Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dampak Jahat Gawai pada Anak yang Perlu Disadari Orangtua

25 Desember 2018   16:03 Diperbarui: 25 Desember 2018   20:25 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi pasangan suami istri yang sudah memiliki anak-anak, waktu bisa berduaan terkadang menjadi momen yang dirindukan. Bisa keluar rumah, nongkrong berdua sembari mengobrol hal-hal remeh temeh hingga yang serius. Nah, tadi malam, saya bisa mendapatkan momen tersebut.

Mumpung anak-anak sudah tidur, kami bisa menikmati malam berdua. Meski sekadar makan mie ayam di warung favorit yang tidak jauh dari rumah. Karena bila bepergian jauh dari rumah yang artinya bakal lama, malah kepikiran anak-anak di rumah. Begitulah, ingin berduaan tetapi pikiran tetap terpaut di rumah.

Nah, selama menikmati mie ayam paling enak--di dekat tempat tinggal saya--yang porsinya kini semakin berkurang tetapi harganya semakin naik dibandingkan pas zaman sebelum menikah dulu, pandangan saya sesekali tertuju pada seorang bocah yang sedang makan mie bersama ibunya. Mereka duduk berhadapan dengan kami. Bocah tersebut sekira kelas 4 SD. Hanya dia saja yang dipesankan mie oleh sang ibu. Sementara ibunya sekadar menunggu.

Selama proses menunggu mie tersebut, si bocah terlihat asyik memainkan gawainya. Dari suara gawainya, mudah menebak itu game terkenal yang juga jadi favorit anak-anak sepantarannya. Termasuk anak mbarep (sulung) saya.

Setelah mie ayam dihidangkan ke meja, bocah tersebut juga masih asyik bermain. Ibunya sesekali menegur, "ayo di makan mie nya". Setelah beberapa menit, saya dan istri selesai menyantap semangkuk mie ayam. Beberapa orang di samping saya yang datang belakangan setelah bocah tersebut, juga sudah menghabiskan mie ayam mereka.

Dari sini, si ibu bocah tersebut mulai gusar. Dia kembali berujar "ayo segera di makan, apa kamu mau tidur di sini?". Bocah tersebut bukannya tidak menyentuh mie nya. Namun, sekali menyantap mie, lantas matanya kembali menatap gawainya.

Beberapa orang lantas mulai ikut bersuara. "Anak-anak memang kalau sudah pegang HP, sudah lupa segalanya," ujar seorang bapak di samping saya. Si ibu bocah itu pun menjawab, "Iya pak, dia kalau pegang HP jadi gampang marah. Diingatkan langsung ngamuk," ujar sang ibu.

Saya dan istri sekadar ingin menjadi pendengar saja sembari tersenyum. Adegan berikutnya, si ibu yang mungkin sudah kehilangan kesabaran, kembali berujar "ayo segera dihabiskan, orang lainya semua sudah habis (mie ayamnya), tinggal kamu saja". Mendengar ucapan ibunya, sang bocah itu menjawab, "Ya aku kan makannya sambil main HP, makanya lama," sembari keluar dari warung, menuju ke motor yang terparkir.

Cerita nyata di warung ayam tersebut bak gambaran hubungan gawai dengan anak-anak era kekinian. Bukan hanya mereka yang tinggal di kota, anak-anak yang tinggal di kawasan tambak yang jauh dari kota pun sudah keranjingan gawai. Lha wong beberapa warung kopi dengan fasilitas free wi-fi, pelanggannya kebanyakan anak-anak. Kebanyakan dari mereka seolah hanya bisa menemukan kebahagiaan dari gawai. Bila sehari tidak memegang gawai, rasanya tersiksa.

Padahal, gawai itu punya efek yang 'mengerikan'. Gawai itu bisa berdampak jahat pada anak-anak. Bukan hanya efek pada kesehatan, tetapi juga efek perkembangan karakternya. Sebagai orang tua, saya tidak melarang anak-anak berkenalan dengan gawai. Namun, saya membatasi mereka. Hanya boleh ketika akhir pekan. Itupun hanya selama waktu yang telah disepakati.

Meskipun sudah dibatasi hari dan lama 'main' nya, efek HP ini jelas terasa. Mereka cenderung jadi egois, semisal tidak mau bergantian dengan kakak/adiknya. Juga mudah ngambek atau marah bila "jam bermainnya" tidak sesuai harapan mereka.

Bila sudah begitu, saya dan istri seringkali mencoba mengalihkan pikiran mereka dengan hal-hal lain. Semisal mengajak mereka menggambar di pasar minggu, bermain ke taman kota, mengajak mereka berenang ataupun memancing di kolam pancing.

Pendek kata, mengenalkan kepada mereka bahwa ada banyak sumber kebahagiaan lain selain gawai. Sebab, cerita masa lalu ketika saya bisa bahagia tanpa gawai, terkadang kurang ampuh bila sekadar menjadi cerita sebelum tidur.

Dan memang, gawai juga televisi kini seolah menjadi teman paling dekat bagi anak-anak. Terlebih, tidak sedikit orang tua yang malah terbiasa memberikan gawai kepada putra-putrinya ataupun berlangganan channel film anak-anak melalui TV kabel dengan tujuan tertentu. Semisal agar anak-anak bisa diam di kursi sembari menonton TV ataupun bermain gadget sementara orang tuanya bisa melanjutkan aktivitasnya di rumah.

Padahal, dari berbincang dengan beberapa dokter anak yang pernah saya wawancara untuk keperluan liputan majalah rumah sakit, televisi dan gadget bisa memunculkan efek kurang baik bagi proses tumbuh kembang anak. Karenanya, tidak mengherankan bila banyak ahli berpendapat bahwa menonton TV tidak baik buat anak-anak.

Bahkan, American Association of Pediatrics pernah menyarankan agar anak di bawah usia dua tahun tidak perlu menonton televisi dan anak di atas dua tahun dibatasi waktu menontonnya hanya satu jam per hari.

Seorang dokter spesialis anak pernah mengatakan, efek negatif dari gawai dan televisi bagi anak-anak yang paling cepat terkena adalah sektor bahasa. Anak-anak bisa dengan mudah meniru kosakata di televisi yang sebenarnya tidak boleh mereka ucapkan. Bahayanya, tayangan TV yang memuat kekerasan dan cara bicara kasar yang rentan ditiru anak-anak, bisa menyebabkan anak-anak berperilaku agresif.

"Yang paling cepat terkena adalah sektor bahasa. Efek televisi akan membuat anak-anak menjadi lebih egosentris dan posesif," ujarnya.

Selain itu, ada dampak negatif lainnya dari menonton TV dan bermain gadget yang belum banyak diketahui oleh orang tua. Ternyata, kebiasaan menonton TV dalam waktu lama, bisa membuat anak-anak berisiko menderita obesitas.

Ini karena ketika berada di depan TV ataupun memegang gadget, anak-anak akan menjadi malas bergerak. Mereka cenderung hanya duduk mematung. Bahkan, ada anak yang memiiki kebiasaan bangun tidur langsung menonton televisi ataupun pegang gawai.

Kurangnya aktivitas gerak fisik itu akan membuat anak-anak berisiko menderita obesitas ketika besar nanti. Juga, tidak ada interaksi aktif antara anak dengan acara yang ditontonnya. Sebab, menonton televisi dan bermain gawai adalah aktiitas komunikasi satu arah.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bila gawai dan televisi juga bermanfaat dalam hal merangsang minat anak untuk belajar. Melalui permainan di gawai dan acara televisi, kreativitas anak-anak bisa tumbuh. Terpenting, ada "aturan main" yang disepakati antara orang tua dan anak. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun