Termasuk menonton kembali cuplikan permainan tim tersebut via YouTube untuk fokus pada mengapa mereka bisa mencetak gol dan mengapa mereka bisa kemasukan gol ataupun mengapa mereka kesulitan mencetak gol. Bahkan, bila ditanya siapa tim yang berpeluang menang (yang biasanya diajukan sebagai pertanyaan closing), juga harus berbasis data. Â
Menjawab dengan jawaban padat berisi tentunya akan baik bagi pewawancara maupun yang diwawancara. Bagi 'tukang ngomong" nya, tentunya citranya akan bagus di mata publik yang mendengar/melihat. Kalaupun dia tidak peduli pada branding diri, minimal dia merasa puas dengan jawaban yang disampaikan.
Media pun akan diuntungkan karena menampilkan narasumber yang memang kompeten di bidangnya. Sehingga, citra mereka otomatis akan bagus dipandang oleh audience nya. Dan, karena pendengar serta pemirsa merasa senang dan butuh informasinya, mereka akan menjadikan media tersebut sebagai acuan mendapatkan asupan informasi bagi tentang bahasan tema tersebut.
Karena sama-sama diuntungkan tersebut, ada baiknya bila proses wawancara dilakukan terencana. Tidak mendadak. Dengan begitu, sampean (Anda) yang menjadi narasumber, bisa mempersiapkan materi sehingga hasilnya juga maksimal.
Saya pernah diwawancara mendadak oleh seorang teman media cetak/online perihal prestasi tim kontestan Liga 1. Dikirimi draft beberapa pertanyaan melalui WhastApp sekitar pukul 15.00 dan katanya pukul 18.00 sudah deadline. Rasanya sudah seperti mendapatka soal ujian yang harus segera dikumpulkan.
Kalau kebetulan berada di depan laptop, urusannya tentu akan mudah. Tinggal mencari data-data, tinggal memutar cuplikan pertandingannya via Youtube, dan bila data sudah dalam genggaman, tinggal mengolah kata.
Namun, beda cerita bila sedang berada di luar rumah karena sibuk menuntaskan pekerjaan dan tidak punya waktu longgar untuk mencari data. Lha wong pengamat bola sejatinya juga punya pekerjaan masing-masing dan waktu mereka tidak melulu untuk bola--meskipun tetap rutin update karena memang bola itu passion. Tapi, masak iya sekadar dijawab "setahunya".
Kalau saya, bila memang tidak memungkinkan untuk bicara karena keterbatasan data yang dipegang, lebih baik tidak memaksakan bicara. Memang, bila tidak menjawab, kasihan reporternya yang harus mendapatkan statement demi memenuhi pesanan editornya (pernah bekerja di pabrik koran membuat saya bisa merasakan situasi seperti itu).
Tapi, daripada menyampaikan jawaban yang ternyata tidak faktual semisal datanya keliru, tentunya akan buruk bagi si pewawancara tersebut. Dan juga buruk bagi kita yang memberikan pernyataan.
Terlebih bila pernyataan itu memiliki unsur proximity alias kedekatan dengan audience. Kalau bicara Piala Dunia mungkin dimaklumi. Tapi, bagaimana bila bicara tim-tim di kota sendiri yang memiliki banyak suporter.
Terlebih lagi bila ternyata sampean (Anda) tidak kenal baik dengan yang mewawancara sampean. Ucapan kita yang keliru atau mungkin dianggap kontroversial, bisa jadi malah ditampilkan sebagai judul untuk 'memikat' pembaca. Sebab, ada cukup banyak cerita narasumber yang diplintir ucapannya oleh oknum pewawancara yang tidak bertanggung jawab.