Pergantian kabinet sudah berlalu dua hari lalu. Dan, menjadi hal biasa ketika dalam beberapa hari ini, “wajah media” dipenuhi oleh berita tentang “para pembantu presiden” yang baru. Tetapi, yang tidak biasa adalah respons luar biasa publik terhadap menteri yang sudah tergantikan. Ada satu nama (mantan) menteri yang begitu dicinta publik sehingga publik seakan tak rela ketika ia diganti. Dia, Prof Anies Baswedan.
Bahkan, nama sang menteri penggantinya, Prof Muhadjir Effendy yang merupakan mantan rektor saya di perguruan tinggi dulu, seakan ‘tenggelam’ dalam gelombang pemberitaan. Saya sendiri ikut terharu ketika membaca surat perpisahan yang disampaikan Anies Baswedan di media massa. Surat itu dibuatnya sesaat setelah dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Surat perpisahan itu mempertegas sosok Anies Baswedan sebagai pribadi yang santun. Kesantunan itu terlihat dari kalimat ucapan terima kasih dan apresiasi yang ia sampaikan kepada Presiden Jokowi yang telah memberikan kehormatan kepada dirinya telah menjabat Mendikbud. Dalam perpisahan yang acapkali dikonotasikan sebagai “kabar sedih”, sejatinya tidak mudah mengucap terima kasih.
Melalui suratnya itu, Pak Anies juga seolah mengingatkan kita bahwa apa-apa yang ada di dunia ini--termasuk jabatan---bukanlah milik kita, tetapi milik Allah. Itu yang terbaca dari kalimat “Selama 20 bulan ini saya mendapatkan kehormatan menjalankan sebuah amanah konstitusi dan amanah dari Allah SWT untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa lewat jalur pemerintahan. Hari ini saya mengakhiri masa tugas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”.
Meminjam ucapan Pramoedya Ananta Toer, pergantian kabinet ini---utamanya posisi Mendikbud---bak narasi terkanal dalam novel Bukan Pasar Malam. Bahwa, orang tidak datang berbondong-bondong dan tidak pula pergi bersamaan. Mereka datang dan pergi satu demi satu. Dan ketika ada yang pergi, satu orang baru datang mengganti. Bukankah jabatan juga seperti itu?
Namun, yang ingin saya bahas lebih dalam tulisan ini bukanlah sudut pandang perihal pergantian Mendikbud-nya. Tetapi pada betapa luar biasa menyentuh surat perpisahan yang dibuat Pak Anies itu. Tatanan kalimatnya begitu berenergi, diksi (pilihan kata) nya juga menyentuh dan menggugah, khas Anies Baswedan. Kemampuan Pak Anies dalam berbahasa Indonesia lewat ucapan dan tulisan dalam dimensi berbeda dari pejabat kebanyakan itulah yang saya kagumi dari beliau.
Kekaguman saya itu sudah muncul sekira delapan tahun silam, ketika pertama bertemu dan ngobrol langsung dengan beliau. Tahun 2008 silam, ketika saya masih menjadi jurnalis dan kebetulan ditugaskan di Jakarta, saya beberapa kali berkesempatan mewawancarai Pak Anies. Kala itu, saya belum terlalu tahu siapa dia. Palingan tahunya hanya Rektor Universitas Paramadina. Tetapi, ketika mewawacarainya, saya selalu terpesona dengan kalimat-kalimat jawabannya yang berenergi, ceras, lugas, santun dan penggunaan bahasa Indonesia yang berkualitas tinggi.
Ketika di Jakarta, saya bisa dengan cukup mudah bertemu dan mewawacara banyak tokoh nasional. Karena memang, setiap hari hampir selalu ada agenda diskusi atau acara lainnya yang dihadiri tokoh terkenal. Baik pejabat publik, akademisi, maupun politisi. Sehingga, tidak sulit untuk mewawancara mereka.
Tetapi, bagi saya, ketika itu, belum ada sosok yang mampu setara dengan Anies Baswedan dalam hal kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, juga pemilihan diksi yang indah. Memang, ada beberapa tokoh yang juga memiliki kemampuan berbicara di depan publik yang bagus. Namun, substansi dan diksi nya yang terucap, masih belum istimewa. Sekadar lancar saja bicaranya.
Ada pula figur yang ketika diwawancara, acapkali menyelipkan kata-kata bahasa Inggris. Sehingga, bicaranya acapkali seperti ‘gado-gado’ alias campur-campur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Mungkin supaya dianggap pintar berbahasa Inggris atau juga dianggap keren.
Dulu, saya sering mendengar ada tokoh yang ketika diwawancara, lebih suka mengucapkan kalimat “Kita harus memiliki ‘approachment’ yang benar dalam mengatasi masalah ini”. Kata “approachment” lebih dipilih dibanding kata “pendekatan”. Atau kalimat “yang paling penting sudah ada “effort” yang dilakukan. Kata “effort” lebih dipilih dibandingkan “upaya”. Atau juga kata "balanca" acapkali diucapkan daripada kata "seimbang". Sekarang pun, ketika melihat tayangan berita di televisi, saya masih sering melihat beberapa tokoh yang seakan bangga ketika menyelipkan kata bahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia dengan sebenar-benarnya.
Saya yakin se-yakinnya, Pak Anies sangat mampu berbahasa Inggris dengan fasih. Tetapi, dia lebih memilih untuk berbahasa Indonesia. Dan, ketika diucapkan/ditulis oleh Pak Anies, bahasa Indonesia itu terdengar/terlihat sangat keren. Simak penggalan kalimat dari surat perpisahan Pak Anies ini:
“Saya menemukan mutiara-mutiara berkilauan di sudut-sudut tersulit Republik ini. Dinding kelas bisa reyot dan rapuh, tapi semangat guru, siswa dan orangtua tegak kokoh. Dalam berbagai kesederhanaan fasilitas, sebuah PR besar Pemerintah, saya melihat gelora keceriaan belajar yang luar biasa”.
Bahasanya sangat Indonesia. Tetapi sangat menggelora. Kata-kata seperti “reyot” atau “semangat”, sebenarnya sangat sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Tetapi, begitu dirangkai menjadi kalimat, sungguh terdengar penuh pesona. Sangat menggugah dan maknanya dalam.
Begitu juga beberapa kutipan Pak Anies yang sudah menjadi “kalimat abadi” karena sudah diberi label “kutipan favorit”. Begitu menggugah dan bertenaga. Diantaranya kalimat:
“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan”.
“Orang-orang baik tumbang bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang-orang baik yang diam dan mendiamkan”.
Kalimat yang terakhir itu adalah ajakan Anies Baswedan ketika menggagas gerakan TurunTangan yang mendorong orang baik untuk masuk ke ranah politik. Mungkin itu bukan kalimat yang langka. Tetapi, ketika sebelum membaca kalimat ini, rasanya tidak akan terpikirkan akan ada kalimat kutipan dengan substansi yang seperti itu.
Karenanya, saya senang, sekarang ini, bukan hanya Pak Anies yang bisa menyampaikan kalimat-kalimat bahasa Indonesia dengan hebat dan berenergi. Ada beberapa pemimpin di negeri ini baik di kabupaten/kota, regional hingga nasional yang juga bangga berbahasa Indonesia. Serta, mampu memunculkan kalimat menggugah dengan pilihan diksi yang terdengar manis.
Beberapa media massa besar di Indonesia, juga berbangga dengan penggunaan bahasa Indonesia dibandingkan memakai kata asing. Salah satu nya Kompas yang kini lebih memilih kata “media daring” daripada “ media online”. Tabloid Bola juga sudah lebih suka menggunakan kata “sepak mula” daripada “kick off”.
Saya yakin para pemimpin itu, mereka mampu berbahasa Inggris. Tapi, kenapa juga mesti "latah" berbahasa Inggris bila masih menjejakkan kaki di Indonesia. Kenapa merasa bangga mencomot kata-kata bahasa Inggris bila semua lawan bicara nya adalah manusia yang bahasa ibu nya adalah “bahasa Indonesia”. Padahal, mencomot satu dua kata bahasa Inggris tidak lantas menjadikan dia keren atau kalimat nya diabadikan dalam “kutipan terbaik”. Mari, bangga berbahasa Indonesia. Seperti Pak Anies.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H