Apakah Anda (sampean) gembira menyambut datangnya Bulan Ramadan?
Sebuah pertanyaan yang sejatinya mudah untuk dijawab. Lha wong tinggal, "iya, saya gembira". Namun , sulit untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar bergembira menyambut Ramadan.
Kita mungkin bisa melacak kegembiraan seseorang dalam menyambut Ramadan melalui tulisan status atau narasi foto di media sosial mereka. Bahwa ada ungkapan bila mereka senang bisa bertemu kembali dengan Ramadan.Â
Masalahnya, bukankah kini ada banyak orang yang tidak jujur ketika menulis? Tidak jujur maksudnya, bahwa yang ditulis, sebenarnya tidak sesuai kenyataannya.
Tetapi memang, ada banyak cara untuk mengungkapkan kegembiraan dalam menyambut Ramadan.Â
Di kampung saya dulu, warga kampung punya tradisi "megengan" untuk menyambut datangnya Ramadan. Sehari jelang Ramadan, warga memasak 'nasi berkatan' (tumpeng dalam skala kecil) Â ataupun menyiapkan buah-buahan di rumah masing-masing.
Lantas, bada maghrib, mereka bergiliran datang ke rumah warga. Singkat cerita, warga saling berbagi nasi berkatan kepada tetangga.
Bisa juga, megengan itu diadakan di mushola RT. Selepas Maghrib, warga membawa "tumpeng" masing-masing ke musholla, berkumpul dan berdoa bersama agar bisa menjalani ibadah di Bulan Ramadan dengan baik.
Makna megengan tentu saja bukan hanya tentang makan-makan. Namun, megengan merupakan bentuk rasa gembira dalam menyambut Ramadan. Kalau bukan karena gembira, warga tentunya berat hati harus mengeluarkan duit untuk memesan "nasi kotak" maupun buah-buahan.
Ungkapkan kegembiraan menyambut Ramadan juga bisa dirupakan dengan bekerja bareng membersihkan musholla dan masjid. Minggu (5/5) pagi tadi ataupun ketika hari libur Rabu (1/5) lalu, warga di beberapa kampung terlihat bekerja bakti.
Tujuaannya, agar warga yang menjalankan puasa, juga bisa mendirikan sholat fardhu, tarawih, membaca Al-Quran, itikaf di masjid/musholla dengan lebih khusyu.Â