Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Andai Rekonsiliasi Pasca 17 April Semudah Laga-Liga Champions

30 April 2019   17:19 Diperbarui: 30 April 2019   17:25 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah sampean (Anda) termasuk dalam barisan orang yang menduga bahwa pasca tanggal 17 April 2019, semua "kehidupan" akan kembali seperti semula. Bahwa suasana akan kembali adem ayem. Tidak ada lagi gegeran dan saling hujat di dunia nyata--terlebih di alam maya--antara dua pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ternyata, dugaan kita keliru.

Faktanya, sudah hampir dua minggu berlalu sejak Pemilu Presiden dan Legislatif diselenggarakan pada 17 April lalu. Namun, 'bumbu ceritanya' belum kunjung usai meski April sudah akan berganti Mei.

Dari yang saya baca di beberapa media daring maupun informasi di media sosial, (sepekan lalu) di beberapa tempat--termasuk di kota tetangga tempat tinggal saya--ada puluhan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang direkom oleh Bawasalu untuk dilakukan penghitungan ulang. Konon, ada pula dugaan penggelembungan suara (untuk pemilihan legislatif di tingkat kota) sehingga diprotes oleh beberapa partai politik dan seorang caleg. Belum lagi kabar meninggalnya petugas Pemilu yang jumlahnya sampai ratusan.

Namun, yang bikin miris, gegeran antara dua pendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, ternyata terus berlanjut hingga kini. Bak serial sinetron yang episodenya terus diolor-olor. Nyatanya, ada beberapa kawan di laman media sosial yang hingga kini masih saja doyan saling sindir dan "perang komentar". Mudah menemukan pendukung paslon 1 dan 2 yang masih gegeran di laman komentar berita di media sosial.  

Ya, setelah tanggal 17 April 2019, ternyata persoalan belum selesai. Bila dulu gegerannya menjelekkan paslon yang tidak mereka dukung, kini para pendukung--dari level atas hingga level kampung--tetap saling memancing konflik.

Yang merasa menang, seolah memancing kemarahan pihak yang dianggap kalah.  Sementara yang kalah gemar menyalahkan pihak yang merasa sudah menang. Ah, jika terus begini keadaannya, sampai lima tahun mendatang, urusan gegeran ini  tidak akan pernah selesai.

Kata rekonsiliasi dari level elit politik hingga kalangan akar rumput, nyatanya bak sebuah lamunan yang entah kapan jadi nyata. Lha wong mereka lebih senang menciptakan sekat daripada rekonsiliasi.

Saya, sejak beberapa bulan sebelum 17 April, memilih jadi penonton saja. Meski tentunya saya sudah menetapkan pilihan. Saya lebih suka sekadar mengikuti perkembangan informasi terkini tanpa harus tergoda menyebar berita/info yang tentu saja akan ada keberpihakan alias framming-an dari pilihan saya.

Saya lebih suka meniru filosofi sepak bola. Ya, sebuah kebetulan, momen coblosan pada Rabu dua pekan lalu, berbarengan hari dengan pertandingan leg II perempat final Liga Champions. Dan sebuah kebetulan, dua laga perempat final antara FC Porto menghadapi Liverpool dan Manchester City melawan Tottenham Hotspur, keduanya diwarnai kontroversi.

Di laga Porto melawan Liverpool, ada gol (gol pertama Liverpool oleh Sadio Mane) yang sah atau tidak nya harus ditentukan lewat VAR (Video Assistance Referee). Malah, di laga City melawan Spurs, pelatih pan pemain-pemain City yang sudah jingkrak-jingkrak kegirangan di menit akhir, mendadak tersedu setelah gol Raheem Sterling di akhir laga, dinyatakan offside oleh wasit.

Toh, seusai laga, mereka mudah sekali melakukan rekonsiliasi. Mudah sekali mereka berpelukan, berjabat tangan bahkan bertukar jersey. Seolah semua 'gegeran' selama 90 menit plus beberapa menit, sudah terlupakan.

Para pemain sepak bola itu paham, bahwa sepahit apapun situasi yang harus mereka terima, mereka paham bahwa dalam sepak bola babak knock out, hanya ada satu tim yang tertawa di akhir laga. Itulah yang terjadi di dua laga leg II perempat final Liga Champions tersebut.

Tetapi memang, seperti pemain sepak bola yang pandai mengekang diri selama pertandingan, bangsa ini juga perlu untuk berusaha mengendalikan diri. Lebih tepatnya, mengendalikan diri untuk tidak merasa paling (benar dan sebagainya). Bangsa ini dipaksa untuk bisa lebih dewasa dalam menerima hasil sebuah kontestasi yang melibatkan pilihan rakyat.

Bila di lapangan bola, rekonsiliasi bisa dengan mudah dilakukan antar pemain dan pelatih, rekonsiliasi pascapemilu mungkin tidak mudah. Namun, tidak mudah tersebut selamanya akan menjadi sulit bila tidak segera diawali. Mengutip ucapan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie,untuk rekonsiliasi, kedua pasangan harus saling berkunjung satu sama lain. Tentunya itu diharapkan akan merembet pada rekonsiliasi di akar rumput.

Nah, dini hari nanti, Liga Champions akan kembali menghadirkan cerita baru: laga leg I babak semifinal. Bila pertandingan Liga Champions saja sudah memasuki kisah baru, masa iya, sampean yang sedari dulu gegeran, tidak ada keinginan untuk menyudahi aksi saling sindir yang berujung konflik. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun