Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Membangunkan Sahur Cara Bujangan, Pacaran dan Berkeluarga

5 Juni 2018   22:52 Diperbarui: 5 Juni 2018   23:09 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ada banyak cara dan tradisi untuk membangunkan orang agar bangun sahur di bulan Ramadan. Berbagai cara itu bisa bergantung daerah di mana sampean (Anda) tinggal. Sebab, beda daerah, bisa beda cara membangunkan orang sahur. Beda cara itu juga ditentukan oleh kemajuan zaman. Era zaman old dengan zaman now yang serba gawai, tentunya beda cara.

Bahkan, beda tradisi membangunkan orang sahur ini juga bergantung dari "predikat sosial" seseorang. Maksud saya, sampean yang masih bujangan, yang sedang mesra pacaran dan yang sudah berkeluarga, tentunya punya ekspresi cara berbeda dalam membangunkan orang sahur.

Nah, di usia saya sekarang yang sudah tiga dekade lebih separoh, berbagai cara dalam membangunkan sahur yang berbeda dikarenakan tempat, kemajuan zaman dan juga predikat sosial itu, pernah saya alami.

Tradisi Membangunkan Sahur Lewat "Adu Kreativitas" di Musholla

Dulu, sekira awal 90-an, ketika saya masih bocah dan tinggal di sebuah kampung di Sidoarjo, waktu Sahur adalah salah satu waktu paling seru di bulan Ramadan. Seru karena hanya di bulan Ramadan, ada 'lomba' membangunkan orang sahur yang terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara di musholla dan masjid diselingi bunyi 'alat musik' seadanya seperti kentongan mini yang biasa dipakai untuk berjaga di poskamling.  

Buat saya itu menarik. Meski rumah ibu tepat berada di samping musholla, saya tidak merasa terganggu. Malah saya merasa ada yang hilang bila waktu sahur tanpa "seruan orang membangunkan sahur" dari musholla. Terlebih, kala itu di setiap musholla seolah "adu kreativitas" dalam membangunkan orang Sahur. Kreativitas itu terasa dari seruan membangunkan sahur yang berbeda-beda. Meski, ada "lagu wajib" yang digaungkan. Yakni "ayo sahur-sahur dulu, mumpung masih ada waktu" atau seruan "bapak/ibu monggo segera Sahur, Imsak kurang ..menit".

Ketika saya kuliah di Malang di awal 2000-an, suasana sahurnya sudah berbeda. Tidak ada lagi suara orang membangunkan sahur terdnegar dari Musholla. Saya merindukan suasana sahur seperti di kampung dulu.

Di kost-an, yang ada hanyalah kakak kost-an yang sering iseng menyalakan dering jam weker meski baru jam 1 pagi, sembari mengetuk pintu kamar kos dan berteriak "sahur-sahur".

Meski, ketika makan sahur di kost-an, itu momen terbaik dalam hidup sebagai bujangan. Setiap hari, di waktu yang biasanya hening, kami bisa ngumpul makan bareng di ruang tamu. Kebetulan, ibu kost punya warung. Jadinya, sahur tinggal ngambil (maksudnya bayarnay belakangan).

Membangunkan sahur cara orang pacaran

Ketika bekerja, terlebih ketika ditugaskan di Jakarta, suasananya beda lagi. Tidak ada lagi sahut-sahutan orang membangunkan sahur seperti di kampung. Makan sahur pun tidak lagi rame-rame. Yang ada, bangun sahur lantas tergopoh-gopoh menuju warung dekat kost-an karena khawatir kehabisan makan sahur. Malah pernah karena bangun mendekati waktu imsak, warungnya sudah tutup. Jadilah hanya sahur air mineral plus roti.

Ketika kembali ke Surabaya dan menikmati Ramadan di rumah pada tahun 2008-an, suasananya juga sudah berbeda dibanding pas bocah dulu. Kemajuan zaman dengan adanya gawai (handphone) plus acara-acara televisi pas sahur yang bervariasi, membuat semarak sahur tidak lagi seperti tahun 90an silam. Terlebih, statusnya tidak lagi jomblo alias sudah punya calon istri.

Jadilah waktu sahur menjadi momentum untuk membangunkan si mantan pacar yang kini jadi istri agar bangun sahur. Ketika terbangun, yang diraih pertama kali adalah handphone. Pun ketika sudah khusyuk sejak dini hari, menunggu waktu untuk membangunkan dia. Sebagai laki-laki, saya memang mencoba berinisiatif untuk membangunkan sahur dia, bukan dibangunkan. Meski terkadang dia yang membangunkan saya ketika di jam biasanya saya belum telpon. Padahal, malamnya, suara dia yang didengar terakhir sebelum tidur. Ah, masa pacaran.

Membangunkan Sahur cara keluarga, prioritasnya anak-anak

Saya beruntung, manisnya tradisi membangunkan sahur saat pacaran itu masih berlanjut ketika kami berkeluarga. Karena satu rumah, tentunya kami tidak perlu membangunkan sahur dengan saling menelpon. Cukup membisik di telinganya. Di tahun-tahun pertama berkeluarga, istri saya yang lebih sering membangunkan saya. Plus dengan masakan sahur yang sudah siap di meja makan.

Ketika anak-anak bertumbuh, sahur kami tidak lagi berdua. Mereka acapkali terbangun dan ikut sahur bersama. Baru di tahun ini, anak sulung saya sudah berpuasa penuh. Dan, membangunkan sahur dia pun menjadi prioritas.

Tidak mudah membangunkan bocah yang biasanya di waktu sahur masih asyik berpetualang di mimpinya. Perlu strategi khusus. Semisal mengatur jam tidurnya agar tidak terlalu malam, lalu menyiapkan menu sahur kesuakaannya sehingga  membuatnya mudah bangun. Meski, seringkali itu sekadar teori. Sebab, susah sekali membangunkan dia meski sudah dibisiki dan diciumi.

Bila sudah seperti itu, terkadang cara ayah nya dalam membangunkan sahur, tidak mempan. Cara seorang mama-lah yang paling ampuh. Entah kenapa bila mama-nya yang membangunkan, dia lantas terbangun. Meski sahurnya pun terkadang hanya enam tujuh suap lalu minum teh/susu hangat, lantas tertidur lagi.

Dari semua tradisi dan cara membangunkan sahur tersebut, semua ada kenangannya. Dan semuanya menurut saya terbaik di eranya. Karena memang, tradisi membangunkan sahur tersebut sejatinya hanya akan tepat sasaran bila caranya selaras dengan kebutuhan orang-orang di zamannya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun