Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suka Bersikap Nyinyir? Mari Belajar Ramah dari Si Mbah Pemungut Sampah

17 Oktober 2016   10:47 Diperbarui: 17 Oktober 2016   12:06 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Karno. Singkat. Merujuk pada usianya yang sudah sepuh (tua), saya lebih suka memanggilnya Mbah Karno. Adalah kebetulan yang menyenangkan saya bisa bertemu dan bercakap dengan kakek dua cucu yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pemungut sampah ini pada akhir September lalu.

Ya, sebuah kebetulan. Mungkin juga kami memang ditakdirkan bertemu. Sebab, ketika itu ada ratusan orang yang berprofesi dan mengenakan kaos yang sama dengan Mbah Karno. Mereka berkumpul di acara Pesta Cak Koen---semacam acara apresiasi kepada petugas lapangan di Surabaya---yang digelar oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Berawal karena posisi berdiri saya berdekatan dengan si mbah, saya lantas menyapanya. Mengajak ngobrol degan satu dua sapaan. Namun, keramahan dan wajahnya yang teduh, membuat saya tertarik untuk berbincang lebih lama. Sapaan seorang teman yang berlanjut obrolan beberapa menit, membuat saya sempat kehilangan Mbah Karno. Setelah mencari-cari di tengah kerumunan orang yang berkaos sama, saya akhirnya kembali bertemu dengannya.  

Kepada saya, pria asal Madiun yang merantau ke Surabaya pada awal tahun 80-an ini lantas berkisah tentang lika-liku hidupnya. Suara nya pelan. Tetapi ia lancar bertutur. Pendengarannya juga mulai berkurang (sehingga saya harus berbicara lebih dekat). Tetapi ia antusias menjawab semua keingintahuan saya. Sembari berkisah, gurat wajahnya yang keriput, kadang basah oleh air mata kala mengenang masa lalu nya.  

“Setiap pagi, saya memunguti sampah dari rumah ke rumah di kawasan Karah (Surabaya Selatan). Setelah sampah-sampah itu terkumpul, lalu saya bawa ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir),” ujar Mbah Karno mengawali ceritanya.

Pekerjaan seperti itu yang dilakoninya dalam delapan tahun terakhir. Memunguti sampah rumah tangga, dari rumah ke rumah. Menurutnya, meski mudah, tetapi itu pekerjaan yang butuh kesabaran. Sebab, antar rumah berbeda tampilan sampahnya. Ada yang sampah nya dikemas rapi terbungkus plastik besar. Ada yang masih berceceran di bak sampah. Baik sampah kering maupun basah. Bila seperti itu, untuk sekadar memungut sampah, Mbah Karno harus tahan dengan bau tidak sedap. “Kalau bau sampah, saya sudah terbiasa mas. Kalau wangi ya namanya bukan sampah,” ujarnya.  

Sebelum menjadi tukang pemungut sampah, Mbah Karno sempat lama berprofesi jadi tukang becak. Di tahun 80-an hingga 90-an, pendapatannya dari mengayuh becak masih lumayan. Maklum, selain angkutan kota, becak kala itu jadi moda transportasi pilihan masyarakat. Namun, ketika orang sudah enggan naik becak karena kemudahan memiliki motor sendiri, dia pun memilih “pensiun”. Sebenarnya, kedua anaknya memintanya  berisitirahat di rumah. Namun, Mbah Karno masih ingin bekerja.

“Usia saya sudah 83 tahun. Tapi saya masih ingin bekerja. Saya masih ingin menafkahi diri sendiri. Tidak bergantung anak. Saya senang bisa terus bergerak (beraktivitas). Karena kalau tidak bergerak, malah tidak enak,” sambung Mbah Karno.

Mbah Karno bukanlah petugas kebersihan seperti umumnya pasukan kuning yang setiap bulannya digaji sesuai dengan upah minimum kota di Surabaya senilai Rp 3 juta sekian. Sebagai pemungut sampah yang dikelola RW, dia mengaku mendapatkan upah bulanan sebesar 350 ribu rupiah. Di zaman ketika sarapan seporsi nasi pecel dan segelas teh manis seharga 7000 rupiah, jumlah upah itu tentu sangatlah kecil.  

Bisa dibayangkan andai pekerja seperti Mbah Karno dan rekan kerjanya mogok kerja karena minta kenaikan upah. Sampah-sampah di rumah warga tidak akan ada yang memungut. Imbasnya, bau busuk sampah akan “terbang” ke mana-mana. Lingkungan juga akan kotor karena sampah di depan rumah tersebut bisa saja berceceran karena diobrak-abrik sekawanan kucing,  

Tapi, Mbah Karno tidak pernah terpikir hal seperti itu. Dia tidak pernah lesu semangat. Dia tetap melakoni pekerjaannya dengan senyuman. Bayaran kecil itu tidak membuatnya membenci pekerjaannya, lantas bekerja asal-asalan. Setiap hari, dia berusaha menunaikan tugas sebaik-baiknya. Mbah Karno sudah merasa cukup dengan apa yang diperolehnya. “Yang penting bisa tetap sarapan nasi pecel, mas,” sambung dia.

Jawaban-jawaban polos Mbah Karno itu saya rasakan seperti kamus kehidupan. Saya seperti diajari ilmu tentang pentingnya keramahan ketika banyak orang melupakan pentingnya menjadi ramah. Seperti seperti diajari manisnya senyuman ketika banyak orang lebih suka berpikir nyinyir. Saya juga menangkap pesan tentang pentingnya merasa cukup sehingga tidak sampai menggerus kesungguhan ketika bekerja.

Saya bisa bilang begitu karena sebelum berbincang dengan Mbah Karno, saya sempat ngobrol dengan beberapa pasukan kuning yang usia nya jauh lebih muda dari Mbah Karno. Sekadar mengobrol biasa. Dari mereka, saya mendengar keluhan tentang pekerjaan mereka. Tentang gaji. Tentang sulitnya libur sehingga ketika hari raya harus tetap menyapu jalan di pagi hari sehingga baru bisa berkumpul keluarga ketika siang hari. Juga tentang harapan lainnya yang belum kesampaian. Bahkan, wajah mereka tetap muram meski berada di tengah pesta yang digelar khusus untuk mereka. Seolah tidak bisa menikmati pekerjaannya.

Mbah Karno diwawancara reporter TV
Mbah Karno diwawancara reporter TV
Dari situ saya bisa berkesimpulan. Bahwa, untuk tetap berwajah cerah seperti Mbah Karno, ternyata tidak mudah dilakukan. Apalagi ketika situasi sejatinya sulit. Untuk tetap bisa bekerja dengan penuh dedikasi dan totalitas, tidak semudah mengucapkannya ketika penghargaan atas pekerjaan ternyata tak sesuai harapan. Hanya orang-orang berhati besar seperti Mbah Karno-lah yang bisa melakukannya

Saya jadi teringat dengan salah satu puisi indah Kahlil Gibran. Puisi manis yang buku nya banyak terpajang di toko-toko. Puisi menyentuh yang juga dikutip para pencipta lagu menjadi bait-bait lagu. Puisi tentang:

“Kerja ialah cinta nan nyata, kasih nan tampak. Dan, jika engkau tak dapat bekerja dengan cinta, tetapi dengan rasa enggan, maka baiklah bagimu meninggalkan loka kerjamu, dan duduk di pinggir jalan sambil mengemis sedekah”.

Saya yakin, Mbah Karno tidak pernah tahu siapa itu Kahlil Gibran. Apalagi membaca karya-karya nya. Hidupnya yang keras dan penuh perjuangan, membuatnya tidak punya waktu untuk sekadar tahu-menahu hal itu. Namun, tanpa tahu semua itu, Mbah Karno ternyata sudah menerapkan puisi Gibran itu. Dia telah bekerja dengan cinta. Cinta yang mengejawantah lewat kerahaman dan senyuman nya.

Ketika bersikap nyinyir (suka mengkritik/menilai orang lain secara terus-menerus, curiga, mengeluh) kini seolah ada di mana-mana, ketika semangat untuk merawat harapan berupa ketenteraman bersama, kini tengah tergerus, semoga keramahan Mbah Karno menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lupa pada pentingnya bersikap ramah, bekerja keras tanpa merasa nyinyir dan merasa cukup. Salam.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun