Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suka Bersikap Nyinyir? Mari Belajar Ramah dari Si Mbah Pemungut Sampah

17 Oktober 2016   10:47 Diperbarui: 17 Oktober 2016   12:06 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jawaban-jawaban polos Mbah Karno itu saya rasakan seperti kamus kehidupan. Saya seperti diajari ilmu tentang pentingnya keramahan ketika banyak orang melupakan pentingnya menjadi ramah. Seperti seperti diajari manisnya senyuman ketika banyak orang lebih suka berpikir nyinyir. Saya juga menangkap pesan tentang pentingnya merasa cukup sehingga tidak sampai menggerus kesungguhan ketika bekerja.

Saya bisa bilang begitu karena sebelum berbincang dengan Mbah Karno, saya sempat ngobrol dengan beberapa pasukan kuning yang usia nya jauh lebih muda dari Mbah Karno. Sekadar mengobrol biasa. Dari mereka, saya mendengar keluhan tentang pekerjaan mereka. Tentang gaji. Tentang sulitnya libur sehingga ketika hari raya harus tetap menyapu jalan di pagi hari sehingga baru bisa berkumpul keluarga ketika siang hari. Juga tentang harapan lainnya yang belum kesampaian. Bahkan, wajah mereka tetap muram meski berada di tengah pesta yang digelar khusus untuk mereka. Seolah tidak bisa menikmati pekerjaannya.

Mbah Karno diwawancara reporter TV
Mbah Karno diwawancara reporter TV
Dari situ saya bisa berkesimpulan. Bahwa, untuk tetap berwajah cerah seperti Mbah Karno, ternyata tidak mudah dilakukan. Apalagi ketika situasi sejatinya sulit. Untuk tetap bisa bekerja dengan penuh dedikasi dan totalitas, tidak semudah mengucapkannya ketika penghargaan atas pekerjaan ternyata tak sesuai harapan. Hanya orang-orang berhati besar seperti Mbah Karno-lah yang bisa melakukannya

Saya jadi teringat dengan salah satu puisi indah Kahlil Gibran. Puisi manis yang buku nya banyak terpajang di toko-toko. Puisi menyentuh yang juga dikutip para pencipta lagu menjadi bait-bait lagu. Puisi tentang:

“Kerja ialah cinta nan nyata, kasih nan tampak. Dan, jika engkau tak dapat bekerja dengan cinta, tetapi dengan rasa enggan, maka baiklah bagimu meninggalkan loka kerjamu, dan duduk di pinggir jalan sambil mengemis sedekah”.

Saya yakin, Mbah Karno tidak pernah tahu siapa itu Kahlil Gibran. Apalagi membaca karya-karya nya. Hidupnya yang keras dan penuh perjuangan, membuatnya tidak punya waktu untuk sekadar tahu-menahu hal itu. Namun, tanpa tahu semua itu, Mbah Karno ternyata sudah menerapkan puisi Gibran itu. Dia telah bekerja dengan cinta. Cinta yang mengejawantah lewat kerahaman dan senyuman nya.

Ketika bersikap nyinyir (suka mengkritik/menilai orang lain secara terus-menerus, curiga, mengeluh) kini seolah ada di mana-mana, ketika semangat untuk merawat harapan berupa ketenteraman bersama, kini tengah tergerus, semoga keramahan Mbah Karno menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lupa pada pentingnya bersikap ramah, bekerja keras tanpa merasa nyinyir dan merasa cukup. Salam.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun