Pernah kurang lebih setengah dekade tinggal di Kota Malang membuat saya cukup punya keterikatan emosional dengan kota ini. Ada cukup banyak episode hidup saya yang bermula di Malang. Dari mengenal "orang tua" baru, kawan-kawan dekat, termasuk juga "menemukan" istri di tempat kuliah.
Karenanya, ketika mendengar kabar Kota Malang dihantam 'badai' korupsi, muncul perasaan miris sekaligus keingintahuan untuk tahu 'jalan ceritanya'.Â
Betapa tidak miris, sebanyak 41 wakil rakyat dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, kompak menjadi pesakitan setelah terjerat kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka terjerat dugaan kasus suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Angggaran 2015 seperti dikutip dari Kompas.com.
Ditambah lagi, (mantan) Wali Kota Malang, M Anton dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang Jarot Edy Sulistyono. Mereka disangka terlibat dugaan suap pembahasan APBD-P 2015 senilai total Rp 700 juta seperti dikutip dari artikel ini.Â
Dulu ketika masih bekerja di "pabrik koran" dan ditugaskan di Kota Malang, beberapa dari mereka sempat menjadi narasumber saya. Meski, saya tidak kenal dekat karena tidak setiap hari saya 'nge-pos' di DPRD Kota Malang karena harus bisa berkeliling ke tempat-tempat lain demi menemui narasumber lainnya.
Pun, saya masih ingat betul, ketika HM Anton yang kala itu berpasangan dengan Sutiaji dan diusung PKB dan Gerindra mendaftarkan diri ke KPUD Kota Malang untuk Pilwali 2013, saya yang waktu itu nyanggong di KPUD, sempat melontarkan pertanyaan kepada pasangan ini.
"Pak, apa pertimbangannya sehingga memakai baju kotak-kotak putih biru (pada saat pendaftaran), apakah terinspirasi dengan kemenangan Jokowi-Basuki TP di Pilkada DKI,"? ujar saya kala itu merujuk baju kotak-kotak yang mereka pakai dan kala itu memang sedang jadi tren. Â
Saya keburu "pensiun dini" dari "pabrik koran" ketika pasangan ini akhirnya memenangi Pilwali Kota Malang 2013 atas tiga pasangan lainnya. Singkat cerita, HM Anton yang berniat kembali maju di Pilwali 2018, gagal ikut bertarung setelah terbelit kasus.
Kasus korupsi yang menghantam pemerintah daerah atau siapapun, tentu saja membuat prihatin. Di era ketika birokrasi sudah mendapat label reformasi, kok ya masih ada yang 'berani' melakukan tindak pidana rasuah ini. Padahal sudah tahu ada lembaga yang mengawasi, juga sudah tahu ancaman hukumannya. Dan, apa juga tidak memikirkan bagaimana nama baik keluarganya bila dia menjadi terpidana korupsi.
Memotivasi Kota Malang
Namun, terpenting adalah blessing in disguise alias berkah terselubung yang bisa diambil dari kasus ini dan apa yang harus dilakukan setelah badai korupsi itu terjadi. Kota Malang tentu saja ingin bangkit dari aib (yang mungkin) paling memalukan sepanjang sejarah kota mereka.Â
Dan memang, pembangunan harus jalan terus, pelayanan kepada masyarakat juga tidak boleh berhenti. Pendek kata, Malang harus dimotivasi dan juga mampu memotivasi dirinya untuk menjadi lebih baik.
Nah, bicara memotivasi Malang, ketika pasangan walikota/wakil wali kota Malang terpilih periode 2018-2023, Sutiaji-Sofyan Edi Jarwoko dilantik Gubernur Jawa Timur, Soekarwo pada 24 September 2018 lalu, ada banyak motivasi yang diberikan kepada mereka.
Soekarwo menekankan pentingnya menjaga keharmonisan dan komunikasi antara kepala daerah dengan DPRD. Dia menyebut pentingnya integritas dalam mengelola dan membangun daerah. Serta perlu langkah-langkah preventif dalam pencegahan tindak pidana korupsi khususnya dalam proses pengadaan barang dan jasa.Â
Pengelolaan keuangan juga diharap memperhatikan aspek transparansi serta meningkatkan pelayanan publik. "Harus ada langkah-langkah maksimal dalam memerangi korupsi dalam bentuk apapun," kata Soekarwo.
Kota Malang Diminta "Nyari Musuh"Â
Nah, pesan paling menarik adalah ajakan Soekarwo agar Malang mencari "musuh" yang disampaikan saat pidato di Rapat Paripurna Penyampaian Visi Misi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang Periode 2018 - 2023. Mengapa harus "nyari musuh"?
Musuh dalam artian kota yang bisa menjadi role model sekaligus kompetitor agar Malang lebih terlecut untuk maju. Tidak boleh ada sikap terlena apalagi cepat puas dengan pencapaian di kota sendiri sementara ada kota lain yang justru jauh lebih mampu dalam menerapkan reformasi birokrasi, berhasil dalam pembangunan infrastruktur dan bisa melahirkan berbagai inovasi dalam pelayanan publik. Pendek kata, harus dimunculkan "sikap iri" dalam konotasi baik untuk lebih memacu diri.
Lima tahun tidak mengikuti langsung perkembangan Kota Malang (karena sudah sangat jarang ke sana), membuat saya "jadi buta" apa saja sebenarnya pekerjaan rumah di Malang sekarang ini. Meski dari, penuturan seorang kawan yang tinggal di Malang, masalahnya ternyata masih kurang lebih sama dengan beberapa tahun lalu.
Nasrul Hamzah, seorang kawan jurnalis yang melek kondisi Malang dan kini tengah berikhtiar maju sebagai calon anggota legislatif DPRD Kota Malang, menyebut ada beberapa hal yang harus diperbaiki di Malang. Namun, yang paling utama adalah infrastruktur, anggaran dan pendapatan.
Menurut anak muda ini, Malang memang harus "mencari musuh" bila ingin move on dari prahara yang baru saja mengguncang kota bunga ini. Dia menyebut Kota Surabaya bisa menjadi 'musuh' sekaligus role model bagi Malang. Dia mencontohkan soal kemacetan.Â
"Lembaga Riset Inrix bahkan menempatkan Malang menjadi kota termacet ketiga setelah Jakarta dan Bandung. 'Prestasi' macet Kota Malang bahkan menggusur Kota Surabaya yang sudah berbenah dengan baik mengatasi hal ini. Kemacetan tentu berdampak pada ekonomi. Investasi bisa jadi akan menurun dengan kondisi macet Kota Malang," ujarnya.
Persoalan lainnya yang mengharuskan Kota Malang juga "mencari musuh" adalah perihal belum maksimalnya sektor pendapatan. Sebagai pembanding, di tahun 2018 ini, Kota Surabaya sudah menargetkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sekitar 4 triliun. Sementara Malang yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur, PAD Kota Malang masih berkutat di angka 374 miliar dan tahun 2019 diproyeksikan hanya 412 miliar saja. Padahal, Malang memiliki banyak potensi wisata yang berpotensi menjadi sumber PAD.
"Satu sektor dari PAD saja, Kota Malang masih jauh dari Surabaya. Artinya ketika ada "musuh" atau kompetitor bisa jadi pelecut semangat untuk memperbaiki Kota Malang yang potensinya masih terpendam.Â
Ketika Kota Malang tidak berbenah, maka predikat kota terbesar kedua itu akan jatuh ke daerah lain. Sebab, jika kita lihat beberapa kabupaten lain sudah melakukan pembenahan di sektor layanan publik dan sebagainya dengan menggunakan teknologi kekinian".
Tentu saja, membenahi kota tidak semudah tugas seorang pelatih melakukan perubahan strategi bermain bola yang tinggal disampaikan ke pemain pada saat jeda babak pertama.Â
Butuh pemahaman dan pemetaan menyeluruh terhadap persoalan yang perlu segera diatasi. Perlu kesamaan semangat, integritas dan merangkul seluruh SKPD lantas memunculkan inovasi dan solusi guna mengatasi masalah bersama. Tidak kalah penting bersinergi dan dengan DPRD. Dan yang paling penting sejatinya adalah adanya komitmen kuat untuk membangun kota menjadi lebih baik dan melayani masyarakat dengan "hati".Â
Serta, membiasakan "budaya malu". Bukan hanya malu bila tergoda melakukan hal-hal yang melanggar hukum, tetapi juga malu bila belum mampu menjadi 'abdi masyarakat' yang profesional, malu bila belum mampu menyederhanakan pelayanan publik dan malu bila belum mampu mengubah kotanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebab, seperti kata Rasulullah, rasa malu adalah akhlak yang baik. Salam. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H