Meski begitu, bagian tersulitnya adalah membangunkan dia. Setelah pelukan, ciuman dan bisikan gagal, tidak jarang saya harus menggendongnya dari tempat tidur ke meja makan. Lantas, mencoba membangkitkan mood makannya walaupun terkadang hanya 5-6 suapan. Untungnya, dalam urusan makan, dia bukan tipe anak yang cerewet. Permintaannya tidak aneh-aneh. Palingan hanya sahur dengan ayam goreng, sayur sop plus teh hanget atau susu.Â
Sementara adiknya yang masih TK, terkadang juga ikut terbangun. Katanya mau ikut sahur, tetapi jam 7 pagi jelang berangkat sekolah sudah berbuka puasa. Setiap hari, seperti itulah romantisme Ramadan di rumah kami.
Andai saya dulu tidak mengambil keputusan untuk resign dari tempat kerja, rasanya saya tidak akan pernah merasakan makna romantisme keluarga di bulan Ramadan seperti sekarang. Rasanya saya akan terus bergelut dengan pekerjaan ketika banyak orang menikmati berbuka puasa dan tarawih bersama keluarganya.
Padahal, bekerja itu soal rasa. Ia bukan tentang duit saja. Ada yang jauh lebih bermakna dari duit. Apa? Kegembiraan menjadi keluarga yang tidak hanya dekat karena berada dalam satu rumah, tetapi dekat karena memang kedekatan satu sama lain. Kedekatan yang sangat terasa di bulan Ramadan seperti sekarang. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H