Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Keluar dari Tempat Kerja, Saya Bisa Merasakan Romantisnya Ramadan di Rumah

23 Mei 2018   16:19 Diperbarui: 23 Mei 2018   16:22 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berempat menikmati romantisme Ramadan/Foto pribadi

Apa sih kenikmatan terbesar yang bisa dirasakan di bulan Ramadan ini? Bagi yang sudah berkeluarga, jawabannya rasanya tidak akan jauh dari bisa menikmati buka puasa bersama anak istri di rumah, lantas mengajak anak ke masjid untuk sholat Isya dilanjut Tarawih. Sebenarnya, keinginan itu sangat sederhana. Tidak perlu biaya mahal untuk melakukannya.

Namun, tidak semua orang bisa merasakan kenikmatan di bulan Ramadan tersebut. Terlebih bagi seorang ayah yang hampir setiap hari bekerja hingga larut malam dan pulang ke rumah ketika keluarga sudah tertidur, kenikmatan Ramadan itu hanya sebuah angan-angan. Kalaupun bisa, palingan hanya sehari dalam sepekan setiap mendapatkan jatah libur dari tempat kerja.

Situasi seperti itu yang dulu pernah saya rasakan. Selama tiga tahun sejak berkeluarga, saya menjalani aktivitas kerja hingga cukup larut yang membuat saya lupa bagaimana serunya waktu senja di rumah. Ramadan yang seharusnya menjadi momen mempererat kedekatan dengan keluarga, seolah tidak membekas. Ketika banyak orang berbuka puasa di rumah, saya lebih sering masih di jalan atau baru tiba di kantor. Pun, ketika banyak berangkat sholat Tarawih di masjid, itu justru merupakan "jam-jam kritis" pekerjaan di kantor.

Memutuskan Resign dari Tempat Kerja 

Baru ketika anak kedua saya lahir di pada Maret 2013, saya mantap untuk mengambil sebuah keputusan penting. Setelah berpikir cukup lama, berdiskusi dengan istri dan menimbang plus minus nya, saya akhirnya memutuskan untuk resign dari tempat kerja yang sudah delapan tahun saya naungi sejak lulus kuliah.

Pertimbangan saya kala itu cuma satu, saya ingin lebih punya banyak waktu untuk keluarga. Bagi saya itu hal paling besar yang harus menjadi prioritas. Sebab, dengan semakin bertambah umur, apa sih yang kita cari bila tidak waktu yang berkualitas bersama keluarga. Dan memang, untuk mendapatkan hal yang besar, terkadang harus diawali pengorbanan. Hingga kini, keputusan resign itu merupakan salah satu keputusan terbesar dalam hidup yang telah mengubah alur hidup saya.

Saya lantas pindah bekerja di tempat kerja dengan ritme yang lebih teratur. Bekerja yang memungkinkan sore hari sudah pulang, menikmati senja makan malam bersama anak istri di rumah. 

Betapa Romantisnya Ramadan bersama Keluarga

Beberapa bulan kemudian ketika Ramadan tiba, Ramadan saya sudah berbeda. Saya bisa merasakan betapa romantisnya menikmati Ramadan bersama keluarga di rumah. Utamanya ketika menikmati masakan istri di waktu berbuka puasa bersama di rumah. Lantas mengisi waktu setelah berbuka dengan menonton TV ataupun berinteraksi dengan anak-anak. Lantas, mengenalkan anak perihal sholat di masjid. Itu sungguh momen mahal. Tak ternilai.

Di Ramadan tahun ini, kenikmatan saya semakin bertambah. Keputusan untuk bekerja sebagai freelance yang tidak terikat jam kerja kantor mulai awal tahun ini, membuat saya lebih sering bekerja di rumah. Sehingga, saya bersama istri jadi bisa sering ngabuburit berdua ataupun berempat bersama anak-anak. Atau juga saling bekerja sama di dapur, istri memasak untuk menyiapkan menu berbuka puasa sementara saya membantu mencuci piring dan gelas atau ngurusi bagian penggorengan.

Memasak ayam tepung untuk menu berbuka puasa/Foto pribadi
Memasak ayam tepung untuk menu berbuka puasa/Foto pribadi
Apalagi, mulai Ramadan kali ini, anak saya mulai belajar puasa maghrib. Saya dan istri pun jadi punya aktivitas tambahan yang menyenangkan: membangunkan dia saat waktu sahur. Dan ternyata, butuh strategi jitu untuk bisa membangunkan bocah ini bangun di waktu sahur. Selain harus mengondisikan jam tidurnya di malam hari agar tidak terlalu larut, istri juga harus menyediakan menu yang membuatnya tergoda untuk makan. 

Meski begitu, bagian tersulitnya adalah membangunkan dia. Setelah pelukan, ciuman dan bisikan gagal, tidak jarang saya harus menggendongnya dari tempat tidur ke meja makan. Lantas, mencoba membangkitkan mood makannya walaupun terkadang hanya 5-6 suapan. Untungnya, dalam urusan makan, dia bukan tipe anak yang cerewet. Permintaannya tidak aneh-aneh. Palingan hanya sahur dengan ayam goreng, sayur sop plus teh hanget atau susu. 

Sementara adiknya yang masih TK, terkadang juga ikut terbangun. Katanya mau ikut sahur, tetapi jam 7 pagi jelang berangkat sekolah sudah berbuka puasa. Setiap hari, seperti itulah romantisme Ramadan di rumah kami.

Andai saya dulu tidak mengambil keputusan untuk resign dari tempat kerja, rasanya saya tidak akan pernah merasakan makna romantisme keluarga di bulan Ramadan seperti sekarang. Rasanya saya akan terus bergelut dengan pekerjaan ketika banyak orang menikmati berbuka puasa dan tarawih bersama keluarganya.

Padahal, bekerja itu soal rasa. Ia bukan tentang duit saja. Ada yang jauh lebih bermakna dari duit. Apa? Kegembiraan menjadi keluarga yang tidak hanya dekat karena berada dalam satu rumah, tetapi dekat karena memang kedekatan satu sama lain. Kedekatan yang sangat terasa di bulan Ramadan seperti sekarang. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun