Jawaban-jawaban polos Mbah Karno itu saya rasakan seperti kamus kehidupan. Saya seperti diajari ilmu tentang pentingnya keramahan ketika banyak orang melupakan pentingnya menjadi ramah. Seperti seperti diajari manisnya senyuman ketika banyak orang lebih suka berpikir nyinyir. Saya juga menangkap pesan tentang pentingnya merasa cukup sehingga tidak sampai menggerus kesungguhan ketika bekerja.
Saya bisa bilang begitu karena sebelum berbincang dengan Mbah Karno, saya sempat ngobrol dengan beberapa pasukan kuning yang usia nya jauh lebih muda dari Mbah Karno. Sekadar mengobrol biasa. Dari mereka, saya mendengar keluhan tentang pekerjaan mereka. Tentang gaji. Tentang sulitnya libur sehingga ketika hari raya harus tetap menyapu jalan di pagi hari sehingga baru bisa berkumpul keluarga ketika siang hari. Juga tentang harapan lainnya yang belum kesampaian. Bahkan, wajah mereka tetap muram meski berada di tengah pesta yang digelar khusus untuk mereka. Seolah tidak bisa menikmati pekerjaannya.
Saya jadi teringat dengan salah satu puisi indah Kahlil Gibran. Puisi manis yang buku nya banyak terpajang di toko-toko. Puisi menyentuh yang juga dikutip para pencipta lagu menjadi bait-bait lagu. Puisi tentang:
“Kerja ialah cinta nan nyata, kasih nan tampak. Dan, jika engkau tak dapat bekerja dengan cinta, tetapi dengan rasa enggan, maka baiklah bagimu meninggalkan loka kerjamu, dan duduk di pinggir jalan sambil mengemis sedekah”.
Saya yakin, Mbah Karno tidak pernah tahu siapa itu Kahlil Gibran. Apalagi membaca karya-karya nya. Hidupnya yang keras dan penuh perjuangan, membuatnya tidak punya waktu untuk sekadar tahu-menahu hal itu. Namun, tanpa tahu semua itu, Mbah Karno ternyata sudah menerapkan puisi Gibran itu. Dia telah bekerja dengan cinta. Cinta yang mengejawantah lewat kerahaman dan senyuman nya.
Ketika bersikap nyinyir (suka mengkritik/menilai orang lain secara terus-menerus, curiga, mengeluh) kini seolah ada di mana-mana, ketika semangat untuk merawat harapan berupa ketenteraman bersama, kini tengah tergerus, semoga keramahan Mbah Karno menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lupa pada pentingnya bersikap ramah, bekerja keras tanpa merasa nyinyir dan merasa cukup. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H