Bahkan, sanksi yang lebih berat bisa dijatuhkan bila seseorang merintangi jalan umum yang bisa berimplikasi membahayakan keselamatan lalu lintas. Pasal 192 ayat (1) KUHP mengancam pidana maksimal sembilan tahun penjara kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Dan memang, gelaran hajatan yang menutup jalan ini acapkali memicu pro kontra. Mereka yang kontra jelaslah yang merasa dirugikan dengan tutup jalan ini karena harus repot untuk melintasi jalur alternatif yang kondisinya (di kampung) terkadang tidak bisa disebut jalan atau bahkan harus memutar balik dengan jarak tempuh cukup jauh. Sementara yang setuju beralasan, toh hajatan menutup jalannya nggak setiap hari. Jadi, pengguna jalan seharusnya bisa memahami.
Kalau saya, ya memang sih nggak setiap hari (maksudnya yang menggelar hajatan memang nggak setiap hari, bahkan mungkin sekali seumur hidup). Tapi, bagaimana bila ada 10 orang juga punya alasan sama. Artinya, pengguna jalan berarti akan 10 kali mengalami imbas hajatan itu.
Terpenting menurut saya, bila memang harus menutup jalan karena memang tidak punya halaman untuk menggelar tenda hajatan, tidak seharusnya menutup jalan secara penuh. Bila jalannya memang cukup lebar, sisakan setengah badan jalan agar pengguna jalan masih bisa melintas. Sehingga, si penyelenggara hajatan bisa tetap menyelenggarakan acaranya dan pengguna jalan juga tidak terlalu terganggu.
Pendek kata, bila ingin dimengerti oleh orang lain, kita juga harus mau memahami orang lain. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H