Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

"Puasa Media Sosial" Selama Ramadan, Bagaimana Caranya?

17 Mei 2019   14:24 Diperbarui: 17 Mei 2019   16:28 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Miliki 'rem' sebelum menulis status maupoun berkomentar di media sosial/Foto: www.teknosmartphone.tk

Ketika menyebut "puasa media sosial", bagaimana sampean (Anda) memaknainya?

Apakah berpuasa media sosial itu maknanya bahwa selama sebulan puasa, kita sama sekali tidak melirik apalagi eksis di media sosial. Apakah selama sebulan kita harus setop menuliskan cuitan di Twitter, tidak menulis status di Facebook, tidak posting foto di Instagram, dan tak mau lagi ikut-ikutan menuliskan komentar di kolom komentar. Bahkan, berhenti berbagi tautan berita ataupun broadcast di grup WhatsApp.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita merunut pada kata puasa dalam bahasa Arab, yakni shaum atau siyam. Dalam bahasa Arab, kata 'shaum' berarti "untuk menjauhkan diri dari sesuatu, menahan diri, untuk mencegah diri".

Jadi, kalau boleh ditarik menjadi kesimpulan--menurut saya, makna puasa media sosial selama Ramadan bukanlah berhenti total dari aktivitas di media sosial. Namun, esensinya adalah bagaimana kita bisa menahan diri untuk tidak sembrono menggerakkan jari jemari di media sosial. Pesannya adalah bagaimana selama Ramadan ini, kita bisa menjaga hati di media sosial.

Lalu, bagaimana caranya agar menahan diri dan menjaga hati di media sosial selama bulan Ramadan? 

Ada banyak cara. Namun, melalui tulisan ini, saya hanya akan menuliskan beberapa---yang memang sudah saya jalankan sejak beberapa bulan lalu ketika media sosial jadi kurang asyik karena banyak warganet gegeran imbas beda pilihan capres-/cawapres. Apa saja?

Ramadan menjadi momentum tepat untuk memaknai perilaku kita di media sosial/Foto: news.okezone.com
Ramadan menjadi momentum tepat untuk memaknai perilaku kita di media sosial/Foto: news.okezone.com

Gunakan "rem" ketika hendak menulis status/pesan di media sosial
Pengguna media sosial itu banyak jenisnya. Ada yang superserius dan ada yang bawaannya bercanda terus. Malah ada yang seolah menganggap media sosial sebagai ruang pribadinya sehingga tidak sadar bila media sosial itu 'ruang publik' yang bisa dilihat banyak orang.

Jadilah semua urusan pribadi seperti pedekate, jadian, putus plus bumbu-bumbu bawa perasaan (baper) nya, jadi tulisan status. Malah, ada urusan gegeran rumah tangga juga ditulis di media sosial. Seolah media sosial dianggap tempat curhat.

Belum lagi bila mereka yang punya hobi nyinyir. Bawaannya nyinyir, mudah iri, dan gampang tidak suka ke siapa saja. Dari nyinyir ke teman kerja hingga ke pemerintah. Apalagi bila nyinyirnya sudah akut sehingga tulisannya bak sumpah serapah. Apa iya yang seperti juga diumbar di media sosial.

Miliki 'rem' sebelum menulis status maupoun berkomentar di media sosial/Foto: www.teknosmartphone.tk
Miliki 'rem' sebelum menulis status maupoun berkomentar di media sosial/Foto: www.teknosmartphone.tk

Nah, Ramadan harusnya menjadi momentum tepat untuk memaknai kembali media sosial sebagai ruang publik. Sebagai ruang publik, apapun yang kita tuliskan, tentunya akan dibaca dan bisa direspons banyak orang dan bahkan bisa menjadi penyebab permusuhan. Bila memahami itu, sudah seharusnya kita memiliki "rem" untuk tidak sembarangan dalam menulis status ataupun cuitan di media sosial.

Selayaknya fungsi rem, ketika hendak menulis cuitan ataupun status, kita tahan dulu. Kita tanyakan ke diri sendiri dulu, apakah tulisan tersebut sudah sepantasnya "dilempar" ke media sosial. Ataukah malah berpotensi menyebabkan gegeran. Singkat kata, mari memakai media sosial "dengan hati", bukan dengan emosi.

Tak perlu baper menanggapi berita/komentar di media sosial
Kita tidak hanya perlu mengedepankan hati dibanding emosi agar tidak gegabah menulis cuitan atau status di media sosial. Kita juga perlu menjaga hati agar tidak doyan berkomentar di media sosial ataupun menanggapi tautan berita yang dibagikan lewat media sosial.

Memang apa salahnya berkomentar di media sosial? Tentu saja tidak ada salah bila berkomentar secara wajar. Apalagi bila bisa memberikan tambahan wawasan kepada warganet lainnya perihal suatu masalah yang diperdebatkan.

Masalahnya, di media sosial, sangat mudah untuk menemukan warganet yang bawa perasaan (baper) dalam beradu komentar tentang berbagai hal. Dari mulai komentar tentang tim sepak bola kesayangan, hingga pasangan capres/cawapres yang mereka jagokan. Lantas, terjadilah perang cacian dengan menuliskan kalimat kasar. Malah ada yang dibumbui kata-kata "penghuni kebun binatang".

