Para pemain sepak bola itu paham, bahwa sepahit apapun situasi yang harus mereka terima, mereka paham bahwa dalam sepak bola babak knock out, hanya ada satu tim yang tertawa di akhir laga. Itulah yang terjadi di dua laga leg II perempat final Liga Champions tersebut.
Tetapi memang, seperti pemain sepak bola yang pandai mengekang diri selama pertandingan, bangsa ini juga perlu untuk berusaha mengendalikan diri. Lebih tepatnya, mengendalikan diri untuk tidak merasa paling (benar dan sebagainya). Bangsa ini dipaksa untuk bisa lebih dewasa dalam menerima hasil sebuah kontestasi yang melibatkan pilihan rakyat.
Bila di lapangan bola, rekonsiliasi bisa dengan mudah dilakukan antar pemain dan pelatih, rekonsiliasi pascapemilu mungkin tidak mudah. Namun, tidak mudah tersebut selamanya akan menjadi sulit bila tidak segera diawali. Mengutip ucapan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie,untuk rekonsiliasi, kedua pasangan harus saling berkunjung satu sama lain. Tentunya itu diharapkan akan merembet pada rekonsiliasi di akar rumput.
Nah, dini hari nanti, Liga Champions akan kembali menghadirkan cerita baru: laga leg I babak semifinal. Bila pertandingan Liga Champions saja sudah memasuki kisah baru, masa iya, sampean yang sedari dulu gegeran, tidak ada keinginan untuk menyudahi aksi saling sindir yang berujung konflik. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H