Sebab, sebagus apapun, seteduh apapun postingan yang disampaikan pak Menteri Agama melalui media sosial, boleh jadi tidak bisa meneduhkan semua orang. Sebaik apapun dan seterang apapun informasi/berita yang disampaikan, mungkin saja tidak akan bisa menerangi semua orang untuk memiliki pemahaman yang sama. Mereka yang pada dasarnya memang tidak mau membuka diri dan membuka hati dan selalu memposisikan berseberangan, boleh jadi akan merespons nyinyir dan berkomentar pedas terhadap postingan dan share berita/informasi tersebut. Â
Disinilah pentingnya untuk bersikap adem, se-adem postingan tulisan dan berita yang diberikan kepada warganet. Semua respons dan komentar dari warganet, se-nyinyir apapun, tidak perlu dibawa ke perasaan dan disikapi dengan marah-marah. Sebaliknya, perlu disikapi dengan teduh. Sebab, tentunya tidak lucu bila statusnya sudah bikin adem tetapi sikap dalam merespons warganet malah bikin panas. Kalaupun ada orang yang suka marah dan berkomentar pedas, cara paling mudah menganggap hal itu sebagai 'hiburan' di media sosial.
Dua hal yang akan saya lakukan bila menjadi menteri agama plus bersikap tidak baperan tersebut, bisa menjadi penerang di kehidupan media sosial yang acapkali suram. Melalui postingan yang mencerahkan dan berbagi good news di media sosial, bisa menjadi cara ampuh untuk meredam ujaran kebencian dan membatasi munculnya berita hoaks serta mendorong warganet untuk bijak dan bertanggung jawab dalam bermedia sosial. Harapannya, kehidupan di media sosial bisa teduh dan berdampak langsung bagi teduhnya situasi bangsa.
Pada akhirnya, bermedia sosial itu laksana menjadi api. Pilihannya, mau menjadi yang ganas yang membakar semua, atau api yang mencukupi. Persis seperti yang disampaikan Menag Lukman Hakim Saifudin dalam puisi berjudul "Api dan Api" yang diposting di akun Instagram @kemenag_ri.
Api yang tak terkendali,
Membakar semua yang dijumpai,
sampai tak ada lagi,
hingga membakar dirinya sendiri..
Api yang mencukupi,
Menghangatkan jasad ragawi,
Menjadikan jiwa terterangi,