Namun, sepak bola Inggris rupanya bukan liga yang ramah bagi pemain yang baru pulih dari cedera. Pelatih United kala itu, Louis van Gaal juga tidak 'cinta' kepadanya. Alhasil, dari 26 kali penampilan--dan itupun sering dari bangku cadangan--Falcao hanya mencetak 4 gol. Musim yang penuh cibiran itupun menjadi salam perpisahan Falcao dengan United.
Cerita berikutnya, di musim 2015/16, Falcao dipinjamkan lagi. Kali ini ke klub London, Chelsea. Di awal musim, pelatih Chelsea kala itu, Jose Mourinho berujar akan mengembalikan Falcao ke level terbaiknya. Bukannya membaik, performanya semakin parah. Cedera yang masih acapkali kambuh, membuat penyerang bertinggi 177 cm ini hanya dimainkan 10 kali dan hanya mencetak sebiji gol. Sungguh, dia benar-benar berada di bibir jurang kehancuran kariernya.
Dan, oleh media-media Inggris yang memang acapkali jahat, Falcao pun mendapat julukan pemain "flop". Media Inggris menciptakan opini bahwa Falcao hanyalah pemain gagal. Dia dianggap sebagai transfer terburuk. Pendek kata, Falcao dikonotasikan bukan lagi Falcao dulu yang segarang harimau
Inggris bak menjadi tempat asing yang sama sekali tidak ramah bagi Falcao. Meski bermain di klub besar dan digaji besar, Falcao tidak merasa nyaman. Dia justru merasa sepi dalam keramaian. Hari-harinya membosankan. Berlatih dan berlatih. Lalu duduk di bangku cadangan dan melihat rekan setimnya bermain.
Ia merindukan 'rumah' seperti yang ia rasakan di FC Porto dan Atletico Madrid. Rasa kesepian dan rindu 'rumah' itulah yang membuat penampilan Falcao menurun drastis. Dia bukan lagi striker haus gol.
Menemukan ruang perenungan di Monako
Maka, di musim 2016/17, dia pun kembali ke Monaco. Dan, di Monaco yang sederhana dan tidak segemerlap United atau Chelsea, ia menemukan kembali makna rumah. Falcao merasakan bahwa kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam dirinya. Dia seperti menemukan ruang perenungan untuk menaikkan kembali level hidupnya yang berantakan di Inggris.
AS Monaco telah memberinya visualisasi hidup yang cukup banyak. Tentang siapa dirinya, apa yang harus diraihnya, tentang kerasnya hidup yang kadang tanpa sempat memberi ampun, dan tentang menjadi sederhana namun benar-benar nyata.
Di musim itu, penampilannya sangat berbeda dengan di Inggris. Dia menemukan kembali rasa gembira bermain bola yang sempat hilang. Dari 29 penampilan di Ligue 1 Prancis, Falcao mampu membuat 21 gol. Belum termasuk koleksi 7 gol dari 10 penampilan di Liga Champions. Penampilan bagusnya berlanjut di musim 2017/18 lalu. Falcao membuat 18 gol dari 26 penampilan. Dan total mencetak 24 gol dari 36 penampilan bersama Monaco di semua ajang.
Pencapaian itu membuat Pekerman kali ini tidak ragu mengajak Falcao ke Rusia, tampil di Piala Dunia 2018. Dia akan tampil pertama kali di Piala Dunia. Penyerang yang menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah Timnas Kolombia dengan 29 gol ini akan melakoni debutnya di Piala Dunia di usia 32 tahun. Bagi pesepak bola, 32 tahun tentu saja bukan usia yang tidak muda lagi. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
"Kalian tahu, saya bahkan telah menunggu bisa tampil di Piala Dunia sejak berusia 4 tahun. Kala itu, saya melihat gol Freddy Rincon saat melawan Jerman di Piala Dunia 1990 di Italia (Kolombia lolos ke putaran kedua Piala Dunia untuk kali pertama). Semua orang di Kolombia merayakan gol itu. Kami tumbuh dengan berulang kali melihat gol itu. Sejak itu, saya sering mengandaikan diri saya bisa mencetak gol di Piala Dunia," terang Falcao dikutip dari Fifa.com.