Mohon tunggu...
Habib YudhaPratama
Habib YudhaPratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Seorang mahasiswa ilmu politik yang tertarik pada pemerintahan, lingkungan, kependudukan, dan seni. Berpengalaman dalam melakukan analisis media, direktur kreatif, dan manajemen proyek. Saat ini merintis media kreatif berbasis visual bersama @oordinat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Electoral Reengineering: Institusionalisasi Partai Politik dan Mix-Electoral System dalam Pemilihan Legislatif di Indonesia

27 April 2023   20:43 Diperbarui: 27 April 2023   20:47 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia dalam sejarahnya sudah dan akan menjalankan pemilihan serentak, terhitung 2 kali, pemilihan serentak 2019 dan 2024 mendatang. Latar belakang dilaksanakannya pemilihan serentak didasari pada penguatan sistem presidensial di tengah sistem multipartai. 

Mahkamah Konstitusi merekonstruksi penyelenggaraan pemilihan umum dalam pelaksanaan serentak, pemilihan eksekutif dan pemilihan legislatif dijalankan bersamaan, dengan disebutkan tiga tujuan : efektivitas sistem presidensial, koalisi yang bersifat strategis atau ideologis, dan relasi yang kuat antara eksekutif dan legislatif. Disisi lain, upaya penyelenggaraan pemilu serentak turut dibersamai dengan tujuan menyederhanakan sistem kepartaian.

Kendati dengan alasan menguatnya legitimasi presiden terhadap kedaulatan masyarakat dibandingkan semakin kuatnya esensi tugas pokok dan fungsi legislatif terhadap fungsi pengawasan kepada eksekutif juga penyederhanaan partai politik, sistem ini gagal jika dilihat dari studi kasus pemilihan 2019 yang mana partai politik yang lolos parliamentary threshold pun bertambah.

Presidential threshold terbilang gagal menyederhanakan partai dengan harapan koalisi yang terbentuk antar partai di dalamnya memiliki kesamaan ideologi dan program kerja sehingga terbilang menjadi koalisi permanen. Kegagalan ini berdampak terhadap parliamentary threshold yang juga gagal mendukung presidential threshold untuk dikonstruksi dalam mendukung penyederhanaan partai. Sistem pemilu di Indonesia yang berkorelasi langsung dengan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian masih memiliki beban dan tanggungjawab yang besar dalam terjadinya hambatan pada tiga tujuan rekonstruksi.

Jaminan sistem pemilihan proporsional dalam implementasi selama dua dekade di Indonesia masih terus mendorong konstruksi penyederhanaan sistem kepartaian. Jaminan menguatnya sistem presidensial serta pemurnian sistem multipartai ekstrem mendorong pertanyaan apakah perlu ada design baru untuk sistem pemilihan legislatif. 

Benoit (2007) menyebutkan aktor serta latar belakang konteks berkorelasi dengan sistem pemilu. Aktor diidentifikasikan sebagai partai politik, aktor eksternal serta masyarakat. Terkait konteks, Benoit cukup menjelaskan pengaruh terhadap pilihan, antara lain faktor ekonomi dan perubahan.  Sistem multipartai adalah keharusan bagi Indonesia yang notabene negara multikultural. Namun, dengan adanya puluhan partai atau multipartai ekstrem merobohkan kekuatan pemerintahan.

Sistem Proporsional dalam Pemilihan Legislatif Indonesia

Menilik kembali apakah sistem pemilihan legislatif sekarang valid untuk ditinjau efektivitasnya, beragam sudut pandang sistem pemilihan legislatif dari berbagai negara cukup memberikan referensi. Apakah terjadinya sebuah peralihan sistem proporsional terbuka menuju sistem  proporsional tertutup, sistem distrik, maupun campuran ditengah-tengah multiparty system, perpaduan pemerintahan presidensial dan multiparty system mampu mengatasi permasalahan pemerintahan. Pasal 6A (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 

Serta ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Kedua pasal ini memantapkan bahwa Indonesia menganut penuh sistem multipartai. 

Perlu ada electoral reengineering terkait mengatasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan, salah satu solusinya adalah mengganti sistem pemilihan legislatif. Perlu banyak pertimbangan dalam mendesain ulang sistem pemilu. Menurut Taagepera (1998), terdapat 4 pertimbangan, yaitu: (1) membuat regulasi pemilu yang sederhana; (2) membaca referensi pemilihan di negara lain; (3) sistem pemilu mampu diselenggarakan dalam tiga kali penyelenggaraan; dan (4) mempertimbangkan perubahan-perubahan yang bersifat inkremental. 

Mengacu pada sistem pemilihan proporsional terbuka yang digunakan dalam pemilihan legislatif, mengingat saran dari Taagepera (1998), pemilihan yang terjadi sekarang memiliki regulasi yang kompleks, bertolak belakang dengan tiga tujuan Mahkamah Konstitusi, serta selalu berputar pada perubahan inkremental sehingga menjadi regresif. 

Mix-Electoral System Menjadi Pilihan Objektif

Perlu ada dekonstruksi dalam sistem pemilu Indonesia dalam obsesi pemilihan 2024 dalam diberlakukannya pemilihan serentak. Pengkajian relevansi parliamentary dan presidential threshold tidak signifikan menuju ke arah demokratis (Indrawan & Aji, 2019). Pengkajian ulang partai politik sebagai pemain elektoral dalam menunjang kedaulatan rakyat atau lebih parahnya kedaulatan partai atau pemilik kepentingan memerlukan pengurasian atau koalisi. 

Menilik referensi negara Italia dalam penerapan sistem pemilu campuran : memilih sebagian peserta dengan sistem mayoritas beranggota tunggal dan sebagian lagi menggunakan sistem proporsional (beranggota banyak). Di setiap daerah pemilihan, hanya satu wakil yang dipilih untuk parlemen dan setiap partai atau koalisi partai hanya mencalonkan satu orang pilihannya. Mempertimbangkan sistem proporsional, di setiap wilayah dibagi menjadi daerah pemilihan "beranggota banyak". Di setiap daerah pemilihan ini lebih dari satu perwakilan dipilih bergantung pada jumlah populasi daerah pemilihan yang dipertimbangkan dengan beberapa pengecualian. 

Di setiap daerah pemilihan proporsional, kedua daftar tunggal dapat disajikan, terdiri dari satu partai yang tidak berkoalisi ataupun berkoalisi, yang menampilkan daftar calon sebanyak jumlah partai yang menyusunnya. Setiap daftar harus berisi paling banyak dua hingga empat kandidat atau pengaturan sesuai jumlah penduduk. Kursi yang diberikan kepada partai sebanding dengan suara yang diterima. Pemilih tidak mengungkapkan preferensi kandidat, tetapi dengan memilih partai, mereka berpotensi menyetujui daftar kandidat secara massal. 

Yang terakhir dipilih berdasarkan urutan penyajiannya. Jika daftar X memperoleh dua kursi, dua calon pertama dalam daftar tersebut akan masuk ke parlemen. Kesimpulannya, sebagian X% anggota parlemen dipilih dengan sistem mayoritas anggota tunggal, dan sebanyak Y% pula dengan sistem proporsional.

Di tempat pemungutan suara, setiap warga negara akan memilih dengan memberikan satu suara untuk parlemen. Dalam sistem proporsional juga diberlakukan parliamentary threshold, yaitu persentase minimum suara yang harus dicapai oleh partai dan koalisi di tingkat nasional agar calonnya dapat masuk parlemen.

Peralihan sistem pemilu campuran membuahkan rekonstruksi aktor, partai politik, secara masif dalam perannya terkait tiga daftar kriteria baik dalam efektivitas presidensial dengan koalisi yang strategis dan ideologis sehingga berdampak pada penguatan relasi antara eksekutif dan legislatif. Terbentuknya dua pemilihan menimbang adanya kedaulatan rakyat yang langsung bersinggungan dengan pemilihan mayoritas dengan jaminan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan partai. 

Rekomendasi dari penulis melihat institusional partai politik sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia dengan didukung regulasi dan masyarakat sipil, atau legal-formal. Sudah menjadi klaim bahwa pragmatisme koalisi partai, ideologi partai yang tidak lagi substantif, pejabat (eksekutif dan parlemen) yang dalam kendali partai, kedaulatan ada ditangan partai, dan dinamika multi partai yang ekstrimis, menjadi citra buruk sistem pemilu Indonesia.

Menilik kembali pada sejarah demokrasi menafikan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dalam format akhir, kendali ditentukan oleh mayoritas sebagai pihak pemenang dan minoritas sebagai pihak yang kalah. Esensi demokrasi perlu direformasi terhadap berkembangnya masyarakat deliberatif. 

Bukan berarti konsep "suara" mayoritas dan minoritas (vertikal), dalam hal ini diperoleh pertimbangan terhadap kesetaraan kedaulatan antara mayoritas dan minoritas sebagai sebuah konsep pemerintah (afirmatif) dan oposisi. Hal ini dapat didapatkan juga proses deliberasi mampu mendekatkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan tertinggi dalam proses deliberasi.

References

Benoit, Kenneth. 2007. "Electoral Laws as Political Consequences: Explaining the Origins and Change of Electoral Institutions." Annual Review of Political Science. Vol. 10

Fonzo, E., & Moccia, A. (2022, September 8). Come funziona il sistema elettorale italiano e chi eleggiamo quando andiamo a votare. Geopop. Retrieved April 27, 2023, from https://www.geopop.it/video/come-funziona-il-sistema-elettorale-italiano-e-chi-eleggiamo-quando-andiamo-a-votare/

Indrawan, J., & Aji, M. P. (2019, Desember). Penyederhanaan Partai Politik Melalui Parliamentary Threshold: Pelanggaran Sistematis Terhadap Kedaulatan Rakyat. Jurnal Penelitian Politik, 16(2), 155. 10.14203/jpp.v16i2.802

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun