Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Portugal Juara Bukan Karena Beruntung atau Mitos, tapi....

11 Juli 2016   14:06 Diperbarui: 11 Juli 2016   14:18 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ricardo Quaresma jatuh bangun di final/uefa.com

Portugal tipikal tim pekerja keras lagi cerdas? Ya. Mari kita bicara data.

Dalam statistik UEFA yang mereview Piala Eropa 2016, Portugal bukanlah tim dengan possession bola memikat seperti Jerman (63 persen) dan Spanyol (61 persen). Mereka juga bukan tim yang suka memainkan umpan-umpan pendek nan akurat seperti Spanyol (91 persen/2340 umpan akurat dari 2562 umpan) atau Prancis (88 persen/3112) umpan 3519.

Tapi, untuk urusan mengancam gawang lawan (total attempts), Portugal lebih hebat dari Jerman, Spanyol dan Inggris. Portugal mencatat 121 attempts dengan 39 on target dan 49 off target dan 33 peluang di blok kiper lawan. Jumlah itu hanya kalah dari Prancis (121 attempts: 43 on target, 42 off target dan 36 diblok). Banyaknya peluang yang dihasilkan itu jadi bukti kerja keras dan kecerdasan pemain-pemain Portugal dalam menghasilkan peluang.

Dan kerja keras Portugal itu bahkan terlihat nyata di final tadi. Ketika Cristiano Ronaldo cedera dan ditarik keluar, rasanya mudah untuk menvonis Portugal sudah habis. Rasanya mudah mengatakan, hanya tinggal menunggu waktu untuk melihat Prancis yang jadi juara. Karena memang, Prancis terus menyerang. Karena memang, tidak mudah untuk menggantikan peran pemain sepenting Ronaldo. Dan memang, di tim Portugal, tidak ada pemain dengan kualitas sehebat Ronaldo. Ketika Ronaldo out, maka tugas bek-bek Prancis pun jadi lebih ringan.

Ricardo Quaresma jatuh bangun di final/uefa.com
Ricardo Quaresma jatuh bangun di final/uefa.com
Dan itu disadari Pelatih Portugal, Fernando Santos. Maka, Santos tidak memaksa Ricardo Quaresma yang mengganti Ronaldo, untuk bermain seperti sang kapten. Dia memilih mengubah sistem dan cara bermain timnya. Portugal yang sebelumnya main dengan skema 4-1-3-2 lantas bermain dengan skema main yang begitu cair. Sebelum Eder masuk di menit ke-79, Portugal terkadang terlihat tak punya striker karena menumpuk pemain di lini tengah. Tetapi, kelebihannya, aliran bola tidak hanya tertuju pada satu orang.

Maka, jadilah Portugal tim yang kokoh bak karang sehingga membuat pemain-pemain Prancis yang selama fase knock out selalu bisa bikin gol, kali ini frustrasi. Apalagi, penampilan kiper Portugal, Rui Patricio memang luar biasa. Portugal juga menjelma menjadi tim yang sulit diprediksi ketika menyerang karena gelandang mereka seperti Adrien Silva, Joao Mario, Renato Sanches dan Nani, mendadak bisa mengejutkan bek-bek Prancis lewat serangan balik cepat. Dan, sepakan keras Eder yang mengejutkan kiper Prancis, Hugo Lloris di menit 109, adalah puncak dari kemisteriusan Portugal di final tadi.

2390534-w2-578344f717937310073d327d.jpg
2390534-w2-578344f717937310073d327d.jpg
Menyukai Pertahanan Sejak Kualifikasi

Dan bila kita tengok penampilan Portugal di kualifikasi, permainan di final tersebut sejatinya tidak mengejutkan. Portugal yang sekarang memang beda dengan yang tampil di Piala Dunia 2014. Dulu, di era kepelatihan Paulo Bento, Portugal acapkali terlihat sebagai tim yang ringkih. Pertahanan Portugal mudah ditembus. Dari tiga laga di fase grup Piala Dunia 2014, gawang Portugal jebol tujuh kali.

Di era Fernando Santos, Portugal terlihat sangat kuat di pertahanan. Portugal telah berubah gaya. Dari tim yang mengandalkan permainan atraktif kini, menjadi tim yang bermain sangat pragmatis. Portugal bukan lagi tim yang pernah disebut sebagai “Brasil nya Eropa”. Tetapi, lebih terlihat sebagai tim mendewakan efektivitas. Tengok, dari tujuh kemenangan di kualifikasi, semuanya diraih dengan skor selisih satu gol, 1-0 (empat laga), 2-1 (dua laga) dan 2-3 (satu laga). Dari tujuh kemenangan, empat diantaranya diraih dengan cleen sheet alias tanpa kebobolan.

Fernando Santos, pengubah gaya Portugal/uefa.com
Fernando Santos, pengubah gaya Portugal/uefa.com
Jadi, sukses Portugal bukan sekadar karena keberuntungan dan mitos. Tetapi karena memang gaya bermain yang efektif. Memang, permainan seperti itu acapkali membosakan. Sampai-sampai, legenda Portugal, Luis Figo yang nonton langsung laga final, tertangkap kamera sedang menguap. Mungkin Figo juga bosan. Tetapi, pada akhirnya, Figo mengakui, Portugal sekarang bahkan lebih hebat dari Portugal di era nya yang meski diperkuat generasi emas, tetapi paling bagus hanya sampai final. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun