Jumat pagi kemarin, sebelum berangkat menemui beberapa orang untuk diwawancara, saya dikejutkan oleh kabar meninggalnya presenter sekaligus jurnalis, Rifai Pamone. Seorang kawan jurnalis televisi menuliskan kabar duka itu melalui tulisan status di akun media sosialnya.
Aktivitas pagi berkelana di media sosial yang biasanya sekadar untuk suka-suka pun berubah menjadi duka. Seolah ingin mendapatkan pembenaran, saya lantas serius membaca beberapa status kawan-kawan. Ternyata, beberapa kawan media juga mengabarkan informasi duka serupa.
Sempat ingin menuliskannya, tetapi aktivitas kerja dari pagi sampai sore dan baru kembali ke rumah jelang petang, membuat ide itu lantas menguap. Apalagi, masih ada rencana menulis yang menunggu diberesi.
Baru tadi pagi, saya kembali trenyuh ketika membaca tulisan mbak Ina Tanaya di Kompasiana. Tulisan berjudul "Hari Ini Kita Kehilangan Seorang Jurnalis Muda Handal" yang sungguh menyentuh. Saya jadi tahu, ternyata Rifai sebelumnya sakit dan beberapa bulan telah menjalani perawatan. Dari informasi beberapa kawan dekatnya, almarhum mengalami sakit TB kelenjar & infeksi saluran pencernaan.Â
Dan yang paling menyentuh sisi emosional kita adalah kalimat mbak Ina yang berbunyi, "Kebaikannya itu menjadi bagian dari hidupnya. Motivasinya bekerja keras adalah untuk membiayai sekolah keponakan-keponakannya. Dia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Tetap semangat dan tersenyum walaupun tubuhnya sudah lemah.
Tulisan mbak Ina itupula yang membuat saya lantas mencoba menuntaskan ide yang kemarin tidak kesampaian. Saya mencoba menuliskan segala sisi baik yang saya tahu dari almarhum semasa hidup. Sisi baik sebagai manusia dan sebagai pekerja media yang bisa kita teladani.
Terus terang, saya tidak kenal dekat dengan almarhum Rifai Pamone. Meski semasa hidupnya, terutama ketika bertugas di Surabaya, kami beberapa kali bertemu. Utamanya ketika saya masih bekerja di Bagian Humas Pemkot Surabaya.
Karena bertugas mengikuti agenda Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk kemudian ditulis sebagai rilis yang dikirim ke media (sehingga ada kawan yang menjuluki saya orang dekat Bu Risma--karena kerjanya memang tidak pernah jauh dari Bu Risma), saya bisa tahu dan mengenal cukup banyak wartawan. Terlebih sebelumnya, saya juga pernah bekerja di "pabrik koran" sebagai wartawan.
Kalaupun tidak semuanya saya kenal akrab, tetapi minimal sering bertemu di Kantor Bagian Humas Pemkot Surabaya ataupun ketika liputan di lokasi. Kesibukan kerja masing-masing membuat obrolan tidak jauh dari ranah kerja. Dan, mereka yang tahu saya stafnya Humas, setiap bertemu tidak lupa bertanya "mas, Bu Risma hari ini ada agenda apa?".
Bagi saya, semasa hidupnya, Rifai sosok jurnalis yang santun dan cerdas. Jurnalis kelahiran 12 November 1981 ini punya wawasan luas. Intonasi suaranya juga sangat mantap, lancar dan penuh kepercayaan diri ketika mewawancara narasumber maupun ketika tampil live menyampaikan hasil reportase di lapangan.
Dia juga jurnalis tangguh, pekerja keras dan punya dedikasi dalam bekerja. Tentang hal ini, saya pernah melihatnya langsung ketika mengikuti agenda Bu Risma saat kegiatan panen urban farming di wilayah dekat perbatasan Gresik sekira tahun 2014 silam. Liputannya menarik.
Kala itu, di tengah siang yang terik, saya dan beberapa wartawan, termasuk Rifai, berada di tengah area persawahan. Karena akses menuju sawah yang akan dipanen hanya berupa jalan setapak yang tidak bisa dilalui mobil, kami pun berjalan cukup jauh menuju lokasi.
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya dengan medan liputan yang seperti itu, dengan panas Surabaya, plus membawa peralatan liputan ala jurnalis televisi. Â
Toh, dia santai saja. Bahkan, di lokasi areal persawahan, dia tidak segan untuk turun ke bawah meski menginjak tanah yang lembab dan sepatunya kotor oleh tanah. Dia tidak ragu melakukannya demi bisa mewawancara Bu Risma di lokasi.
Sepengetahuan saya, sikap tangguh dan totalitas seperti itu tidak dimiliki semua orang yang bekerja media. Sebab, dalam ranah media, akan selalu ada dinamika wartawan yang rajin bekerja dan sebaliknya.
Saya juga mengingat Rifai sebagai jurnalis profesional yang bisa menempatkan diri dengan baik ketika berurusan dengan narasumber. Tentang hal ini, saya ingin mengutip jawaban Bu Risma ketika diwawancara jurnalis Metro TV tentang kenangannya dengan Rifai Pamone yang juga ditulis Mbak Ina.
"Saya menganggap Rifai sebagai anak saya sendiri. Bahkan saat sedang sibuk saat jelang puasa, Rifai Pamone ingin menginterview saya. Saya katakan nanti saja karena saya masih sibuk sekali. Dia tidak memaksa. Sampai dia pulang ke Jakarta. Lalu, dia menelpon saya, memberikan kesempatan sekali lagi apabila saya bisa diinterview. Saya sangat menghargai sikap profesionalisme. Ditolak tidak marah, bahkan sangat santun sekali". Begitu jawaban Bu Risma.
Jawaban Bu Risma tersebut benar adanya. Almarhum Rifai adalah satu dari sedikit jurnalis yang tidak gampang baper ataupun mudah tersulut emosinya ketika berhadapan dengan narasumber. Dia juga bisa menjaga hubungan baik dengan narasumbernya. Sikap profesional itulah yang bisa diteladani para jurnalis.
Selama bekerja di humas, saya beberapa kali mendapati wartawan yang terkadang tidak sabaran untuk mendapatkan kesempatan mewawancara. Maunya cepat tanpa mau mengerti bahwa narasumbernya juga punya kesibukan. Ada pula jurnalis yang terkadang tidak sabaran ingin segera mendapat statement yang diinginkan dari narasumber tanpa memperhitungkan situasi ketika wawancara ataupun gagal mengawali wawancara dengan baik.
Di luar atribut sebagai jurnalis, Rifai semasa hidupnya juga memiliki sikap luwes sebagai seorang kawan yang ia tunjukkan ketika 'melepas' atribut tersebut alias pas tidak sedang menjalankan tugas.
Saya terkesan dengan cerita kawan jurnalis dari Kompas TV perihal hubungan kerjanya dengan Rifai yang ia gambarkan dalam narasi cerita di akun Instagramnya. Ia bercerita pernah bersitegang dengan Rifai karena rebutan narasumber untuk wawancara karena kebetulan narasumbernya sama dan jadwal siaran live nya pun berdekatan waktunya. Situasi itu sempat berulang dalam kesempatan berikutnya. Namun, ketika kondisi biasa, mereka bisa berbincang akrab tanpa harus baper dengan kejadian sebelumnya.
Dari cerita tersebut, kita bisa mendapatkan hikmah. Bahwa seberapapun ketatnya persaingan dalam pekerjaan, kita sejatinya sedang memenuhi tugas sebagai pekerja. Tetapi, tugas sebagai kawan dan manusia, tidak boleh terabaikan. Sebab, apalah artinya menyajikan berita ekslusif yang mendapat pujian banyak orang bila ternyata tidak disukai sesama pekerja media karena mungkin sikap yang kurang terpuji.
Rifai yang saya tahu juga pribadi yang tegar. Meski sakit, dia tidak mau menampakkan kesan sedang sakit ketika berkumpul dengan banyak orang. Seorang kawan jurnalis senior bercerita, ketika perayaan ulang tahun perusahaannya di Surabaya beberapa waktu lalu, kawan saya tersebut bertanya kepada Rifai perihal badannya yang terlihat semakin kurus.
Bukannya mengeluh, dia malah menjawab santai. "Cacingen (sakit cacing) Ning," ujarnya seraya terkekeh sembari minat didoakan untuk kesehatannya. Â Â
Selamat Jalan Rifai Pamone. Saya ikut mendoakan semoga kamu husnul khotimah.......Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H