Lebaran tinggal menghitung hari. Sama seperti halnya tetangga di kompleks perumahan yang kini bisa dihitung dengan jari berapa banyak yang masih bertahan di rumah alias tidak mudik ke kampung halaman. Karena memang, sejak akhir pekan kemarin, satu demi satu tetangga berpamitan mudik.
Diantaranya pak Arif, tetangga saya yang tadi pagi berangkat mudik ke Yogyakarta dengan kendaraan pribadi. Katanya pengen membuktikan bila mudik tahun ini lancar jaya. Lalu pak Agus yang sejak dua hari lalu mudik ke Solo menggunakan moda kereta api. Bahkan, pak Gagat, tetangga yang berprofesi kontraktor yang bisa libur tanpa mengikuti aturan libur pemerintah, sudah mudik ke Bandung sejak pekan lalu. Â
Sementara saya, untuk Lebaran tahun ini giliran "menjaga gawang" alias tidak mudik sehingga seperti seorang penjaga gawang yang tidak ke mana-mana alias tetap berada di gawangnya.
Nah, karena tidak mudik, aktivitas saya menyambut Lebaran kali ini pun berbeda dibanding tahun lalu ketika mudik ke Betawi, ke rumah mertua. Meski kata kawan-kawan saya itu bukan mudik karena tujuannya ke Jakarta. Daripada rame, saya lebih suka menyebutnya "mudik melawan arus" karena ketika banyak orang meninggalkan Jakarta, saya justru sebaliknya.Sambut Lebaran dengan "Mempercantik" Rumah
Nah, bila tahun lalu, di hari-hari menjelang Lebaran, kami sekeluarga sibuk mempersiapkan urusan tiket untuk mudik dan juga barang-barang bawaan untuk mudik, di tahun ini, saya punya waktu cukup longgar untuk menyambut Lebaran. Longgar karena sejak awal tahun ini, saya juga tidak terikat oleh jam kerja kantor maupun aturan libur dari kantor.
Karenanya, sejak awal Ramadan, saya punya target untuk mendadani rumah agar kembali cantik seperti delapan tahun lalu. Jadilah saya rajin 'nyicil belanja' ke toko bangunan untuk membeli cat tembok, cat besi, cat kayu juga kuas dan roll untuk mengecat. Termasuk juga semen dan pasir untuk keperluan menambal beberapa bagian rumah yang perlu diperbaiki.
Saya memang berniat untuk mengerjakan sendiri. Meski ketika melihat langit-langit ruang tamu yang cukup tinggi, jadi rada mikir ini butuh waktu berapa hari untuk mengecat rumah. Begitu juga melihat pagar teralis rumah yang mulai kusam.
Padahal, di kompleks perumahan saya, untuk urusan beres-beres rumah dari yang ringan seperti mengecat, merapikan halaman rumah hingga renovasi, sejatinya mudah. Tinggal panggil tukang, urusan jadi beres. Tentunya tidak sekadar memanggil tetapi juga ada biaya capek untuk tukang yang bekerja tersebut.
Jarang ada warga di lingkungan tempat tinggal saya yang memilih melakukan sendiri pekerjaan rumah tersebut. Keterbatasan waktu dan juga rasa capek sepulang dari tempat kerja, membuat kami yang tinggal di kompleks perumahan ini, lebih memilih untuk membayar orang daripada mengerjakan sendiri. Toh, bila mengerjakan sendiri belum tentu hasilnya bagus. Jadi lebih baik diserahkan pada ahlinya saja.
Namun, saya kali ini benar-benar ingin mengecat rumah sendiri, meskipun kelihatannya jadi bagaimana begitu ketika dilihat tetangga. Tapi yang jelas, saya mengerjakan sendiri bukan karena saya sedang kena kanker alias "kantong kering" sehingga seolah tidak mampu untuk menggaji tukang. Bukan itu. Karena untuk tukang, sudah ada jatahnya untuk membersihkan halaman rumah supatya terlihat lebih rapi. Juga bukan untuk pencitraan supaya dianggap rajin tetangga (kalau yang ini malah lucu).
Saya hanya merasakan lebih punya kebanggaan dan juga kepuasan bila bisa mengecat sendiri pagar rumah dan juga ruang tamu. Hasil kerjanya itu akan diingat sampai nanti. Kebetulan, saya juga punya waktu longgar meskipun bukan menganggur karena pekerjaan menulis tinggal saya alihkan waktu pengerjaannya ke malam hari. Capek mengecat sendiri? Tentu saja. Namun, begitu tahu hasilnya, rasanya terbayar capeknya.
Filosofi mendandani rumah jelang Lebaran
Selain itu, dengan mencoba mengecat pagar dan rumah sendiri, saya bisa menanamkan makna kerja sama kepada dua anak saya yang baru berusia jelang 7 tahun dan 5,3 tahun. Kebetulan mereka memang sibuk menawarkan bantuan mengecat. Saya lantas mengarahkan mereka untuk membantu mama nya menata ruang tamu dan bersih-bersih rumah. Toh, mereka senang bisa dilbatkan dalam 'aksi bersih-bersih rumah" ini.Â
Ah ya, bagi saya, beres-beres rumah jelang Lebaran itu menjadi salah satu bentuk syukur menyambut Hari Kemenangan. Bersyukur karena mendapat keleluasaan rezeki dan dipakai untuk menghormati kerabat dan saudara yang mungkin berniat bertamu ke rumah. Bukankah bila rumahnya nyaman, niat menyambung silaturrahmi juga akan senang.
Selain itu, mengecat rumah jelang Lebaran, menurut saya memiliki makna filosofis. Bahwa dengan memoles rumah terlihat seperti kembali baru, semoga kita yang telah ditempa dengan puasa Ramadan selama sebulan penuh, bisa kembali menjadi "manusia baru", manusia yang kembali fitrah.Â
Nah, setelah rumah didandani lebih cantik, rapi dan bersih. Lalu, istri juga sudah menyiapkan beberapa kue dan camilan gurih plus minuman segar untuk Lebaran nanti, monggo bila sampean berminat ke rumah  kami. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H