Apakah “masa depan bisa dibeli” ? Sekarang ini, tidak sulit untuk mengatakan “bisa”. Kenyataannya, ada banyak orang yang merasa bisa membeli masa depan. Caranya dengan mengikuti perlombaan menyanyi ataupun kontes komedi. Mereka yang awalnya hanya orang biasa, lantas jadi idola publik, terkenal dan berkecukupan setelah berhasil memenangi kontes itu. Masa depan seolah bisa digapai dengan cara singkat. Tanpa perlu proses panjang.
Namun, tidak semua orang biasa yang merasa bisa membeli masa depan itu, mampu bertahan lama. Yang terjadi, ada banyak contoh betapa mereka mendadak menghilang hanya dalam hitungan bulan. Masa depan yang "dibeli nya" itu hanya bertahan singkat. Fenomena itu seolah menjadi pembenar dari apa yang pernah disampaikan sang pencetus gerakan Pop Art di Amerika Serikat pada tahun 1950-an, Andy Warholl sebagai “fifteen minutes of fame” alias kesohoran palsu hanya dalam lima belas menit. Bahwa cuma dalam 15 menit, seseorang bisa mencapai kesohoran. Dan, dalam waktu 15 menit pula kesohoran bisa hilang tanpa bekas.
Tentu saja, masa depan yang sebenarnya bukanlah sebuah kepalsuan seperti itu. Masa depan yang sebenarnya, tidak diraih dengan cara singkat dan tidak pula bertahan singkat. Tapi, ia membutuhkan proses panjang. Proses yang harus diperjuangan, dirawat dan dilindungi. Sehingga, hasilnya juga akan awet.
Menanam “Pohon Masa Depan”
Dalam novel Burlian, penulis yang karya-karyanya digandrungi anak muda, Tere Liye, menganalogikan masa depan dengan pengandaian yang manis. Bak menanam sebuah pohon. Kelak, bila pohon itu telah tinggi besar, maka anak-anak kita akan bisa melihat potret dunia dari ujung paling atas. Itulah masa depan yang diharapkan. Dan agar “pohon masa depan” itu tumbuh tinggi dan besar, ia harus dirawat dan dilindungi.
Analogi itulah yang menurut saya tepat untuk menggambarkan masa depan. Namun, analogi manis itupula yang justru kerap menghantui pikiran saya. Pertanyaan apakah kelak saya bisa merawat dan melindungi “pohon” itu hingga tinggi besar, acapkali mengganggu benak saya. Terkadang muncul kekhawatiran, apakah saya bisa melindungi masa depan dua anak saya yang punya cita-cita megah.
Ya, dua anak saya, di usia nya yang “masih hijau”, memang punya cita-cita megah. Sang kakak, Gaoqi Dzaka (5 tahun), setiap kali ditanya kelak ingin jadi apa, selalu menjawab ingin jadi pilot, ingin sekolah di Jerman dan ingin menerbangkan pesawat. Adalah salah satu scene di film kartun animasi kesukaan nya, Adit Sopo Jarwo yang menghadirkan lakon bapak BJ Habibie, yang ikut membentuk cita-cita nya. Sementara sang adik, Gaizan Ahza (3,5 tahun), menjawab mantap ingin menjadi dokter. “Biar bisa ngobati ayah kalau Ayah sakit,” ujarnya.
Menanam pohon masa depan saya maknai dengan mengantar anak-anak merasakan pendidikan setinggi mungkin. Sebab, pendidikan tinggi merupakan “jalan utama” untuk menggapai masa depan. Dengan berpendidikan tinggi, akan memperbesar peluang untuk bisa meraih cita-cita.
Ketika “pohon masa depan” sudah ditanam, maka bagian berikutnya adalah melindungi nya agar bisa tumbuh besar, sehat dan tidak berpenyakitan. Sehingga, dari pohon tersebut akan bersemi bunga-bunga yang indah. Serta buah yang ranum dan enak. Inilah bagian yang paling sulit.
Melindungi Masa Depan Anak