Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Seperti Falcao, Mari Belajar Move on dari Keputusasaan

19 Juni 2018   14:49 Diperbarui: 19 Juni 2018   14:57 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Why do we fall?

Kalimat tanya itu diucapkan Alfred Pennyworth dengan intonasi menggetarkan. Baru saja, lelaki tua itu menyelamatkan Bruce Wayne yang nyaris tewas terkubur reruntuhan bangunan "istana" Wayne Manor yang dibakar sang musuh utama, Ra's al Ghul.

Di tengah situasi kalah dan keputusasaan, Alfred mengucapkan kalimat tanya itu. "Why do we fall?" yang lantas dijawabnya sendiri "so we can learn to pick ourselves up". Apa jawab Bruce? "Ah, rupanya kamu belum berputus asa dengan saya".

Percakapan manis di tengah kebakaran itulah yang lantas memotivasi Bruce untuk bangkit dari kejatuhan. Percakapan itu yang membuatnya belajar dari kegagalan. Menjadi lebih tegar dan kuat. Dia pun berhasil menyelamatkan kotanya dari komplotan penjahat. Bagi saya, percakapan itu menjadi bagian terbaik dalam Batman Begins, sekuel pertama film reboots Batman garapan Christoper Nolan pada 2005 lalu.Dan, saya mengandaikan percakapan batin seperti itulah yang telah menguatkan mental pria bernama Radamel Falcao Garcia Zarate untuk bangkit dari keputusasaan di titik terendah dalam kariernya pada empat tahun silam, hingga akhirnya bisa tampil di Piala Dunia tahun ini. Falcao adalah gambaran pesepak bola yang perjalanan kariernya laksana siklus bulan. Dari bukan siapa-siapa, lalu tumbuh menjadi 'purnama', kemudian terlupakan dan kembali menjadi purnama.

Petaka cedera jelang Piala Dunia 2014

Empat tahun lalu, Falcao sebenarnya berpeluang tampil di Piala Dunia 2014 di Brasil. Penampilan apik di musim perdananya bersama AS Monaco setelah pindah dari Atletico, membuatnya mendapat garansi masuk Timnas Kolombia ke Piala Dunia. Dia merasa kariernya di Timnas akan sempurna setelah menjalani debut di tahun 2007 ketika usianya masih 21 tahun.

Namun, takdir rupanya berkata lain. Sebuah benturan fisik dengan pemain Monts d'Or Azergues Foot dalam turnamen Coupe de France pada Januari 2014, membuat Falcao mengalami cedera lutut parah. Empat bulan jelang Piala Dunia 2014, Falcao berusaha sekuat tenaga untuk pulih sebelum Piala Dunia bergulir. Dia memang pulih. Namun, Pelatih Kolombia, Jose Pkerman rupanya tidak mau ambil risiko. Dia mengabaikan Falcao dengan dalih mepetnya waktu kesembuhannya dengan bergulirnya Piala Dunia. Terlebih, masih ada striker dalam kondisi fit seperti Teofilo Gutierrez, Carlos Bacca dan Jackson Martinez.

"Saya sangat terpukul tidak bisa tampil di Brasil empat tahun lalu. Cedera itu seperti merenggut mimpi saya," ujar Falcao dikutip dari Marca.

Dan, Falcao pun hanya menjadi penonton ketika rekan-rekannya tampil bagus di Brasil. Dia hanya bisa mendoakan dari jauh perjuangan James Rodriguez dkk pada akhirnya melangkah hingga perempat final.

Pernah berada di bibir jurang kehancuran karier di Liga Inggris

Gagal tampil di Piala Dunia 2014 ternyata bukan akhir buruk bagi Falcao. Justru, itu hanya awalan. Selepas Piala Dunia, sempat membela AS Monaco di awal musim, dia lantas dipinjamkan ke klub Inggris, Manchester United. Fans United berharap Falcao yang mendapat kostum nomor 9, bisa memperlihatkan ketajamannya sesuai julukanya sebagai El Tigre alias The Tiger.

Namun, sepak bola Inggris rupanya bukan liga yang ramah bagi pemain yang baru pulih dari cedera. Pelatih United kala itu, Louis van Gaal juga tidak 'cinta' kepadanya. Alhasil, dari 26 kali penampilan--dan itupun sering dari bangku cadangan--Falcao hanya mencetak 4 gol. Musim yang penuh cibiran itupun menjadi salam perpisahan Falcao dengan United.

Cerita berikutnya, di musim 2015/16, Falcao dipinjamkan lagi. Kali ini ke klub London, Chelsea. Di awal musim, pelatih Chelsea kala itu, Jose Mourinho berujar akan mengembalikan Falcao ke level terbaiknya. Bukannya membaik, performanya semakin parah. Cedera yang masih acapkali kambuh, membuat penyerang bertinggi 177 cm ini hanya dimainkan 10 kali dan hanya mencetak sebiji gol. Sungguh, dia benar-benar berada di bibir jurang kehancuran kariernya.

Dan, oleh media-media Inggris yang memang acapkali jahat, Falcao pun mendapat julukan pemain "flop". Media Inggris menciptakan opini bahwa Falcao hanyalah pemain gagal. Dia dianggap sebagai transfer terburuk. Pendek kata, Falcao dikonotasikan bukan lagi Falcao dulu yang segarang harimau

Inggris bak menjadi tempat asing yang sama sekali tidak ramah bagi Falcao. Meski bermain di klub besar dan digaji besar, Falcao tidak merasa nyaman. Dia justru merasa sepi dalam keramaian. Hari-harinya membosankan. Berlatih dan berlatih. Lalu duduk di bangku cadangan dan melihat rekan setimnya bermain.

Ia merindukan 'rumah' seperti yang ia rasakan di FC Porto dan Atletico Madrid. Rasa kesepian dan rindu 'rumah' itulah yang membuat penampilan Falcao menurun drastis. Dia bukan lagi striker haus gol.

Menemukan ruang perenungan di Monako

Maka, di musim 2016/17, dia pun kembali ke Monaco. Dan, di Monaco yang sederhana dan tidak segemerlap United atau Chelsea, ia menemukan kembali makna rumah. Falcao merasakan bahwa kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam dirinya. Dia seperti menemukan ruang perenungan untuk menaikkan kembali level hidupnya yang berantakan di Inggris.

AS Monaco telah memberinya visualisasi hidup yang cukup banyak. Tentang siapa dirinya, apa yang harus diraihnya, tentang kerasnya hidup yang kadang tanpa sempat memberi ampun, dan tentang menjadi sederhana namun benar-benar nyata.

Di musim itu, penampilannya sangat berbeda dengan di Inggris. Dia menemukan kembali rasa gembira bermain bola yang sempat hilang. Dari 29 penampilan di Ligue 1 Prancis, Falcao mampu membuat 21 gol. Belum termasuk koleksi 7 gol dari 10 penampilan di Liga Champions. Penampilan bagusnya berlanjut di musim 2017/18 lalu. Falcao membuat 18 gol dari 26 penampilan. Dan total mencetak 24 gol dari 36 penampilan bersama Monaco di semua ajang.

Pencapaian itu membuat Pekerman kali ini tidak ragu mengajak Falcao ke Rusia, tampil di Piala Dunia 2018. Dia akan tampil pertama kali di Piala Dunia. Penyerang yang menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah Timnas Kolombia dengan 29 gol ini akan melakoni debutnya di Piala Dunia di usia 32 tahun. Bagi pesepak bola, 32 tahun tentu saja bukan usia yang tidak muda lagi. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?

"Kalian tahu, saya bahkan telah menunggu bisa tampil di Piala Dunia sejak berusia 4 tahun. Kala itu, saya melihat gol Freddy Rincon saat melawan Jerman di Piala Dunia 1990 di Italia (Kolombia lolos ke putaran kedua Piala Dunia untuk kali pertama). Semua orang di Kolombia merayakan gol itu. Kami tumbuh dengan berulang kali melihat gol itu. Sejak itu, saya sering mengandaikan diri saya bisa mencetak gol di Piala Dunia," terang Falcao dikutip dari Fifa.com.

Nah, Selasa (19/6) malam nanti, Falcao berkesempatan melampiaskan rindu nya pada Piala Dunia saat Kolombia menghadapi Jepang di pertandingan penyisihan Grup H. Dia juga bisa mewujudkan mimpinya untuk bisa mencetak gol di Piala Dunia. Merujuk pada prakiraan line up pemain di beberapa media internasional, Falcao akan tampil sebagai pemain inti dalam skema 4-2-3-1 kesukaan Pekerman.  

Bagaimana peluang Kolombia?

Merujuk pada pertemuan terakhir di fase grup Piala Dunia 2014 yang dimenangi Kolombia 4-1, plus penampilan James Rodriguez dan Falcao yang tengah on fire, Kolombia diunggulkan akan kembali bisa mengalahkan Jepang.

Malam nanti, selain ingin menikmati keseruan jalannya pertandingan sehingga saya sudah menyiapkan camilan idola--karena "jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda"--ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Saya tertarik menyaksikan bagaimana gurat wajah kegembiraan Falcao yang akan tampil perdana di Piala Dunia. Saya lebih tertarik melihat bagaimana ekspresi kepuasan anak manusia yang telah berhasil move on dari keputusasaan di titik terendah untuk kembali menapaki kejayaannya. Dan, andai dia mencetak gol, saya penasaran melihat bagaimana luapan emosional seorang "pemain tua" yang memiliki mental kuat sehingga mampu bangkit melewati periode kejatuhan dalam hidupnya.

Seperti kata Alfred di film Batman Begins, "why do we fall?". Ya, mengapa kita terjatuh? Mengapa Tuhan membawa kita pada periode kejatuhan? Boleh jadi, kejatuhan itu cara Tuhan yang ingin melihat bagaimana kita tidak menyerah, tetap tersenyum dan terus berikhtiar lantas mencoba bangkit untuk menjemput kegembiraan.

Fase hidup seperti itu yang pernah dilalui Falcao. Dia pernah terjatuh, tetapi dia bisa belajar untuk bangkit. Dan hari ini, dia mendapati bahwa perjuangan kerasnya tidak mengkhianatinya. Dia akan menikmati momen termanis dalam hidupnya. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun