“Mengantar anak di hari pertama sekolah adalah kesempatan bagi orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak. Kita telah membuat sejarah baru. Kaki kita sudah melangkah dan pantang untuk bergerak mundur”.
Begitu pernyataan dari sang penggagas gerakan bersejarah ini, Prof Anies Baswedan-- yang sepuluh hari setelah gerakan tersebut sukses besar, mendadak tidak lagi menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ucapan Pak Anies---yang saya kagumi karena cara bicaranya yang santun lagi cerdas dan saya anggap “menaikkan kelas” bahasa Indonesia ketika banyak tokoh di Indonesia justru lebih suka berbicara ‘gado-gado bahasa Indonesia-Inggris---memang benar adanya.
Seperti kata Prof Anies, mengantar anak di hari pertama sekolah menjadi penting karena itu kesempatan bagi orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak dengan membangun hubungan positif antara pendidikan di rumah dan sekolah. Bahwa mengantar bukan hanya sampai gerbang sekolah lantas pergi. Tetapi menemani dan membangun interaksi dengan guru dan orang tua murid lainnya. Sebab, hari pertama sekolah adalah awal perjalanan panjang anak-anak kita di “rumah keduanya”.
Dengan mengantar anak di hari pertama sekolah, orang tua bisa membangun komunikasi yang benar dengan wali kelas, guru serta kepala sekolah plus bisa bertukar nomor handphone, memberikan apresiasi juga menawarkan bantuan untuk terlibat dalam kegiatan penunjang pembelajaran. Kita juga bisa mengenali kondisi sekolahnya.
Merawat Pesan Penting nya; Karena Ini Baru Awalan
Nah, ketika kita sudah bisa menangkap pesan penting mengantar anak di hari pertama sekolah, langkah berikutnya (yang jauh lebih penting) adalah merawat pesan tersebut. Merawat agar pesannya tidak hilang. Merawat agar kita bisa isqtiqomah (kontinyu) untuk terlibat dalam pendidikan anak. Karena memang, gerakan ini sejatinya baru “awalan” bagi orang tua untuk bisa ikut ‘mewarnai’ pendidikan karakter anak.
Mengapa orang tua harus terlibat dalam pendidikan anak? Bukankah tugas mendidik itu tugasnya guru?
Sebab, pendidikan di sekolah saja, kini belum cukup untuk melindungi anak dari “godaan era kekinian”. Ilmu pengetahuan dan perilaku yang diajarkan guru saja, belum cukup untuk membentuk karakter anak agar tidak menjadi ‘generasi imitasi’ yang mudah meniru apa saja yang mereka lihat. Kita tahu, godaan nya anak era kekinian yang berpotensi membuat anak berperilaku keliru, jauh berbeda dengan era ketika kita para orang tua, masih bersekolah.
Dulu, ketika kita masih bocah, tidak ada acara televisi yang begitu vulgar mengumbar kekerasan fisik dan berbicara kasar sehingga anak yang merasa lebih, lantas dengan mudah mem-bully temannya. Dulu, ketika kita masih bocah, tidak terbayang akan ada era ketika aktif di Sosial Media seolah menjadi keharusan bagi anak-anak sekolah. Sehingga, ada banyak anak sekolah yang lebih sibuk selfie, pamer foto di instagram, update status tidak jelas di Facebook atau di Twitter. Imbasnya, muncullah sikap egois dan materialisme yang terlihat dari cara bicara, cara berperilaku dan cara berinteraksi dengan sesamanya.
Sekarang adalah era ketika televisi dan sosial media kadang diperlakukan sebagai “agama” yang diyakini kebenarannya. Yang terjadi, anak-anak terkadang ‘lebih percaya’ kepada media sosial dan televisi daripada orang tua dan gurunya.