggunakan teknologi.
Selain itu, pertanian Indonesia butuh sosok anak muda seperti Nara. Anak muda yang punya semangat besar dan kecintaan pada dunia pertanian sehingga mau turun langsung untuk mengedukasi dan mengubah pola pikir para petani. Serta memotivasi anak-anak muda untuk bangga dengan profesinya sebagai petani. Andai Indonesia punya 1000 anak muda seperti Nara. Salam Pertanian Indonesia Maju.
Referensi :
https://kolom.tempo.co/read/1107212/darurat-regenerasi-petani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H