Dua tahun lalu, saya serasa menyaksikan laga final Liga Champios 2014 di Lisbon secara dekat. Tatkala wajah-wajah sayu pendukung Real Madrid terlihat jelas di depan mata. Kala itu, pertandingan sudah menunjukkan menit ke-90. Dan, Atletico Madrid masih unggul 1-0. Dengan jersey serba putih, mereka memang terlihat mendominasi dibanding fans Atletico yang bisa dihitung dengan jari dari tampilan kostum nya.
Jarum jam hampir menunjuk pukul 03.30 WIB. Tugas saya sebagai komentator laga final itu pun sudah berakhir. Tinggal bersiap-siap pulang. Honor juga sudah di kantong. Apalagi, hujan yang sempat membuat suasana Nobar di sebuah cafe di Surabaya Timur jadi lebih romantis, sudah kelar.
Namun, semenit kemudian, wajah-wajah sayu pendukung Real Madrid itu mendadak berubah jadi sorak kegirangan. Ketika sundulan Sergio Ramos menjebol gawang Atletico yang dikawal Thibaut Courtois. Skor pun sama 1-1. Dan, laga pun dilanjutkan perpanjangan waktu.
Saya hanya bisa tersenyum kecut. Batal pulang. Tetapi juga girang karena laga final makin seru di babak perpanjangan waktu. Saya pun terngiang pengalaman sebelumnya. Jangan-jangan terjadi adu penalti. Dan itu berarti “mimpi buruk” bagi saya ketika jadi komentator. Dua tahun sebelumnya, ketika jadi komentator final Liga Champions 2012 antara Chelsea melawan Bayern Munchen, laga juga berakhir adu penalti. Dan, saya pun sampai rumah tepat pukul 05.30 WIB dari seharusnya satu jam lebih cepat.
Namun, bayangan adu penalti itu seketika sirna. Ketika sepakan Marcelo, disusul sundulan Gareth Bale dan penalti Cristiano Ronaldo, bergantian menjebol gawang Atletico. Persedian “bensin” pemain-pemain Atletico sepertinya sudah habis. Madrid pun merayakan gelar Liga Champions ke-10 mereka. La Decima.
Dan, siapa sangka, dua tahun kemudian, laga final di Lisbon itu kembali terulang. Kali ini di Milano. Final yang tidak disangka-sangka. Utamanya kehadiran Atletico Madrid. Ketika di babak 16 besar, Atletico menyingkirkan PSV Eindhoven lewat adu penalti 8-7, saya yakin, sedikit saja yang merasa Atletico bakal bisa ke final.
Apalagi ketika Atletico harus berhadapan dengan sang juara bertahan Barcelona di perempat final. Memang, dua tahun sebelumnya, Atletico berhasil mendepak Barca dengan agregat 1-0 di perempat final. Tetapi, Barca tahun ini dianggap jauh lebih kuat dengan trio Messi-Neymar-Suarez. Yang terjadi, pelatih Atletico, Diego Simeone seolah tahu cara menyingkirkan Barca. Dan, Atletico pun lolos dengan agregat 3-2.
Toh, keberhasilan menyingkirkan Barcelona itu tidak lantas membuat Atletico dijagokan lolos ke final. Sebab, mereka bertemu favorit juara, Bayern Munchen yang dilatih si jenius Pep Guardiola. Ketika Atletico menang 1-0 pada leg pertama di Vicente Calderon, masih banyak yang tak yakin Atletico bisa ke final. Sebab, Bayern punya catatan sering menang besar di markasnya. Barulah kita benar-benar percaya Atletico bisa ke final ketika mencetak satu gol tandang dan memaksaka agregat sama 2-2. Lalu, bagaimana peluang Atletico di final kali ini?
Well, bicara pengalaman tampil di final, Atletico jelas tidak ada apa-apanya dengan Real Madrid. Ini final ke-14 Real Madrid dengan 10 kali berhasil dimenangi. Atletico? Dua kali tampil di final, mereka selalu kalah. Bicara pemain bintang, Real Madrid juga dipenuhi bintang. Sementara Atletico hanya berisikan satu dua pemain bintang. Selebihnya “pemain-pemain biasa”. Koran Spanyol, Marca menulis kalimat begini “markas kedua tim terpisah jarak 10 mil tetapi di Liga Champions, keduanya terpisah jarak 10 piala”.
“Kami telah menghadapi dua dari tiga tim terbaik di dunia. Dan sekarang kami akan melawan tim yang ketiga di final,” seru Diego Simeone di uefa.com.
Dibanding final 2014 lalu, kali ini ada cukup banyak orang yang percaya, Atletico bisa mengalahkan Real Madrid. Termasuk pelatih yang memberikan gelar La Decima untuk Madrid, Carlo Ancelotti. Apalagi, Simeone juga pernah mengalahkan Real Madrid era Zinedine Zidane, 1-0 di Santiago Berbaneu pada Februari lalu. Jadi, adakah kisah balas dendam bagi Atletico di final kali ini ?
Simeone menyebut tidak ada istilah balas dendam di sepak bola ataupun dalam kehidupan. Baginya, yang ada hanyalah kesempatan baru. “Revenge (balas dendam) itu kata negtif. Sementara opportunity (kesempatan) itu mengandung optimisme, percaya diri dan menjemput apa yang akan terjadi. Itu yang ingin kami perlihatkan di final Liga Champions nanti,” sambung Simeone.
Jadi, kali ini giliran Atletico Madrid yang juara? Bisa jadi. Kalau saya jadi komentator lagi, boleh jadi “mimpi buruk” saya berlanjut. Bahwa, ada kemungkinan laga bakal berakhir adu penalti ataupun perpanjangan waktu. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H