Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan dan Harapan Ayah kepada Anaknya

6 Mei 2019   11:32 Diperbarui: 6 Mei 2019   11:37 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harapan ayah agar anaknya berpuasa dengan sebenar-benarnya/Foto pribadi

Dalam konteks keistimewaan, penting dan tidak terjadi setiap bulan, kiranya tidak berlebihan menyandingkan makna Olimpiade seperti halnya bulan Ramadan.

Di ranah olahraga, Olimpiade adalah event yang paling istimewa dan paling penting dari sekian kejuaraan multiolahraga lainnya yang digelar di planet ini. Ia juga tidak ada setiap bulan. Hanya empat tahunan sekali. Karenanya, setiap atlet yang akan bertanding di Olimpiade, mereka telah memiliki persiapan maksimal.

Kenapa harus memiliki persiapan maksimal? Sebab, mereka pastinya tidak mau datang ke Olimpiade sekadar sebagai penggembira. Para atlet itu tidak mau hanya berpartisipasi. Meski itu sudah pencapaian luar biasa. 

Namun, mereka punya harapan jelas: datang, tampil, menang dan meraih medali (syukur-syukur bila medali emas). Sebab, meraih kejayaan di Olimpiade akan menjadi pencapaian tertinggi dalam rekam jejak mereka sebagai atlet.

Analogi atlet yang tampil di Olimpiade dengan membawa harapan besar itu kiranya juga selaras untuk menggambarkan cerita kita yang mulai hari ini menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Bahwa dalam menunaikan ibadah Ramadan, kita tentunya tidak sekadar menghitung hari berpuasa, dari hari pertama hingga hari terakhir. Lantas, berlebaran. Tidak hanya seperti itu.

Setiap kita pastinya memiliki target. Kita punya harapan yang ingin dicapai selama Ramadan ini sehingga tidak hanya mendapatkan lapar dan haus. Dan tentunya harapan setiap orang berbeda-beda. 

Ada yang berharap bisa melewatkan setiap hari Ramadan dengan 'melahap' satu juzz Al-Quran. Ada yang berharap bisa 'berpuasa komentar' di media sosial demi mengurangi prasangka buruk. Ada juga yang berharap mengurangi budaya konsumtif alias tidak boros selama Ramadan.

Saya pun tidak ingin melewatkan Ramadan kali ini dengan sekadar "berpartisipasi". Ada harapan sebagai pribadi, suami dan juga ayah. Dari sekian harapan yang ingin saya wujudkan, salah satu yang paling menantang adalah harapan sebagai ayah.

Menantang karena saya berharap dua anak saya  di tahun ini bisa mulai belajar puasa dengan sebenar-benar puasa. Tidak hanya berpuasa menahan lapar dan haus, tetapi juga mulai belajar mengendalikan emosi mereka. 

Kalau untuk berpuasa menahan lapar dan haus, Alhamdulillah si kakak yang pada September nanti berusia 8 tahun, tahun lalu mampu berpuasa penuh. Tahun lalu menjadi pengalaman pertamanya berpuasa penuh. 

Sementara si adiknya tahun lalu masih belajar sehingga lebih sering mood-mood-an berpuasa. Itupun kami (saya dan istri) terlebih dulu harus menjelaskan dan memberikan motivasi agar dia mau berpuasa. Persis gambaran lirik Bimbo di lagu "Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya" itu.

Harapan saya, tahun ini, si kakak bisa kembali kuat berpuasa penuh. Sementara adiknya mulai belajar puasa. Plus, mulai tahu untuk tidak menggoda kakaknya yang berpuasa. 

Sebab, tahun lalu, ketika sedang tidak berpuasa, dia terkadang seenaknya minum di depan kakaknya di siang hari. Meski sudah dinasehati baik-baik, eh malah dijawab begini "adek kan nge-tes kakak puasanya kuat apa nggak". Astaga.

Selain kuat berpuasa, saya juga beberapa kali memberi wejangan kepada keduanya, utamanya si kakak. Bahwa jangan sampai kita berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus. 

Sebab, pahala yang disiapkan untuk puasa kita, 'seolah 'habis terbakar' karena tidak mampu menahan emosi maupun amarah.

Ini harapan yang tidak mudah diwujudkan. Dua bocah laki-laki yang umurnya memang tidak beda jauh (tidak sampai dua tahun) ini seolah sedang senang-senangnya "gegeran". 

Keduanya sama-sama usil tapi mudah tersulut emosinya. Hanya karena urusan sepele semisal berebut, mereka bisa bertengkar, meski beberapa menit kemudian tertawa bareng.

Apalagi, bila sudah memegang gawai yang memang saya berikan di akhir pekan (itupun dengan beberapa syarat semisal bila mereka rajin sekolah, berbicara baik dan patuh pada orang tua selama sepekan). Hanya karena jam bermain gawainya sudah habis dan harus bergantian, itu bisa jadi sumber gegeran.

Karenanya, saya lebih senang bila mereka bersekolah. Minimal setelah pulang sekolah, mereka bisa beristirahat. Bila libur seperti libur awal puasa dua hari ini, pagi mereka sudah bersikeras main bola. Ujung-ujungnya, pulang dengan sebal dan marah.

Bila seperti itu, moodnya sudah nggak karuan. Dan tentu saja, tugas ayah dan mamanya untuk 'mendinginkan hati' mereka. Karenanya, pada akhirnya, harapan agar mereka bisa berpuasa sembari menahan emosi, sejatinya juga menjadi tantangan bagi saya.

Sebab, "sepecah" apapun situasinya diantara dua bocah tersebut, saya tentunya tidak boleh ikut marah maupun tersulut emosi. Akan menjadi tidak lucu bila saya yang menasehati mereka untuk bisa menahan emosi selama berpuasa, malah tidak mampu memberikan teladan. 

Semoga, kita tidak sekadar berpartisipasi bulan Ramadan ini. Seperti halnya atlet yang akan tampil di Olimpiade, semoga kita bisa meraih 'medali' dan mendapatkan kemenangan sejati. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun