Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Selamat Ulang Tahun, "Pria yang Terlahir Off side”

10 Agustus 2016   10:36 Diperbarui: 10 Agustus 2016   19:09 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inzaghi, menemukan makna keluarga di Milan/Daily Mail

Di masa jayanya, pamor sepak bola Italia yang terwakili oleh kompetisi Serie A Italia, mencuat karena beberapa hal. Salah satunya sistem pertahanan rapat berlapis yang tenar dengan nama Catenaccio. Sepak bola Italia juga mengagungkan pemain yang bermain seperti artis. Merekalah pemain bernomor 10. Mereka adalah pemain mistis. Italia punya banyak pemain bertipikal ini yang membuat Calcio terlihat lebih artistik. Ada nama Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, hingga Francesco Totti.

Namun, ada satu nama yang jadi antithesis dari sepak bola Italia. Satu nama yang tidak memiliki keterkaitan dengan sistem catenaccio dan pemain bernomor 10. Satu nama yang kemampuannya diragukan banyak kalangan. Tetapi, prestasinya di lapangan, jadi jawaban yang tak terbantahkan. Satu nama yang telah melegenda: Filippo Inzaghi.

13 Mei 2012, keheningan tercipta di akhir laga AC Milan vs Novarra yang merupakan laga pamungkas Serie A Italia musim 2011/12. Wajah Adriano Galliani, pria berkepala botak yang selama bertahun-tahun menjadi tangan kanan bos besar AC Milan, Silvio Berlusconi, terlihat sayu di bangku penonton. Tidak ada kegirangan yang seringkali dia perlihatkan ketika pemain-pemain Milan mencetak gol. Yang ada, wajah Galliani terlihat seperti seorang ayah yang hendak melepas pergi putra semata wayangnya kuliah ke luar negeri.

Inzaghi dan Galliani/twitteracmilan
Inzaghi dan Galliani/twitteracmilan
Ketika turun di lapangan, Galliani, sambil memegang mikrophone, hanya mampu mengucap beberapa kata. Tidak ada kesan bahwa orang ini adalah pria paling jago lobi-lobi yang membuat Milan beberapa tahun lalu, bisa merekrut banyak pemain hebat dengan harga murah.

“Kami akan merindukan pemain berkarakter juara seperti Pippo. Seorang pria hebat yang membuat ruang ganti seperti seharusnya,” ujar Galliani.

Itulah momen ketika AC Milan melepas striker mereka, Filippo Inzaghi, setelah 11 tahun berkostum klub merah hitam itu. Sebuah perpisahan mengharukan. Saya yang kala itu hanya bisa melihat momen perpisahan Pippo itu lewat tayangan televisi, jadi ikutan trenyuh.

Pippo yang baru masuk di pertengahan babak kedua, seperti tahu bahwa ini laga ‘wisuda’ nya di Milan. Dia pun mencetak gol kemenangan 2-1 Milan. Sebuah gol yang jadi ciri khasnya. Jeli membaca arah umpan dengan ‘bersembunyi’ di bahu bek-bek lawan. Lantas tiba-tiba muncul untuk melakukan tendangan mematikan. Gol yang juga menjadi koleksi terakhirnya untuk I'rossonerri-julukan Milan.

Selama kariernya, Pippo pernah main di beberapa klub. Mulai dari klub kota kelahirannya Piacenza, kemudian Leffe, Verona, dan Parma. Namanya mulai terkenal ketika membela Atalanta, lalu pindah ke Juventus, hingga Milan.

Tetapi, di Milan-lah, Inzaghi menemukan makna ikatan keluarga. Sama seperti kebanyakan pemain Milan yang selalu berucap bahwa Milan itu seperti keluarga dan akan selalu menjadi keinginan untuk bisa mengakhiri karier disana. Dan Pippo menyadari, dia akan segera berpisah dengan keluarga besarnya. Keluarga yang sejak tahun 2001 telah memberinya banyak kenangan terbaik. Kenangan saat-saat mengangkat piala juara. Keluarga yang menemaninya di kala susah. Kala dirinya bergelut dengan cedera.

“Ada cinta yang terlalu besar untuk diakhiri hari ini. Milan akan selalu menjadi bagian terbaik dalam hidup saya. Sangat sulit meninggalkan mereka,” ujar Inzaghi kala itu.

Inzaghi, menemukan makna keluarga di Milan/Daily Mail
Inzaghi, menemukan makna keluarga di Milan/Daily Mail
Inzaghi memang sosok pengecualian, antithesis dalam sepak bola Eropa. Dia striker unik. Melihat badannya yang ringkih, larinya yang kurang gesit ataupun tendangannya yang tidak keras untuk seorang striker, orang mungkin tidak percaya dia telah mencetak ratusan gol selama kariernya. Melihat wajahnya yang melas dan sama sekali tidak terlihat sangar, orang mungkin tidak percaya kalau dia salah satu striker dengan naluri membunuh paling mematikan di Italia dan Eropa.

Namun, percaya atau tidak percaya, nyatanya, fakta bicara demikian. Inzaghi sudah mencetak 313 gol selama kariernya. Sebanyak 288 gol dari 623 penampilan tercipta di level klub. Di Serie A, sejak debut pada tahun 1995, Inzaghi-lah striker yang paling banyak menciptakan hat-trick (tiga gol dalam satu pertandingan) dalam kurun 25 tahun terakhir. Dia membuat rekor 10 kali hat-trick. Rinciannya, satu kali hat-trick bersama Atalanta, empat kali di Juve dan lima kali di Milan.

Dalam hal ini, Inzaghi mengungguli nama-nama striker top yang pernah bermain di Serie A Italia seperti Giuseppe Signori (9 kali hat-trick), Hernán Crespo (8), Roberto Baggio, Marco van Basten, Gabriel Batistuta, Abel Balbo, Vincenzo Montella (7), Antonio Di Natale, hingga David Trezeguet (6). Prestasi yang membuatnya dijuluki Super-Pippo.

Inzaghi juga pernah jadi top skor Serie A bersama Atalanta dengan torehan 24 gol di kompetisi musim 1994/95. Hebatnya, kala itu, Inzaghi bisa mencetak gol ke semua gawang tim lawan. Di tahun itu juga, Inzaghi jadi alias pemain muda terbaik. Rapor kehebatan Inzaghi tak berhenti di situ. 

Di Liga Champions, dialah striker pertama yang bisa membuat dua kali hat-trick. Total, dia membuat tiga kali hat-trick yang kemudian dinapaktilasi Michael Owen, Mario Gomez, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Inzaghi-lah top skor Milan di ajang internasional dengan 43 gol. Dia juga pahlawan Milan ketika memenangi Liga Champions 2007 lewat dua gol nya ke gawang Liverpool. Dan di Timnas Italia, dia ikut jadi bagian kala Italia memenangi Piala DUnia 2006.

Inzaghi kala mencetak dua gol di final Liga Champions 2007/Daily Mail
Inzaghi kala mencetak dua gol di final Liga Champions 2007/Daily Mail
Sebenarnya, apa yang menjadi rahasia kehebatan Inzaghi sehingga mampu menciptakan banyak gol? Jawaban nya adalah soft skill Inzaghi dalam memahami posisi sebagai penyerang. Sebagai pemain dengan tugas mencetak gol, dia tak punya hard skill berpostur kokoh seperti Zlatan Ibrahimovich, atau kaki kiri mematikan layaknya Giuseppe Signori. Dia juga tak mampu bergerak liar dari luar kotak penalti seperti yang sering dilakukan Gabriel Batistuta. Kepalanya juga tidak seganas David Trezeguet, striker Prancis yang kehadirannya membuatnya tersingkir dari Juventus. Namun, semua keterbatasan itu mampu diatasi Inzaghi denga caranya sendiri.

Inzaghi punya kelebihan yang tidak dimiliki pemain lainnya. Kelebihan dalam menaklukkan perangkap off side. Inzaghi pandai “bersembunyi” di bahu bek-bek lawan sebelum akhirnya melepaskan diri untuk menjemput bola umpan rekan setimnya. Cara itulah yang membuat dia seringkali lolos dari perangkap off side bek-bek lawan.

Inzaghi, pandai melepaskan diri dari kawalan bek-bek lawan/twitter acmilan
Inzaghi, pandai melepaskan diri dari kawalan bek-bek lawan/twitter acmilan
Tahun 1999, jelang Juventus berhadapan dengan Manchester United di semifinal Liga Champions, pelatih United, Alex Ferguson sampai-sampai menyebutnya “born offside” alias terlahir dalam posisi off side.

Kutipan berbunyi lengkap “That lad must have been born offside” itu kemudian menjadi sangat terkenal sebagai salah satu kutipan dari Ferguson. Sementara legenda sepak bola Belanda, mendiang Johan Cruyff menyebut Inzaghi sebenarnya tidak bisa bermain bola, tetapi hanya bisa mencari posisi yang tepat. “Dengar, sebenarnya dia tidak bisa bermain sepak bola sama sekali. Dia hanya selalu dalam posisi yang tepat,” ujar Cruyff.

Toh, kelebihan unik itulah yang telah mengangkat nama Inzaghi di sepak bola. Meski postur nya ringkih dan tendangannya tidak mematikan, tetapi bek-bek dan kiper lawan ngeri dengan kehadiran Inzaghi. Dia seperti bisa menebak ke mana lari nya arah bola untuk kemudian dengan dingin ia ceploskan ke gawang. Namun, Inzaghi tidak melulu bermodal “sembunyi di bahu lawan”.

Orang mungkin lupa bahwa ratusan gol yang dia ciptakan, juga didukung kebugaran kondisi fisiknya yang merupakan hasil dari fitness dan diet teratur. Orang mungkin menutup mata bahwa Inzaghi juga punya akurasi tendangan luar biasa dan insting alamiah dalam penempatan bola. Apalah artinya lolos dari jebakan offside tetapi tidak punya kebugaran fisik dan akurasi shooting.

Rob Bagchi, kolumnis The Guardian, pernah membuat tulisan khusus untuk menyoroti sepak terjang Inzaghi ketika sang penyerang mencetak 300 golnya pada tahun 2009 silam. Bagchi memakai judul metafora “Inzaghi menemukan kebesaran dalam keserakahan” dalam tulisan yang dimuat pada Maret 2009 tersebut .

Bagchi berkisah, tulisan tersebut merupakan usulan seorang temannya yang datang kepadanya lantas berujar “jika kamu tidak menilai dia (Inzaghi), kamu tidak tahu apa-apa tentang sepak bola”. Bagchi menggambarkan bagaimana serakah dan egois adalah dua kata sifat yang menjadi bagian dari deskripsi pekerjaan Inzaghi sebagai pencetak gol.

Bila beberapa orang menganggap Inzaghi mujur ketika terus-menerus 'mengintai' di bahu bek-bek lawan kemudian menaklukkan off side, dia justru menilai itu sebagai kejeniusan Inzaghi. Kemampuan yang menurutnya bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan.

Dia lantas membandingkan Inzaghi dengan dua mantan striker Timnas Inggris, Gary Lineker dan Michael Owen yang dulu semasa aktif bermain juga digambarkan "menjadi hidup ketika berada dalam kotak penalti" tetapi keduanya tidak pernah menghadapi “penghinaan” yang sama seperti Inzaghi. Inzaghi dianggapnya sebagai generasi terakhir dalam tradisi permainan yang ia perlihatkan. Ketika Inzaghi pensiun, tidak akan ada lagi penerusnya di sepak bola.

Bagchi menyebut akan menjadi sebuah kegilaan jika membayangkan Inzaghi bisa bermain seperti pemain Italia bernomor 10 seperti Gianni Rivera, Giancarlo Antognoni dan Roberto Baggio. Tetapi, kemampuannya dalam finishing disebutnya juga sebagai bagian dari kecantikan dalam sepak bola. Inzaghi menurutnya telah mengukir status legenda dengan caranya sendiri.

“Hal lain yang saya sukai dari dia adalah cara dia merayakan setiap gol nya seperti perayaan gol legendaries Marco Tardelli ketika memenangi Piala Dunia 1982. Karena baginya, gol adalah hasil dari kerja keras setelah beberapa kali mencoba dan gagal menaklukkan perangkap off side,” tulis Bagchi.

Pernah melatih AC Milan di musim 2014-15/Daily Mail
Pernah melatih AC Milan di musim 2014-15/Daily Mail
Pada 24 Juli 2012, Inzaghi mengumumkan pengunduran dirinya dari sepak bola. Di awal musim 2012/13, Inzaghi memulai kariernya sebagai pelatih tim Allievi Nazionali Milan alias tim U-17 nya Milan. Lalu, di musim 2013/14, dia sempat melatih tim senior Milan meski tidak bertahan lama. Kini, dia melatih klub Divisi III Italia, Venezia.

Nah, 9 Agustus kemarin, Inzaghi berulang tahun ke-43 tahun. Sebenarnya, tulisan ini mau nya saya tayangkan kemarin. Namun, baru bisa diunggah hari ini. Meski telat sehari, rasanya belum basi untuk berucap “selamat ulang tahun” Super Pippo”, salah satu penyerang jenius yang pernah ada. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun