Bahkan, "Ngomong Bola"Â pun Butuh Data
Bila harus memilih, manakah yang lebih sulit, menulis atau berbicara?
Jawabannya ternyata tidak sekadar yang ini lebih sulit atau yang itu lebih gampang. Bergantung kondisinya.
Bila menulis sekadar nulis 'status receh' di akun media sosial, tentunya mudah. Namun, beda cerita bila menulis tentang ulasan tentang 'tema serius' yang harus berbasis data dan wawancara.
Bicara juga begitu. Bila hanya bicara dengan teman kerja di warung makan ketika jam istirahat kerja, itu mudah saja. Sekadar bicara. Namun, lain ceritanya bila bicara karena diwawancara oleh reporter media. Terlebih bila wawancaranya live. Tentunya tidak bisa asal bicara.
Bahkan, untuk hal yang terkesan mudah seperti sepak bola yang banyak orang merasa bisa membicarakannya, itu juga tidak bisa dilakukan asal bicara.
Sekadar berbagi pengalaman, pernah kebetulan beberapa kali diwawancara kawan-kawan media perihal sepak bola maupun bulutangkis, membuat saya menjadi paham bahwa bicara berdasar data itu hasilnya akan berbeda bila sekadar bicara berdasarkan "setahu saya". Â
Karenanya, sebelum tampil bicara, saya butuh mencari dan membaca data terlebih dulu. Bisa memakan waktu cukup lama untuk mencari, membaca dan mencatat data-data yang sekiranya saya perlukan untuk dijadikan bahan ngomong.
Ketika musim Piala Dunia 2018 pada Juni-Juli lalu, ada stasiun televisi lokal di Surabaya dan juga beberapa stasiun radio terkenal yang cukup sering mengajak saya ngobrol seputar preview maupun review pertandingan. Ngobrolnya ditayangkan ataupun disiarkan live. Â
Tentu saja, tidak bisa selama waktu 30 menit (untuk tayangan televisi) atau periode lima (5) menit untuk radio, sekadar bicara permainan tim ataupun pemain hanya mendasarkan pada pengamatan. Apalagi bila sekadar menjawab asal pertanyaan mendalam yang diajukan reporter.