Miris rasanya membaca berita perihal tawuran di kegiatan sahur on the road (SOTR) yang terjadi di sejumlah tempat di Jakarta pada dini hari akhir pekan kemarin. Lebih miris lagi, aparat kepolisian berhasil mengamankan sejumlah remaja yang kedapatan membawa senjata tajam saat konvoi SOTR.
Padahal, sahur on the road sejatinya memiliki tujuan mulia bila memang diniatkan untuk tujuan mulia. SOTR seharusnya diniatkan untuk "sahur di jalanan" dengan membagi-bagikan makanan sahur kepada pemulung ataupun pengguna jalan.Â
Manfaatnya bisa dirasakan dua orang yang terlibat dalam kegiatan ini. Pemberi makan sahur akan dapat belajar tentang memberi kepada orang yang tidak mampu secara on the spot. Sementara si penerima tentunya bisa menikmati hidangan dan mengobati rasa lapar. Hanya saja, belakangan, SOTR malah kerap disalahniatkan sehingga menjadi muara terjadinya gesekan yang berujung kerusuhan antar kelompok. Â Â
Bila sudah seperti itu, tentunya layak diperdebatkan tujuan mereka dalam melakukan SOTR. Apa mau dikata bila mereka yang melakukan SOTR ternyata kedapatan membawa senjata tajam. Lha ini mau mengajak masyarakat sahur dengan membagikan makanan sahur atau malah berniat "perang di jalanan"?
Aksi-aksi konvoi yang bertujuan narsisme antar kelompok sehingga rentan terjadi kerusuhan, tentunya sudah melenceng jauh dari semangat berpuasa di bulan Ramadan. Bahkan, mengotori semangat mulia bulan Ramadan. Bukankah melalui puasa, Ramadan mengajari kita untuk belajar mengendalikan diri dalam makan/minum, mengumbar nafsu juga menahan emosi.Â
Bukankah melalui puasa, Ramadan juga mengajari kita untuk lebih peka dengan penderitaan sesama sehingga kemudian muncul sikap peduli. Seharusnya, dua hal itu yang menjadi semangat dasar dari SOTR.
Pengalaman pernah ikut "SOTR"
Pengalaman saya sewaktu masih bekerja sebagai "pencari berita", saya pernah mengikuti kegiatan SOTR yang diadakan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Konsepnya sebenarnya bukan hanya sahur on the road, tetapi juga sahur di panti asuhan.
Sekitar pukul 01.30 WIB, kami berangkat dari kantor menuju panti asuhan yang lokasinya tidak terlalu jauh. Sampai di pantai asuhan, selain memberikan 'tali asih', kami juga bertemu dengan anak-anak panti asuhan yang matanya masih "kriyep-kriyep" karena baru bangun tidur. Setelah beberapa lama berbincang dengan pembina panti asuhan sambil duduk lesehan di halaman panti, plus jamuan teh dan kopi hangat yang bikin melek, kami pun berpamitan.
Nah, setelah dari panti inilah, kami baru melakukan sahur on the road. Dengan membawa kotakan nasi yang siap makan, kami berkeliling di jalanan, mencari pemulung yang tengah tertidur di gerobaknya, atau juga Abang becak yang entah kenapa tidak pulang ke rumahnya tetapi memilih tidur di becaknya. Lantas membagikan nasi kotak sembari berucap selamat santap sahur. Â Â
Semangat sahur on the road berbagi seperti itu yang seharusnya dimunculkan. Bukan sekadar konvoi kendaraan bermotor di waktu sahur yang justru rentan rusuh bila ada dua kelompok berpapasan di jalan. Dan celakanya, kabar rusuh SOTR seperti ini justru mendapat porsi pemberitaan besar sehingga memunculkan generalisasi dari kegiatan SOTR ini.Â
Padahal, bila semangatnya benar, maka sahur on the road akan menjadi momentum bagus bagi kita untuk melahirkan rasa syukur. Dengan membagikan makanan sahur kepada mereka yang tidur di jalanan hanya beralaskan koran ataupun gerobak, tidak memiliki rumah, apalagi kasur empuk, maka kita yang mungkin mudah sekali mengeluh ini akan bisa lebih banyak bersyukur.
Dengan bersyukur, tentunya akan bisa melahirkan sikap-sikap hebat pada diri kita. Dimulai dari menghargai kerja keras yang kita lakukan, lantas muncul respek kepada orang lain dan juga mudah membantu sesama. Bukan malah sebaliknya. Saya percaya, di banyak tempat, masih ada banyak orang baik yang memiliki semangat benar dalam melakukan Sahur on The Road.Â
Bayangkan, jika semangat benar dalam Sahur on The Road tersebut bisa dilakukan semua oran di semua tempat, tentunya tidak akan sampai ada gesekan antar pelaku SOTR yang berujung pada munculnya larangan kegiatan ini. Karena memang, Ramadan seharusnya menjadi momentum berbuat kebaikan, bukan sebaliknya. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H