Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

4 Faktor yang Membuat Fitriani (Akhirnya) Bisa Juara

14 Januari 2019   22:29 Diperbarui: 15 Januari 2019   10:09 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fitriani, tampil beda di Thailand Masters 2019/Foto: Instagram Fitriani Official

Apa sih susahnya mengapresiasi atlet yang akhirnya menjadi juara setelah sekian lama 'paceklik' gelar? Ternyata tidak semua orang bisa dengan mudah untuk sekadar mengucap "selamat".

Itu yang terjadi ketika tunggal putri Indonesia, Fitriani, menjadi juara di turnamen Thailand Masters 2019. Fitri berhasil meraih gelar setelah di final turnamen BWF World Tour Super 300 berhadiah total 150 ribu dolar ini usai mengalahkan pemain tuan rumah, Busanan Ongbumrungphan 21-12, 21-14, Minggu (13/1/2019).

Saya tidak sengaja menemukan komentar 'unik' ketika berjalan-jalan di beberapa laman komentar di akun Instagram yang fokus mengabarkan bulutangkis. Akun tersebut menulis info begini: "Fitriani has becoma the first Indonesian Womes's Single to Win GPG/Super 300 Title Outisde Indonesia Since 2012".

Ada warganet yang seolah ringan saja bilang bahwa Fitriani hanya beruntung bisa juara di Thailand Masters. Komentarya 'melangit' karena ditulis dengan bahasa Inggris. Tetapi sayang, dia tidak bisa bersikap selayaknya 'manusia bumi' yang bisa menghargai jerih payah manusia lainnya.

Komentar nyeleneh itu lantas mendapatkan puluhan respons dari warganet lainnya yang 'menyerang' dia. Malah ada yang membalasnya dengan bahasa Inggris dengan menyebut bahwa sebuah keberuntungan pun tidak mendadak datang, tetapi dia hanya mau datang karena 'diundang' oleh kerja keras.

Apakah Fitriani sekadar beruntung akhirnya bisa juara di Thailand Masters 2019? Bila sampean mengikuti turnamen ini dari putaran pertama hingga final, mudah menyebut bahwa sukses Fitri yang akhirnya bisa meraih gelar setelah "puasa" sejak 2016 lalu, bukanlah sebuah kebetulan.

Hanya mereka yang tidak mengenal olahraga sepenuhnya yang menganggap ketika ada pemain top bisa juara dianggap sewajarnya, sementara ketika ada pemain bukan unggulan yang juara dianggap sebuah kebetulan. 

Justru, olahraga itu menjadi tidak membosankan karena adanya pemain-pemain bukan favorit yang berhasil menciptakan kejutan dengan mengejutkan pemain favorit dan kita sebagai penonton.  

Lalu, bila bukan kejutan, apa yang membuat Fitriani bisa mengawali tahun 2019 dengan gelar BWF World Tour setelah lebih dari dua tahun tidak pernah naik podium juara?

Menurut saya, ada empat faktor penting yang membuat pebulutangkis kelahiran Garut berusia 20 tahun ini akhirnya bisa menjadi juara. Empat faktor itu memperlihatkan bahwa Fitriani telah berlatih keras, memupuk kepercayaan dirinya dan berdiskusi dengan pelatihnya untuk mengatasi kekurangannya selama ini.  

Faktor stamina yang siap capek di lapangan

Stamina acapkali menjadi masalah bagi Fitriani dalam beberapa tahun terakhir (bukan hanya Fitriani tetap juga mayoritas tunggal putri Indonesia). Dia seringkali kedodoran ketika harus bermain rubber game (tiga game). Meski mampu mengawali pertandingan dengan bagus, tetapi lantas kalah di game kedua. Dan karena stamina sudah habis, akhir cerita di game ketiga bisa ditebak.

Namun, di Thailand Masters 2019, tidak sulit menyebut Fitriani bertanding dengan stamina prima. Dia siap capek dengan terus mengejar shuttlecock. Staminanya tidak kendur meski harus bermain lebih dari satu jam. Bayangkan, dari lima pertandingan, empat pertandingan dilaluinya lewat rubber game. Sejak putaran pertama hingga semifinal.

Di babak 32 besar, Fitri menang dramatis 18-21, 21-9, 23-21 atas pemain Malaysia, Lee Ying Ying selama 54 menit. Di babak 16 besar, dia mengalahkan pemain tuan rumah yang merupakan juara bertahan dan juga unggulan 1, Nitchaon Jindapol 21-10, 17-21, 21-16 dalam waktu 1 jam 2 menit. Kemudian, di perempat final, dia menang 14-21, 21-15, 21-18 atas pemain Singapura, Yeo Jia Min selama 1 jam. Lalu di semifinal, menghentikan pemain Hongkong, Deng Xuang 12-21, 21-19, 21-16 selama 55 menit.

Empat kemenangan rubber game itu memperlihatkan betapa stamina Fitri stabil. Karena stamina mendukung, maka rencana main yang diterapkan pun bisa berjalan dengan baik. Dia bisa fokus. Apa yang diinginkan oleh pikiran, bisa dieksekusi dengan baik. Bukan maunya begini tetapi hasilnya berbeda karena kehabisan stamina.

Faktor Mental yang tidak mudah kalah duluan

Kemenangan rubber game tersebut tidak hanya memperlihatkan kondisi fisik Fitri stabil untuk bermain tiga game. Lebih dari itu, mentalnya juga siap menghadapi apapun yang terjadi selama pertandingan.

Dari empat kemenangan rubber game tersebut, tiga diantaranya diraih Fitri setelah sempat kalah di game pertama. Itu menunjukkan dia tidak merasa kalah duluan meski tertinggal di game pertama. Sebaliknya, kalah di game pertama membuatnya lebih termotivasi untuk memenangi game kedua demi 'memperanjang nafas' untuk merebut kemenangan di game penentuan.

Pun, ketika melawan Jindapol, usai menang telak di game pertama, dia kalah di game kedua. Bukankah pemain Indonesia cukup sering mengalami situasi seperti ini? Menang meyakinkan di game pertama, lantas kalah di game kedua dan di game ketiga kepercayaan dirinya hilang karena lawan terlanjur percaya diri. Namun, Fitri ternyata bisa menguasai dirinya. Dia tidak mau terintimidasi oleh Jindapol.  

Dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org, Fitri menyebut semua lawan yang dihadapinya dari babak awal hingga final semuanya tidak mudah dihadapi. "Tinggal bagaimana di lapangannya. Semua sebetulnya punya peluang, apa pun bisa terjadi, yang lebih siap yang akan menang," ujarnya.  

Mampu menimalisir kesalahan sendiri

Faktor ketiga yang membuat Fitri bisa juara adalah dia bisa bermain yakin. Bila Fitri yang sebelumnya dikenal sebagai "tukang error" karena seringkali ragu-ragu, kali ini dia tampil beda.

Fitriani mampu meminimalisir kesalahan sendiri selama pertandingan. Dia cukup jarang memberi lawan 'poin gratisan' semisal karena pukulannya keluar bidang permainan ataupun menyangkut di net.  

Malah, lawannya yang justru sering melakukan kesalahan. Ambil contoh di final, poin kemenangan Fitriani berasal dari pukulan Busanan yang menyangkut di net, hanya dua pukulan setelah serve.

Namun, contoh nyata Fitriani jarang melakukan kesalahan sendiri adalah di putaran pertama saat melawan Lee Ying-Ying. Di game ketiga, Fitriani sempat tertinggal jauh 13-20. Dengan skor seperti itu, kita pastinya bisa dengan mudah berucap "tidak akan mungkin menang".

Lha bagaimana, lawannya cuma butuh tambahan satu poin saja, bisa dari usahanya atau dari kesalahan Fitri. Pelatih Malaysia saja sudah tepuk tangan tanda optimistis anak asuhnya bakal menang.

Yang terjadi, Fitri mampu mengejar dengan mendapatkan 7 poin beruntun dan memaksakan setting point di angka 20-20. Dia lantas balik mengungguli lawan hingga memenangkan pertandingan 23-21.

Bayangkan, harus meraih tujuh poin beruntun dengan kemungkinan pertandingan akan langsung selesai bila dia melakukan satu saja kekalahan saja, itu bisa dibilang mustahil dalam bulutangkis yang menerapkan sistem reli poin.

Ya, menghadapi situasi seperti itu, butuh dari sekadar mental yang kuat. Tetapi harus benar-benar memiliki ketenangan sempurna. Toh, Fitri mampu bermain sempurna dengan tidak sekalipun melakukan kesalahan dari angka 13 hingga ke angka 21. Justru lawannya yang bolak-balik melakukan kesalahan sendiri.

Fitriani kini 'bisa teriak' di lapangan

Fitriani lekat dengan pribadi yang kalem dan pendiam. Karakter itupun terbawa ketika dia bermain. Imbasnya, ketika dia dalam situasi tertekan, dia malah semakin tertekan karena emosinya terpendam.

Nah, di Thailand Masters 2019, Fitriani mampu bermain lebih lepas. Dia mulai mengubah karakternya di lapangan. Dia tidak lagi pendiam. Malah, tidak jarang dia berteriak ketika berhasil mendapatkan poin. Teriakan itu tidak hanya membuatnya semakin percaya diri, tetapi juga bisa menjadikannya lebih nyaman di lapangan. Pendek kata, dia bisa meluapkan emosinya.

Mungkin teriakannya tidak sekencang Carolina Marin, juara dunia 2018 asal Spanyol yang ketika bermain selalu heboh ketika mendapatkan poin. Dia juga tidak seaktif Nozomi Okuhara, tunggal putri Jepang juara dunia 2017 yang acapkali tertangkap kamera tengah berbicara sendiri untuk memotivasi dirinya sendiri.

Namun, Fitri setidaknya telah menemukan cara dalam 'berkomunikasi' dengan dirinya untuk melepaskan ketegangan ketika bermain. Dan memang, ketegangan bermain itu harus dilepaskan, jangan diendapkan dalam diri.

Saya tertarik dengan salah satu komentar warganet di media sosial. Ada warganet yang menulis penampilan Fitri di Thailand Masters 2019 bak menggabungkan gaya beberapa pemain top dunia dalam dirinya. Gaya serve ala menari jaipong yang seperti Susy Susanti, teriakan ala Carolina Marin, gaya rambut ala Yuki Fukushima dan pergerakannya gesit seperti Okuhara maupun Akane Yamaguchi.  

juara di Thailand Masters 2019/Foto: badmintonindonesia.org
juara di Thailand Masters 2019/Foto: badmintonindonesia.org
Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada Fitriani atas raihan gelar di Thailand Masters 2019. Saya yakin, tanpa diberitahu pun, Fitri sudah tahu bahwa gelar ini baru awalan, bukan terakhir. Fitri pastinya ingin berburu gelar-gelar berikutnya di tahun ini.

Namun, yang terpenting adalah bagaimana dia bisa meneruskan 'kemasan' penampilan seperti di Thailand Masters 2019. Konsisten. Dan, konsistensi Fitri akan langsung diuji pekan ini. Dia langsung tampil di Malaysia Masters 2019.

Dengan level Malaysia Masters Super 500 yang lebih tinggi dari Thailand Masters, pesaing Fitri jelas akan lebih berat. Hampir semua pemain top dunia akan tampil. tai Tzu-ying, Okuhara, Akane Yamaguchi, Marin, dan Ratchanok Intanon, semuanya tampil.

Meski segalanya mungkin terjadi, tetapi secara realistis, sulit untuk bicara gelar juara. Namun, terpenting adalah, Fitri bisa konsisten. Jangan sampai setelah juara lantas langsung out di babak-babak awal. Terlebih, dia akan menghadapi pemain kualifikasi di putaran pertama. Lantas, bila menang, di putaran kedua bisa kembali bertemu Busanan atau He Bingjiao dari Tiongkok. Selamat dan terus semangat Fitriani. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun