Bagi saya, parameter seorang suami hebat itu bukan hanya mereka yang telah bekerja seharian demi menjadi sumber penghasilan bagi keluarganya. Tentu saja mereka hebat karena mencari nafkah demi keluarganya. Namun, ukuran hebat bukan hanya seperti itu.
Tetapi juga mereka yang selain bekerja, tetap bisa menomorsatukan waktunya untuk keluarga. Bisa lebih mementingkan istri dan anak-anaknya ketimbang "me time" nya sendiri. Karenanya, merujuk paramater ini, perjuangan Indro Warkop dalam mendampingi istrinya, layak menjadi teladan. Â
Dalam ranah yang lebih kecil, saya memiliki tetangga hebat. Seorang suami yang kisahnya tidak kalah hebat dengan Indro Warkop. Beliau ini pasangan abdi negara. Istrinya sudah pensiun sejak dua tahun lalu. Sementara suaminya kini tengah memasuki masa purna tugas dan tahun depan baru pensiun. Mereka kini tinggal berdua setelah dua anak mereka sama-sama bekerja di Jakarta.
Dalam satu tahun terakhir, sang istri tergolek sakit. Stroke. Bahkan sempat tidak bisa berbicara/pelo. Beliau sempat cerita telah membawa istrinya berobat ke beberapa rumah sakit. Sempat membaik, tetapi kondisi istrinya lantas kembali stagnan seperti sebelumnya.
Selama setahun itu, dia pun lebih banyak menghabiskan waktu mendampingi istrinya. Dia mengorbankan waktu "me time" nya. Semisal sebelumnya di malam minggu bisa bermain tenis meja bersama bapak-bapak lainnya, kini lebih memilih di rumah bersama istri. Pun, ketika pagi sebelum bekerja, dia seringkali mengajak istrinya jalan-jalan, mendorongnya dengan kursi roda. Sungguh menginspirasi.
Dan memang, setiap kita pasti punya pengalaman berbeda dalam meluangkan waktu untuk mendampingi istri, ibu, bapak dan keluarga. Setiap orang pastinya punya kisah baik yang bisa menginspirasi orang lain.
Bicara "me time", ini bukan hanya hak ekslusif perempuan/istri. Laki-laki pun punya "me time". Semisal ngopi bersama rekan sejawat di warung kopi, main futsal atau bulutangkis, ataupun aktivitas lainnya. Namun, ketika sudah berkeluarga, sudah seharusnya "me time" bersama kawan-kawan tersebut dikurangi. Bukan lantas dihilangkan, tetapi dikurangi.
Dulu ketika sebelum menikah, karena bekerja sampai malam, saya terbiasa untuk tidak cepat-cepat pulang. Ketika pekerjaan selesai, ada tambahan aktivitas. Ada jadwal futsal bersama teman-teman kantor yang dimulai pukul 21.00 hingga pukul 23.00 WIB. Ada jadwal main bulutangkis. Ataupun jadwal nonton bareng. Belum termasuk 'acara' ngopi di warung kopi depan kantor.
Namun, ketika sudah beristri, aktivitas tambahan itupun pelan-pelan saya kurangi. Bisa dikurangi durasi jamnya, bisa dikurangi frekuensi kegiatannya. Tanpa harus menghilangkan pertemanan dan jejaring dalam aktivitas di luar kerja.
Dalam frame pikiran saya, semua itu ada masanya. Dan ketika sudah berkeluarga, masa "me time" selepas bekerja itu sudah seharusnya berganti menjadi "we time". Apa sih senangnya menikmati waktu sendiri dibanding menikmati waktu bersama keluarga. Apa sih hebatnya berlama-lama bersama kawan di luar rumah sementara istri di rumah menunggu kepulangan kita.
Pendek kata, ketika sudah berkeluarga, diri kita bukan hanya milik kita. Bahwa, istri dan anak-anak juga memiliki hak untuk melihat suami/ayahnya lebih lama di rumah. Karenanya, selepas bekerja, bila tidak ada lagi urusan yang penting, apakah ada yang lebih penting selain langsung ke rumah dan bertemu keluarga.