Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Harus Radio, BNPB? Ternyata Ini Jawabannya!

6 Juli 2017   16:35 Diperbarui: 6 Juli 2017   16:46 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio/kompasiana

Pertengahan 2011 lalu, Litbang Kompas mengungkapkan hasil survei yang cukup mengkhawatirkan perihal minimnya pengetahuan dan kesiapsiagaan warga yang tinggal di lokasi rawan bencana. Bahwa hampir separoh dari 806 responden yang tinggal di zona bahaya, belum menyadari ancaman bencana yang sangat mungkin terjadi di daerah nya.

Survei itu dilakukan Litbang Kompas di kota-kota yang pernah dan terancam bencana gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung seperti Banda Aceh, Yogyakarta, Padang, Palu, Malang, Purbalingga, Karangasem dan sebagainya.

Dan tahukah Anda, sedari pertengahan 2011 hingga pertengahan 2017, ribuan kali bencana terjadi di Indonesia. Terutama di kawasan rawan bencana yang dilakukan survei itu. Bahkan, pada 2014 saja, tercatat ada 1525 kejadian bencana yang menyebabkan 566 meninggal. Kurangnya warga di zona bahaya yang sadar bencana itu menjadi pekerjaan besar pemerintah.

Tentu saja, mustahil mencegah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi. Karena memang, nyaris tidak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, tsunami dan letusan gunung berapi. Namun, pemerintah bisa membangun budaya sadar bencana di masyarakat demi minimalkan risiko bencana alam. Peran inilah yang telah dimaksimalkan oleh Badan Nasional Penangggulan Bencana (BNPB).  

Peta rawan bencana di Indonesia/Kompasiana
Peta rawan bencana di Indonesia/Kompasiana
Bukan sebuah pekerjaan mudah untuk membangun budaya sadar bencana kepada jutaan orang yang tinggal di kota-kota rawan bencana. Mendatangi satu demi satu kota rawan bencana untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat memang menjadi salah satu solusi. Namun, dengan kondisi geografis Indonesia yang punya ribuan pulau, upaya ini tentu menghabiskan biaya besar. Belum lagi bila bicara efektifitas.

BNPB memahami hal itu. Karenanya, BNPB memilih media radio agar upaya membangun budaya sadar bencana bisa lebih tepat sasaran dan efektif. Bekerja sama dengan 80 stasiun radio (60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas) yang tersebar di 20 provinsi, BNPB merilis sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana 2" sebagai bentuk edukasi dan sosialisai kepada masyarakat.

Mengapa BNPB memilih radio? Bukankah sekarang ini era nya media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram? Juga masih ada media televisi baik lokal maupun nasional yang memungkinkan BNPB membuat iklan advertorial berupa video pendek tentang apa yang harus dilakukan masyarakat ketika bencana terjadi. Namun, slot iklan di televisi tentunya butuh biaya yang sangat besar.

BNPB pastinya sudah melakukan kajian mendalam terkait pilihan memilih media radio. Bahwa terlepas dari plus minus nya, radio masih jauh lebih efektif bila dibandingkan televisi ataupun media sosial untuk mengedukasi masyarakat yang tinggal di zona bahaya agar memiliki kesadaran bencana.

Kelebihan Radio

Memang, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, media sosial dan televisi adalah media yang paling digemari. Radio mungkin hanya didengarkan ketika berada di perjalanan berkendara mobil. Namun, beda ceritanya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana yang dekat dengan pantai dan pegunungan. Masyarakat yang tinggal di kawasan rawan gempa, longsor, tsunami dan gunung berapi, karena pekerjaannya yang rata-rata di ladang ataupun melaut, mereka tak punya cukup waktu menonton televisi yang terhubung dengan arus listrik.

Ambil contoh di kota/kabupaten Malang (Jawa Timur) yang seringkali terjadi bencana longsor, puting beliung, gempa bumi dan menjadi salah satu kota terpilih menyiarkan sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana2" ini. Saya pernah tinggal di Malang selama beberapa tahun ketika kuliah dan bekerja di sana. Selama itu, saya jadi tahu, pendengar radio di Malang masih sangat banyak. Warga Malang masih suka mendengarkan radio. Utamanya di jam-jam istirahat siang dan malam hari. Tak heran bila di Malang ada beberapa radio terkenal yang punya banyak pendengar setia.

Nah, radio adalah media yang paling fleksibel. Radio itu menembus batas. Radio tidak hanya bisa didengarkan di rumah. Ketika warga beraktivitas ke sawah ladang di perbukitan ataupun melaut, siaran radio masih bisa dinikmati. Bandingkan dengan televisi yang tidak semua stasiun nya memiliki pemancar yang bisa menjangkau kawasan pegunungan seperti halnya di Malang. Mendengarkan radio juga lebih murah bila dibandingkan televisi yang butuh listrik maupun media sosial yang butuh kuota internet.

Kemasan Sempurna Sandiwara Radio Asmara di Tengah Bencana-bencana

BNPB juga tentunya tidak sembarangan dalam menentukan radio yang memutar sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana 2". Radio-radio yang dipilih tentu telah dilakukan survei sebelumnya. Semisal stasiun radio tersebut memiliki basis pendengar setia yang cukup banyak dan tersebar di wilayah-wilayah yang menjadi target program edukasi bencana. Selain itu, radio tersebut memiliki kualitas daya siar yang dapat ditangkap dengan kualitas suara yang baik di daerah-daerah target edukasi bencana.

Dan yang tidak kalah penting, radio tersebut mampu melakukan promosi baik on air maupun off air agar program sandiwara radio ini lebih dikenal dan dicinta pendengarnya. Terlebih, dalam hal ini, BNPB juga menggandeng radio-radio lokal serta radio komunitas yang tentunya bisa menjangkau ke pelosok-pelosok perkampungan.

Satu lagi yang penting, selain memilih radio yang tepat, BNPB juga mempersiapkan matang sandiwara radio yang berisi pesan sadar bencana ini. Persiapan matang itu terlihat mulai dari penulis skenario nya, siapa saja pengisi suara nya, disiarkan di radio mana saja, dan disiarkan jam berapa. Semuanya sudah dihitung matang oleh BNPB. Jadilah sandiwara radio "Asmara di Tengah Badai2" ini terkemas sempurna.

Kita tahu, sandiwara radio adalah pertunjukan drama yang mengandalkan kekuatan suara. Sandiwara radio mengandalkan dialog, musik dan efek suara untuk membantu para pendengar berimajinasi membayangkan penokohan dan jalan ceritanya. Tetapi, semua itu tidak akan terpenuhi bila tema cerita yang disajikan tidak bagus. Nah, nama S.Tidjab sebagai penulis naskah Asmara di Tengah Badai, cukup menjadi penjelas bagaimana kualitas sandiwara radio ini.

Dari semua kelebihan radio dan sandiwara radio Asmara di Tengah Badai ini, saya menilai pilihan BNPB memilih radio sebagai media membangun sadar bencana kepada masyarakat yang tinggal di kawasan "disaster hypermart", sangatlah tepat. Belum lagi strategi lainnya yang telah diatur matang oleh BNPB sebelum mengenalkan "Asmara di Tengah Bencana2" ini kepada masyarakat.

Bahwa, BNPB tidak sembarangan dalam memilih daerah-daerah yang menjadi target disiarkannya sandiwara radio ini, juga masyarakat yang menjadi sasaran pendengarnya. Dan juga, sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana" yang digarap dan dipersiapkan sangat matang. Tiga hal itulah yang menjadi jawaban, bahwa BNPB tidak salah memilih radio dalam membangun budaya sadar bencana. Karenanya, tidak salah untuk optimis, pilihan BNPB memilih radio untuk membangun budaya sadar bencana, akan bisa maksimal. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun