[caption caption="tampil bersama mantan pelatih Persebaya, Freddy Muli "][/caption]“Tidak bisa ya, kalau Sabtu malam itu tidak menonton tayangan sepak bola?,” ujar istri saya suatu ketika.
Dia protes karena ketika malam minggu, seringkali televisi di ruang tamu kami ‘berwarna hijau’. Istri saya memang bukan penyuka bola. Dia lebih suka nonton acara talk show atau laporan dokumenter. Tapi, karena tiap sabtu malam acara di TV jarang ada yang bagus, jadilah nonton bola itu sebagai bentuk kepasrahannya. “Mau bagaimana lagi, memang dapat suami suka bola,” imbuh dia.
Tentang kegilaan pada sepak bola ini, pernah ada teman yang menanggapi sinis. “Apa sih nikmatnya nonton bola, lha wong cuma 22 orang berlarian berebut bola dan ketika bola sudah didapat eh malah ditendang jauh-jauh,” ujarnya.
Tentu ada alasan kenapa sepak bola begitu digilai. Di negeri ini, meski kompetisi bola nya sedang libur panjang, tetapi setiap weekend, di café-café, di poskamling kampung-kampung dan di warung kopi, orang bejubel nongkrong untuk nonton bareng Liga Inggris atau Liga Spanyol yang tayang gratis di stasiun televisi.
Jangan bicara tentang aspek proximity (kedekatan) lha wong mereka ketemu pemain nya saja tidak pernah, apalagi punya hubungan famili. Jangan ngomong soal fanatisme daerah karena mereka tidak ada yang lahir di Manchester, London, Madrid, Milan, atau Barcelona. Tanpa perlu penjelasan berbuih, mereka merasa punya ikatan emosional dengan klub idola. Bagi mereka, sepak bola sudah bukan cuma olahraga, tapi penyaluran kesenangan sehingga mau bela-belain begadang hingga shubuh. Klub-klub Eropa itu sudah jadi representasi kebanggaan. Anda juga begitu?
Saya lupa mulai kapan suka bola. Kalau main bola plastik bareng teman-teman di lapangan kecil yang gawangnya ditandai batu bata atau sandal jepit, itu sudah sejak bocah ingusan. Kalau suka bola dalam artian tertarik dan ingin tahu perkembangan informasi sepak bola dari belahan negeri manapun, mungkin mulai kelas II SD tahun 1989. Kala itu, baca berita bola di koran-koran bekas yang dibeli nenek di pasar untuk bungkus jualan sayur dan ikan, bikin ketagihan. Dan mulai Piala Dunia 1990, kegilaan saya pada bola, kian menjadi-jadi. Hingga sekarang.
Bedanya, bila dulu sekadar suka. Fanatik pada satu tim. Uring-uringan bila tim kesayangan kalah lantas diledek teman. Seiring waktu--tepatnya seiring bertambahnya usia--saya jadi lebih kalem melihat bola. Fanatisme itu mulai terkikis. Menganggap kalah menang itu hal biasa. Saya juga jadi lebih kritis serta tahu teknis dalam menyikapi hasil pertandingan bola. Tapi yah, sebatas hobi. Itu saja.
Kesukaan pada bola inilah yang kemudian mengantarkan saya menjadi wartawan pada April 2005 lalu dan mundur delapan tahun kemudian. Lantas, saya jadi tahu kalau suka sepak bola, tahu informasi bola, melek hal-hal teknis di bola, ternyata bisa jadi sumber penghasilan. Karenanya saya lantas memperlakukan sepak bola bukan sekadar hobi, tetapi juga sebagai ladang penghasilan. Karena ternyata ada cukup banyak peluang dan kesempatan mendapatkan penghasilan yang bisa diambil dari bola. Apa saja?
Jadi Komentator Nonton Bareng
Siapa yang tidak mau, ngomongin bola lalu dibayar. Bayarannya lumayan pula. Kenikmatan itulah yang saya rasakan ketika diundang jadi komentator bola. Pengalaman itu kali pertama saya rasakan ketika diundang jadi komentor acara nonton bareng (Nobar) final Liga Champions 2012 antara Bayern Munchen melawan Chelsea di sebuah hotel terkenal di Surabaya.
Awalnya, rada gugup ketika menjawab pertanyaan host di depan ratusan penonton. Namun, lama-kelamaan, saya mulai nyaman sembari sesekali melempar celetukan guyonan. Hasilnya lumayan. Tidak rugi meninggalkan anak istri semalam karena ada imbalan yang bisa dibawa pulang.
Sejak itu, cukup sering undangan jadi komentator acara Nobar bola datang ke saya. Termasuk pas final Piala Dunia 2014 lalu. Menariknya, seringkali ketika saya jadi komentator, pertandingannya berujung perpanjangan waktu. Imbasnya, saya pun mesti menunggu hingga laga kelar. Risikonya, ketika perjalanan pulang ke rumah, sungguh susah menahan kantuk di jalan.
Komentator di Televisi.
Pengalaman jadi komentator Nobar bola tersebut rupanya membuka peluang untuk saya. Usai Piala Dunia 2014 lalu, ada stasiun televisi lokal mengajak saya jadi komentator di sebuah acara akhir pekan. Undangan itu membuat wajah saya beberapa kali nongol di televisi. Para tetangga dan kawan sampai menyebut saya artis hehehe.
Tentu saja, jadi komentator di televisi dan Nobar sangat beda. Di televisi yang ditayangkan langsung, karena durasinya lebih pendek, saya harus patuh pada semua prosedur. Termasuk bicara langsung pada inti persoalan sebab durasi menjawab tiap pertanyaan tak lebih dari dua menit. Tentunya saya harus siap bekal informasi up date, data dan pengetahuan untuk bisa menjawab segala pertanyaan.
Stasiun televisi lokal ini juga punya acara talk show mingguan (semacam acara Indonesian Lawyer Club di TV One) yang membahas isu-isu aktual. Bila kebetulan yang dibahas sepak bola, yang diundang para “pemilik bola” seperti pemilik klub, pemain legenda, suporter dan pengamat. Pada porsi terakhir itulah saya acapkali diundang untuk tampil. Yang diomongin bukan lagi bola luar negeri, tetapi “masalah serius dan sensitif” persepak bolaan nasional.
Kesempatan lebih besar kemudian menyapa saya ketika diundang salah satu stasiun televisi nasional biro Jawa Timur, untuk jadi bintang tamu acara talk show. Talk show ini membahas isu-isu yang lagi tren dan jadi perbincangan publik. Lagi-lagi, saya diundang ketika tema yang diangkat adalah sepak bola. Saya ingat, waktu itu tema yang dibahas adalah prospek timnas di SEA Games 2015 dan juga kasus suap di sepak bola.
[caption caption="bicara bola bareng wartawan senior dan praktisi hukum"]
Menulis Buku Bola
Kok bisa saya tau-tau jadi komentator bola di acara Nobar bahkan di televisi? Semuanya tidak lepas dari menulis. Ya, menulis inilah yang menjadi sarana ‘branding’ saya. Karena suka menulis bola (termasuk di Kompasiana), saya kemudian berpikir untuk menulis buku bola. Ada banyak hal yang bisa ditulis dari bola. Mulai ulasan sisi teknik, science hingga mitos. Namun, saya suka menulis drama yang tersirat dari sepak bola.
Bagi saya, sepak bola bukan sebatas tontonan. Ia bukan hanya soal menang kalah. Lebih dari itu, ia membungkus semua kisah kehidupan. Benarlah apa yang dikatakan budayawan Sindhunata bahwa sepak bola itu miniatur kehidupan karena apa-apa yang dialami manusia, juga terjadi di sepak bola. Di lapangan, perasaan gembira, gelisah, marah, sedih dan frustrasi, semuanya bercampur jadi satu. Kita bisa tahu betapa tipisnya perbedaan antara sanjungan dan cacian.
Eks striker Timnas Inggris, Gary Lineker pernah menyebut sepak bola itu contoh nyata kehidupan terkadang di atas dan sebentar saja ia sudah di bawah. “Football is the glorious example of the ups and down of life,” ujarnya.
Ada banyak inspirasi sunyi dari sepak bola. Sunyi karena tidak semua orang bisa melihat dan menangkap inspirasi itu. Kesunyian inspirasi bola itulah yang coba saya tangkap untuk ditulis menjadi buku. Sejak lama, saya memimpikan ingin menulis buku esai sepak bola. Keinginan itu muncul ketika membaca buku trilogi esai sepak bola nya Sindhunata atau juga Arief Natakusumah--wartawan senior BOLA.
Maka, jadilah buku esai sepak bola pertama saya. Judulnya “Robot Sepak Bola” yang terbit pada 2013 lalu. Setahun kemudian, menyambut Piala Dunia 2014, lahir buku kedua “Yang Terlupa dari Piala Dunia” menyoroti sisi-sisi humanis sepak bola yang terlupakan dari Piala Dunia. Kini tengah menyiapkan naskah buku "esai Piala Eropa 2016" yang kembali mengulas 'inspirasi sunyi' dari turnamen bola yang dianggap Piala Dunia mini" ini.
[caption caption="dua buku drama sepak bola: Robot Sepak Bola dan Yang Terlupa dari Piala Dunia "]
Dan sebagai penulis pemula, tentu saja tidak mungkin buku saya diterbitkan penerbit besar (major label) dan dipajang di rak-rak di toko buku. Saya menerbitkan sendiri buku itu (indie label). Lantas menjualnya sendiri ke kenalan-kenalan melalui promo di BlackBerry Messenger dan Facebook. Meski secara hasil, dapatnya nggak banyak, tetapi ada kepuasan tak ternilai. Dan kabar baiknya, buku itulah yang kemudian menjadi pintu pembuka untuk mendapatkan kesempatan lainnya. Semuanya berawal dari kesukaan pada sepak bola. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H