Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Pak Direktur Rumah Sakit, Kita Belajar Merawat Pesan Penting “Mengantar Anak Sekolah”

29 Juli 2016   10:27 Diperbarui: 29 Juli 2016   10:36 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengantar anak di hari pertama sekolah, mengantar mereka belajar di

Dari anak saya kecil sampai sekarang, saya antar anak sekolah. Kecuali saya ke luar kota. Kalau nggak ada acara, pasti saya antar”.

Kutipan kalimat itu terlihat sederhana. Tetapi, bagi beberapa orang tua, mengantar anak sekolah boleh jadi bak “kasih tak sampai”. Sangat ingin dilakukan, tetapi tak pernah punya kesempatan melakukannya.

Mungkin karena rutinitas pekerjaan yang mengharuskan berangkat pagi. Atau karena sulit bangun pagi karena baru pulang kerja dini hari. Padahal, mengantar anak ke sekolah sejatinya merupakan “pekerjaan mudah”. Tinggal meluangkan waktu sebentar saja.

Kesan mengantar anak sekolah itu pekerjaan mudah, saya dapat ketika mewawancara seorang bos rumah sakit swasta ternama di Surabaya beberapa hari jelang puasa Ramadhan lalu. Saya diminta tolong seorang kawan untuk mewawancara bos itu guna diprofil untuk majalah rumah sakit.

Di awal mula wawancara, saya hanya mendapati jawaban-jawaban umum yang sering saya dengar. Tak ada pernyataan yang luar biasa ketika dia bercerita tentang aktivitas nya sebagai bos rumah sakit, kegemarannya bersepeda di pagi hari, juga tips makan agar hidup lebih sehat. Namun, ada kisah dari pak bos rumah sakit itu yang membuat saya tertegun dan diam-diam kagum dengan orang ini. Yakni tentang “hobi nya” mengantar dua anak nya ke sekolah.

Anggap Mengantar Anak ke Sekolah Sebagai “Tugas Negara”

Dia bercerita, setiap pagi, selepas Shubuh, dirinya bersepeda bersama koleganya. Olahraga nggowes itu rutin dilakukannya. Dia menyebutnya resfreshing sebelum memulai aktivitas padat yang acapkali sampai malam hari. Namun, dia juga tidak pernah melewatkan rutinitas pagi lainnya yang juga rutin dia lakukan. Dia selalu menyempatkan mendampingi anak-anaknya berangkat ke sekolah. Aktivitas itu bahkan sudah dilakukannya sejak dua buah hatinya pertama kali mencicipi bangku pendidikan. Hingga kini, anak sulungnya kelas 3 SMA dan adiknya kelas I SMA.

Kadang ketika ngobrol di pasar setelah sepedaan, pas lihat jam, saya bilang ke tim, ‘sori nih saya dapat tugas kenegaraan, nganterin anak sekolah’,” ujarnya.

Dari anak saya kecil sampai sekarang, saya antar anak sekolah. Kecuali saya ke luar kota. Kalau nggak ada acara, pasti saya antar,” sambung pria kelahiran Jakarta ini.

Saya lantas tergoda untuk bertanya tentang apa yang mendorong pria yang oleh kolega nya disapa Pak Pichung ini bela-belain mengantar anak ke sekolahnya. Sementara, sang anak sebenarnya bisa berangkat sendiri ke sekolahnya karena ada kendaraan di rumah. Bahkan juga ada sopir keluarga yang siap mengantar. Lagi-lagi, saya tertegun dengan jawabannya.

Ketika mengantar anak ke sekolah, saya bisa ngobrol dengan mereka selama perjalanan. Saya bisa berpesan agar mereka tidak salah bergaul. Itu yang membuat saya dekat dengan anak. Saya dengan anak itu seperti teman lha. Bisa cerita. Kalau saya pulang kerja, kami ngobrol di meja makan. Kalau nggak, malam sebelum tidur, saya ke kamar mereka dan ngobrol sebentar,” ujarnya.

Jawaban itu seperti menjadi “tamparan” bagi kita--para ayah--yang karena terlalu sibuk bekerja, acapkali melupakan perhatian pada anak. Jangankan mau mengantar anak ke sekolah, mengajak ngobrol anak ketika malam selepas kerja pun amat jarang. Padahal, kesibukan Pak Pichung jelas lebih padat dari orang tua kebanyakan. Selain menjadi direktur rumah sakit, dia juga presiden direktur sebuah brand otomotif ternama. Karenanya, setiap ayah bisa “bercermin” kepadanya perihal kemauan untuk mengantar anak ke sekolah, juga kedekatannya dengan dua anaknya.

Mungkin teramat susah untuk bisa seperti Pak Pichung yang rutin mengantar anaknya ke sekolah. Tetapi, minimal kita ada kemauan mengantar anak ke sekolah ketika memang punya kesempatan melakukannya. Memotivasi para orang tua agar punya kemauan menemani anak nya ke sekolah, itu yang tengah didorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah.

                                                                                                                                               ==

Pekan lalu, gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah itu jadi fenomena luar biasa. Jadi perbincangan di mana-mana. Di dunia nyata, juga dunia maya. Hastagh #HariPertamaSekolah bahkan jadi trending topic nasional. Ada banyak orang tua yang antusias untuk ikut menjadi bagian dari gerakan mulia ini. Anda mungkin salah satunya.

Ada banyak orang tua antusias menjadi bagian Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah/pembelajar.net
Ada banyak orang tua antusias menjadi bagian Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah/pembelajar.net
Demi bisa mengantar anak di hari pertama sekolah, ada orang tua yang meminta izin atasannya akan datang terlambat di kantor. Ada yang “tak pernah bertemu pagi” karena harus bekerja hingga larut malam, kali ini berusaha bangun pagi. Ada juga orang tua yang setiap pagi bersepeda, rela sementara off dulu. Semuanya demi bisa mengantar anak “di hari pertama sekolah”.

Dan, gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah, sudah berlalu pekan lalu. Pertanyaannya, apakah gerakan itu hanya sekadar lalu dan tinggal kenangannya saja? Bahwa kita berbangga pernah berpartisipasi dalam sebuah gerakan hebat: mengantar anak di hari pertama sekolah---yang boleh jadi itu untuk kali pertama selama menjadi ayah/orang tua. Ataukah ada pesan penting yang telah kita rasakan ketika mengantar anak di hari pertama sekolah dan masih membekas hingga sekarang.

Pesan Tersirat Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah

Sejatinya, yang terpenting bukanlah euforianya. Hal terpenting adalah tentang menangkap pesan penting yang tersirat dari gerakan ini. Sebab, bila kita tidak mampu menangkap pesan penting itu, kita hanya akan menganggap gerakan tersebut tidak ada maknanya. Sekadar seremoni belaka.

Saya juga pernah membaca tulisan yang menyoroti gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah ini dari angle kemandirian anak. Tulisan itu menyoal anak era dulu yang disebut lebih mandiri karena berangkat sekolah sendiri, tanpa diantar orang tuanya.

Bagi saya, gerakan ini bukan hanya tentang kemandirian anak. Karena, kemandirian anak tak hanya terbentuk dari berangkat ke sekolah sendiri atau diantar. Tapi, ada urusan lebih penting daripada sekadar mengomparasi kemandirian anak dari sudut pandang itu.

antar anak dengan bangga, lepas dengan doa/pembelajar.net
antar anak dengan bangga, lepas dengan doa/pembelajar.net
Karenanya, penting untuk bisa menangkap apa pesan penting dari gerakan ini. Hanya bila bisa menangkap pesan nya, kita akan sepakat bahwa gerakan ini memang penting. Pesan penting itu yang mungkin tidak semua orang tua yang mengantarkan anak nya di hari pertama sekolah, bisa menangkapnya. Lalu, apa pesan penting tersebut?

“Mengantar anak di hari pertama sekolah adalah kesempatan bagi orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak. Kita telah membuat sejarah baru. Kaki kita sudah melangkah dan pantang untuk bergerak mundur”.

Begitu pernyataan dari sang penggagas gerakan bersejarah ini, Prof Anies Baswedan-- yang sepuluh hari setelah gerakan tersebut sukses besar, mendadak tidak lagi menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ucapan Pak Anies---yang saya kagumi karena cara bicaranya yang santun lagi cerdas dan saya anggap “menaikkan kelas” bahasa Indonesia ketika banyak tokoh di Indonesia justru lebih suka berbicara ‘gado-gado bahasa Indonesia-Inggris---memang benar adanya.  

Seperti kata Prof Anies, mengantar anak di hari pertama sekolah menjadi penting karena itu kesempatan bagi orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak dengan membangun hubungan positif antara pendidikan di rumah dan sekolah. Bahwa mengantar bukan hanya sampai gerbang sekolah lantas pergi. Tetapi menemani dan membangun interaksi dengan guru dan orang tua murid lainnya. Sebab, hari pertama sekolah adalah awal perjalanan panjang anak-anak kita di “rumah keduanya”.

Dengan mengantar anak di hari pertama sekolah, orang tua bisa membangun komunikasi yang benar dengan wali kelas, guru serta kepala sekolah plus bisa bertukar nomor handphone, memberikan apresiasi juga menawarkan bantuan untuk terlibat dalam kegiatan penunjang pembelajaran. Kita juga bisa mengenali kondisi sekolahnya.

Merawat Pesan Penting nya; Karena Ini Baru Awalan

Nah, ketika kita sudah bisa menangkap pesan penting mengantar anak di hari pertama sekolah, langkah berikutnya (yang jauh lebih penting) adalah merawat pesan tersebut. Merawat agar pesannya tidak hilang. Merawat agar kita bisa isqtiqomah (kontinyu) untuk terlibat dalam pendidikan anak. Karena memang, gerakan ini sejatinya baru “awalan” bagi orang tua untuk bisa ikut ‘mewarnai’ pendidikan karakter anak.

Mengapa orang tua harus terlibat dalam pendidikan anak? Bukankah tugas mendidik itu tugasnya guru?

Sebab, pendidikan di sekolah saja, kini belum cukup untuk melindungi anak dari “godaan era kekinian”. Ilmu pengetahuan dan perilaku yang diajarkan guru saja, belum cukup untuk membentuk karakter anak agar tidak menjadi ‘generasi imitasi’ yang mudah meniru apa saja yang mereka lihat. Kita tahu, godaan nya anak era kekinian yang berpotensi membuat anak berperilaku keliru, jauh berbeda dengan era ketika kita para orang tua, masih bersekolah.

Dulu, ketika kita masih bocah, tidak ada acara televisi yang begitu vulgar mengumbar kekerasan fisik dan berbicara kasar sehingga anak yang merasa lebih, lantas dengan mudah mem-bully temannya. Dulu, ketika kita masih bocah, tidak terbayang akan ada era ketika aktif di Sosial Media seolah menjadi keharusan bagi anak-anak sekolah. Sehingga, ada banyak anak sekolah yang lebih sibuk selfie, pamer foto di instagram, update status tidak jelas di Facebook atau di Twitter. Imbasnya, muncullah sikap egois dan materialisme yang terlihat dari cara bicara, cara berperilaku dan cara berinteraksi dengan sesamanya.

Sekarang adalah era ketika televisi dan sosial media kadang diperlakukan sebagai “agama” yang diyakini kebenarannya. Yang terjadi, anak-anak terkadang ‘lebih percaya’ kepada media sosial dan televisi daripada orang tua dan gurunya.

Mari merawat pesan penting Gerakan Mengantar Anak Di Hari Pertama Sekolah/kompasiana
Mari merawat pesan penting Gerakan Mengantar Anak Di Hari Pertama Sekolah/kompasiana
Karenanya, pendidikan anak bukan hanya jadi tanggung jawab guru. Orang tua tidak bisa hanya menyalahkan pihak sekolah ketika anaknya salah pergaulan. Justru, orang tua harus hadir dalam pendidikan anak.

Diawali dengan mengantar anak ke sekolah, akan terbentuk kedekatan dengan anak. Orang tua juga perlu menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi anak dengan sering berkomunikasi dan mau mendengar pendapat anak. Dengan begitu, anak akan lebih betah di rumah dan melakukan tugasnya sebagai pelajar ketimbang di luar rumah.  

Tempuh Perjalanan 50 Km Demi Mengantar Anak Sekolah

Alhamdulillah, saya juga ikut berpartisipasi dalam gerakan mengantar dua anak saya di hari pertama sekolah. Anak saya, Gaoqi Dzaka, mengawali ‘status barunya’ sebagai siswa TK B. Sementara adiknya, Gaizan Ahza, baru ‘belajar sekolah’ di Playgroup. Dan ternyata, tidak mudah untuk bisa menemani keduanya ke sekolah. Butuh perjuangan.

Sebagai staf yang bekerja di kantor dan setiap hari harus absen finger print paling lambat pukul 07.30 WIB, maka saya harus pintar mengatur waktu: tetap absen pagi lalu sejenak kembali ke rumah untuk mengantar anak sekolah lantas kembali ke kantor. Tentunya dengan terlebih dulu izin kepada atasan.

Sekadar informasi, kantor tempat saya bekerja ada di Surabaya. Sementara rumah saya di Sidoarjo. Jarak rumah menuju kantor lebih dari 50 kilometer. Normalnya, jarak itu seharusnya bisa ditempuh tidak lebih satu jam. Namun, ketika pagi, ketika hampir separuh penduduk Sidoarjo berangkat ke Surabaya untuk bekerja, maka jarak tempuhnya bisa satu jam lebih 15 menit, bahkan lebih. Maka, demi bisa mengantar anak, saya pun berangkat ke kantor pagi sekali, pukul 05.15 WIB. Sampai di kantor sekira pukul 06.00 WIB. Absen. Lantas kembali pulang. Berkejaran dengan waktu karena harus segera mengantar anak sekolah yang masuk pukul 07.30 WIB.  

Namun, perjuangan berangkat ngantor pada pagi buta, menempuh perjalanan Sidoarjo-Surabaya lebih dari 50 kilometer plus sesaknya jalanan oleh kendaraan di hari Senin, seolah lenyap begitu melihat kedua anak saya tiba di sekolahnya.

Gaizan (dua dari belakang) 'lambat panas' di sekolah nya/foto pribadi
Gaizan (dua dari belakang) 'lambat panas' di sekolah nya/foto pribadi
Si kakak Gaoqi yang memang anaknya mudah bergaul, langsung membaur dengan teman-teman baru dan guru barunya. Sementara adik Gaizan yang “lambat panas”, masih merengek ingin mencoba aneka permainan. Baru sekira 30 menit kemudian, Gaizan sudah tidak canggung untuk mengikuti arahan guru barunya. Dari mulai baris-berbaris, menyanyi, hingga makan bersama.

Gaoqi dan Gaizan dan bu guru Ani ketika sesi istirahat/foto pribadi
Gaoqi dan Gaizan dan bu guru Ani ketika sesi istirahat/foto pribadi
Bersama istri, saya menunggui mereka hingga jam pulang. Yakni pukul 09.30 WIB. Selama itu, sembari melihat anak saya bermain dan belajar, saya bisa mengobrol dengan beberapa guru dan mendengarkan penjelasan mereka perihal “visi-misi” sekolah bernama TK Batik yang merupakan sekolah TK percontohan di Sidoarjo. Saya juga bisa berkeliling melihat-lihat kondisi sekolahnya. Dari kelas nya hingga tempat mainan.    

Dan, dari pengamatan saya, sebagian besar orang tua yang mengantar anak nya di hari pertama sekolah di TK Batik itu adalah para ibu. Hanya ada tiga orang ayah. Salah satunya saya. Dari situ, saya berkesimpulan bahwa memang tidak mudah bagi seorang ayah yang rata-rata berangkat kerja setiap pagi, untuk mengantar anak nya ke sekolah.

TK Batik,
TK Batik,
Dari situ, saya jadi teringat dengan Pak Pichung, pak direktur rumah sakit yang punya kemauan besar untuk selalu mengantar anak nya ke sekolah itu. Ternyata memang tidak mudah untuk bisa mengantar anak ke sekolah. Apalagi rutin setiap hari. Tetapi, selama ada kemauan, hal yang tidak mudah itu jadi terasa mudah dan menyenangkan. Karena, ada ‘bonus hadiah’ yang bisa didapat orang tua ketika mengantar anak nya ke sekolah.

Bonus berupa kedekatan dengan anak. Juga, kegembiraan melihat anak memulai fase belajar di “rumah keduanya”. Serta, menggugah rasa memiliki dan tanggung jawab untuk semakin ikut terlibat dalam mendidik anak. Itulah pesan penting dari gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah. Semoga kita bisa merawat “pesan penting” dari gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah. Salam. (*)  

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun