Stamina acapkali menjadi masalah bagi Fitriani dalam beberapa tahun terakhir (bukan hanya Fitriani tetap juga mayoritas tunggal putri Indonesia). Dia seringkali kedodoran ketika harus bermain rubber game (tiga game). Meski mampu mengawali pertandingan dengan bagus, tetapi lantas kalah di game kedua. Dan karena stamina sudah habis, akhir cerita di game ketiga bisa ditebak.
Namun, di Thailand Masters 2019, tidak sulit menyebut Fitriani bertanding dengan stamina prima. Dia siap capek dengan terus mengejar shuttlecock. Staminanya tidak kendur meski harus bermain lebih dari satu jam. Bayangkan, dari lima pertandingan, empat pertandingan dilaluinya lewat rubber game. Sejak putaran pertama hingga semifinal.
Di babak 32 besar, Fitri menang dramatis 18-21, 21-9, 23-21 atas pemain Malaysia, Lee Ying Ying selama 54 menit. Di babak 16 besar, dia mengalahkan pemain tuan rumah yang merupakan juara bertahan dan juga unggulan 1, Nitchaon Jindapol 21-10, 17-21, 21-16 dalam waktu 1 jam 2 menit. Kemudian, di perempat final, dia menang 14-21, 21-15, 21-18 atas pemain Singapura, Yeo Jia Min selama 1 jam. Lalu di semifinal, menghentikan pemain Hongkong, Deng Xuang 12-21, 21-19, 21-16 selama 55 menit.
Empat kemenangan rubber game itu memperlihatkan betapa stamina Fitri stabil. Karena stamina mendukung, maka rencana main yang diterapkan pun bisa berjalan dengan baik. Dia bisa fokus. Apa yang diinginkan oleh pikiran, bisa dieksekusi dengan baik. Bukan maunya begini tetapi hasilnya berbeda karena kehabisan stamina.
Faktor Mental yang tidak mudah kalah duluan
Kemenangan rubber game tersebut tidak hanya memperlihatkan kondisi fisik Fitri stabil untuk bermain tiga game. Lebih dari itu, mentalnya juga siap menghadapi apapun yang terjadi selama pertandingan.
Dari empat kemenangan rubber game tersebut, tiga diantaranya diraih Fitri setelah sempat kalah di game pertama. Itu menunjukkan dia tidak merasa kalah duluan meski tertinggal di game pertama. Sebaliknya, kalah di game pertama membuatnya lebih termotivasi untuk memenangi game kedua demi 'memperanjang nafas' untuk merebut kemenangan di game penentuan.
Pun, ketika melawan Jindapol, usai menang telak di game pertama, dia kalah di game kedua. Bukankah pemain Indonesia cukup sering mengalami situasi seperti ini? Menang meyakinkan di game pertama, lantas kalah di game kedua dan di game ketiga kepercayaan dirinya hilang karena lawan terlanjur percaya diri. Namun, Fitri ternyata bisa menguasai dirinya. Dia tidak mau terintimidasi oleh Jindapol. Â
Dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org, Fitri menyebut semua lawan yang dihadapinya dari babak awal hingga final semuanya tidak mudah dihadapi. "Tinggal bagaimana di lapangannya. Semua sebetulnya punya peluang, apa pun bisa terjadi, yang lebih siap yang akan menang," ujarnya. Â
Mampu menimalisir kesalahan sendiri
Faktor ketiga yang membuat Fitri bisa juara adalah dia bisa bermain yakin. Bila Fitri yang sebelumnya dikenal sebagai "tukang error" karena seringkali ragu-ragu, kali ini dia tampil beda.
Fitriani mampu meminimalisir kesalahan sendiri selama pertandingan. Dia cukup jarang memberi lawan 'poin gratisan' semisal karena pukulannya keluar bidang permainan ataupun menyangkut di net. Â
Malah, lawannya yang justru sering melakukan kesalahan. Ambil contoh di final, poin kemenangan Fitriani berasal dari pukulan Busanan yang menyangkut di net, hanya dua pukulan setelah serve.