Karenanya, daripada terlibat adu komentar di media sosial yang menurut saya lebih banyak sia-sia, lebih baik diam dan menjaga hati saja. Saya menyebut adu argumentasi di media sosial lebih banyak sia-sia karena yang berdebat sudah sama-sama merasa paling benar sehingga tidak akan ada yang mau menghargai dan mengakui kebenaran pendapat orang lain. Apalagi, mereka tidak saling kenal. Lebih enak berdiskusi di warung ketika berbuka puasa.

Jangan asal share berita, awas "dosa jariyah"
Selain menulis cuitan dan komentar, salah satu "hobi" warganet di media sosial adalah membagikan tautan berita. Tentu saja, membagikan informasi/berita terasa lebih keren daripada sekadar menulis status, apalagi bila statusnya tidak penting. Minimal mereka mau membaca.

Masalahnya, tidak sedikit orang yang ketika membaca tautan berita di media sosial, tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu apakah berita tersebut benar atau cuma bohongan. Namun, banyak orang yang mudah saja untuk menyentuh tombol share di smartphone-nya tanpa lebih dulu mengecek benar tidaknya berita tersebut. 

Semisal ada tokoh publik yang dikabarkan meninggal dunia. Entah apa yang memotivasi kita sehingga lantas cepat-cepat ingin membagikan kabar tersebut kepada orang lain melalui media sosial. Ternyata, beberapa menit kemudian, muncul klarifikasi bahwa berita tersebut ternyata tidak benar. Bila seperti itu, mau ditaruh di mana muka kita. 

Jangan asal membagi tautan berita, cek dulu kebenarannya/Foto: goukm.id
Jangan asal membagi tautan berita, cek dulu kebenarannya/Foto: goukm.id

Pilihannya, bila memang kita tidak tahu kebenaran berita tersebut, cukuplah itu menjadi informasi bagi kita saja. Tidak perlu dibagikan. Seperti bunyi kalimat bijak itu "saring sebelum sharing" 

Sebab, bila kita doyan membagikan berita yang tidak benar, tanpa sadar kita mungkin telah melakukan "dosa jariyah". Maksudnya, dosa yang terus mengalir karena berita kebohongan yang merugikan orang lain tersebut, terus tersebar luas. 

Bila berita yang kita baca dan kita bagikan tersebut ternyata bohong dan fitnah, lantas orang lain membacanya kemudian meyakininya sebagai kebenaran, lalu dibagikan dan dibagikan lagi, maka sampean berarti telah ikut dalam perputaran berita fitnah itu.

Jangan semua ibadahmu di bulan Ramadan, dipamerin di media sosial
Dan yang tidak kalah penting, menjaga hati di media sosial selama Ramadan, tidak hanya menahan diri untuk tidak menulis cuitan ataupun berkomentar yang buruk-buruk di dunia maya. Kita juga perlu menjaga hati untuk urusan membagikan kabar yang baik-baik.

Maksudnya, ibadah yang sampean lakukan di bulan Ramadan, sejatinya tidak perlu diberitakan di media sosial baik lewat tulisan status maupun tampilan swafoto. Apa iya setiap selesai sholat tarawih dan tadarus Alquran lantas kita menulis status "baru selesai tarawih dan membaca Alquran nih". Apa iya setiap qiyamul lail dan itikaf di masjid, lalu diabadikan dengan swafoto plus tulisan "malam ini gue bisa itikaf".

Memang kita tidak boleh berburuk sangka. Mungkin saja niatnya memang untuk memotivasi orang lain. Namun, apa iya ibadah harus dipamerkan ke orang lain. Apalagi, kebanyakan karakter warganet yang membagikan tulisan maupun swafoto, tentunya ingin direspons orang lain. Bila seperti itu, di mana letak keikhlasannya bila kemudian kita mengharap 'like' dan komentar bagus dari orang lain.

Seharusnya, esensi dari ibadah puasa mampu mengajari kita. Ketika kita berpuasa, sejatinya itu hanya urusan kita dengan Tuhan. Kita diajari untuk ikhlas tanpa perlu memberi "pengumuman" ke orang lain bahwa kita sedang berpuasa. Toh, tidak ada orang yang tahu apakah sampean berpuasa atau hanya berpura-pura puasa. Seharusnya, ibadah yang lain pun seperti itu.

Ah, semoga selama Ramadan ini, kita memang bisa menjaga hati di media sosial. Kita bisa menahan jemari tangan untuk tidak ringan menulis hal-hal yang tidak berguna. Sehingga, puasa kita tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus. Mari menyayangi puasa kita agar tidak menjadi percuma dengan menjaga hati, lisan, dan pikiran.

Sebab, dengan menjaga lisan, hati dan pikiran untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak puasa, akan membawa kita sampai pada pemahaman. Bahwa puasa Ramadan mengajak kita untuk memiliki waktu yang produktif dengan melakukan ibadah dan aktivitas berguna. Sehingga, kita jadi terbiasa tidak melakukan hal-hal yang tak perlu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun