Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Setop Mencemari Sungai dengan "Bakteri Escherichia Coli"

6 Februari 2019   16:11 Diperbarui: 8 Februari 2019   09:12 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan air sungai bahan baku PDAM yang diduga tercemar/Foto: Republika

Sekarang ini, sulit mendapati sungai yang benar-benar bersih dan jernih. Sungai di kampung yang dulunya lumayan bersih pun, kini sudah tidak layak untuk disebut bersih. Namun, untuk membersihkan sungai kotor sejatinya tidak sulit.

Ya, kita hanya butuh waktu satu atau dua hari untuk membuat sungai yang awalnya kotor penuh sampah menjadi terlihat bersih. Selama ada ratusan bahkan ribuan orang bersinergi dan mau bersih-bersih turun ke sungai, kita bisa 'menyulap' sungai kotor menjadi bersih. Sesederhana itu. 

Masalahnya, tidak ada jaminan sungai itu akan seterusnya bersih. Malah, yang umumnya terjadi, setelah dilakukan bersih-bersih massal di sungai, sepekan kemudian atau bahkan beberapa hari kemudian, sungai kembali kotor. 

Niatan kita untuk bersih-bersih sungai masih sekadar ikut-ikutan, sekadar ingin meramaikan kegiatan karena ada pejabat yang datang. Lantas, setelah pejabatnya kembali ke kantor asalnya,  yang jamak terjadi, kisah berikutnya sampean (Anda) tahu.

Kenapa bisa begitu?

Sebab, ada banyak orang yang masih belum (saya lebih suka menuliskan kata belum daripada tidak) terbiasa berbudaya hidup bersih. Selama belum memiliki perilaku budaya hidup bersih, maka kapanpun dan dimanapun, semua orang akan dengan mudah membuang sampah ke sungai.

Padahal, sungai bukan hanya "jalan" bagi air untuk pulang menuju ke 'rumah' nya. Sungai juga bukan hanya habitat bagi berbagai jenis ikan dan kawan-kawannya. Sungai juga bukan hanya berfungsi untuk irigasi mengairi sawah. Namun, yang terkadang kurang disadari banyak orang, air sungai merupakan bahan baku air minum.

Nah, ketika kita membuang sampah ke sungai, itu tidak hanya mengotori, tetapi juga bisa mencemari sungai. Ketika sungai terceamr, tentu saja akan berdampak pada kualitas sumber air baku, sama saja artinya dengan mereka mencemari air untuk kebutuhan air bersih rumah mereka, di rumah kerabat, kawan-kawanya.

Perihal sungai yang tercemar ini, saya jadi teringat tentang ikhtiar beberapa peniliti yang juga aktivis lingkungan beberapa waktu lalu ketika melakukan bersih-bersih sungai. Selama menyusuri sungai sepanjang 4 kilometer, mereka mendapat 'tangkapan' limbah popok di sungai seberat 2 kuintal. Astaga.

Kabar itu sempat viral. Tidak hanya di media arus utama. Foto-foto dan beritanya juga banyak dibagikan di media sosial maupun via WhatsApp. Silahkan masuk ke mesin pencari Google dan tulis "popok bayi di sungai", maka beritanya akan bermunculan.

Setop buang popok bayi ke sungai/Foto: VoA Indonesia
Setop buang popok bayi ke sungai/Foto: VoA Indonesia
Dan memang, kebiasaan membuang popok bayi di sungai telah membudaya di sebagian masyarakat. Boleh jadi sudah menjadi hobi. Mungkin karena dianggap praktis. Praktis karena tak perlu repot membuang sampah popok bayi ke tempat sampah. Praktis karena tinggal lempar ke sungai, plung, maka urusan selesai. 

Perihal hobi membuang sampah popok bayi ini, ternyata tidak hanya dilakukan karena alasan hidup bertempat tinggal di dekat sungai. Tidak jarang, mereka yang tempat tinggal nya jauh dari sungai, juga ikut-ikutan melakukannya.

Pernah dalam perjalanan menuju ke tempat kerja, saya mendapati seorang pengendara motor keren yang membawa bungkusan plastik. Dan, begitu melintas di atas jembatan, dia mendadak melempar bungkusan yang ternyata berisi sampah popok itu ke sungai. Juga betapa sungai-sungai kecil di desa yang dulu (dulu sekali) airnya jernih bersih, kini sudah dikotori sampah popok bayi ini.

Dan yang bikin geleng-geleng, saya pernah mendengar cerita dari seorang kawan yang entah bercanda apa betulan, bahwa kebiasaan membuang sampah popok bayi itu karena berkaitan dengan mitos. 

Ada orang yang tidak mau membuang sampah popok bayi di tempat sampah karena khawatir sampah popoknya di bakar. Sebab, bila dibakar, katanya bayinya akan terkena hawa panas popok yang dibakar itu. Lha kalau dibuang ke sungai terus apa dong efeknya bagi bayi?

Bayangkan, betapa sampah popok seberat dua kuintal alias 200 kilogram itu kalau ditumpuk, bisa dibuat tembok. Karenanya, jangan heran bila di musim hujan seperti sekarang, air di sungai mudah meluap ke daratan karena jalan air di sungai diblokir oleh timbunan popok sampah.

Namun, yang paling mengerikan, sampah popok bayi yang lantas berbaur dengan limbah domestik juga limbah industri, tersebut tidak hanya mengotori. Namun, sudah mencemari air sungai yang menjadi bahan baku utama perusahaan air minum.

Air sungai akan tercemar oleh bakteri escherichia coli yang menyebar melalui feses bayi pada popok tersebut. Bayangkan bila air yang tercemari tersebut lantas menjadi  air baku yang kemudian dipakai dan bahkan dikonsumsi setiap hari. Sangat mungkin bisa berdampak buruk bagi kesehatan.

Memang, air baku sebelum dialirkan kepada pelanggan di rumah-rumah, tentunya telah menjalani berbagai proses di tempat. Namun, tidak semua orang merasa air baku tersebut sudah benar-benar steril dari pencemaran.

Sebab, dulu ketika masih bekerja di "pabrik koran" dan melakukan peliputan terkait masalah ini, beberapa orang acapkali mengelukan air yang dialirkan ke rumah mereka keruh bahkan terkadang berwarna kecoklatan.

Terkait hal ini, saya kebetulan pernah mewawancara petinggi di perusahan air minum. Dia menjelaskan bahwa tidak ada masalah dengan air yang dialirkan kepada para pelanggan. Sebab, kalaupun ada pencemaran, air tersebut sudah melalui proses pengolahan dengan baik dan memenuhi mutu air minum yang disyaratkan pemerintah.

Hanya saja, ketika air baku tercemar, perusahan air minum harus melakukan upaya ekstra untuk mengendalikan polutan air. Mereka harus mengeluarkan biaya mahal untuk pengolahan air tersebut agar benar-benar steril. 

Bila pemerintah daerahnya yang merupakan "induk" dari perusahaan daerah air minum tersebut sayang pada warganya, tidak akan ada kenaikan harga atau minimal harga langganannya masih wajar. Namun, bila perusahan plat merah nya sekadar berpinsip profit oriented, tentunya biaya mahal pengolahan air itu akan dibebankan ke masyarakat.

Jadi, selama budaya masyarakat untuk hidup bersih masih belum bagus, kualitas air baku masih akan tercemar dan meningkatkan biaya pengolahan air, efeknya sejatinya akan kembali me masyarakat juga.

Lalu, harus bagaimana untuk meningkatkan kualitas air baku?

Idealnya tentunya ketika masyarakat sudah memiliki budaya bersih, sudah sadar untuk tidak mencemari sungai. Namun, menanamkan budaya hidup bersih ini tentunya tidak bisa dilakukan dalam sehari dua hari. Tidak bisa dilakukan secara massal oleh 1000 orang. Tetapi harus ada ikhtiar kontinyu selama ratusan hari. Bahkan mungkin ratusan purnama seperti judul lagu terkenal itu.  

Bahkan, karena menumbuhkan kesadaran itu tidak mudah, terkadan masyarakat perlu dipaksa untuk terbiasa hidup bersih dan tidak membuang sampah ke sungai. Di beberapa kota, ada pemerintah daerah yang telah memiliki peraturan agar warganya tidak buang sampah sembarangan, termasuk ke sungai.

Perda ini ditegakkan dengan menerjukan ratusan petugas untuk melakukan operasi yustisi. Bila ada yang melanggar dan tertangkap petugas, mereka akan dikenai sanksi denda hingga yang lebih berat.

Selain itu, pemerintah daerah juga perlu melakukan pengawasan ketat pada sumber-sumber pencemar yang masuk ke sungai. Selain dari rumah tangga, juga dari industri. Selain itu, perizinan usaha dengan menitikberatkan pada izin pembuangan air limbah juga perlu untuk lebih ditertibkan.

Tentunya, menjaga sungai bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Namun, kita semua perlu turut serta. Harapannya, kualitas air sungai akan terjaga sehingga berdampak bagus bagi air baku. Selain itu, kawasan di sekitar sungai juga akan menjadi lebih tertata dan sedap dipandang. Bila sudah begitu, orang tentunya tidak akan tega bila hendak mencemari sungai. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun