Mix-Electoral System Menjadi Pilihan Objektif
Perlu ada dekonstruksi dalam sistem pemilu Indonesia dalam obsesi pemilihan 2024 dalam diberlakukannya pemilihan serentak. Pengkajian relevansi parliamentary dan presidential threshold tidak signifikan menuju ke arah demokratis (Indrawan & Aji, 2019). Pengkajian ulang partai politik sebagai pemain elektoral dalam menunjang kedaulatan rakyat atau lebih parahnya kedaulatan partai atau pemilik kepentingan memerlukan pengurasian atau koalisi.Â
Menilik referensi negara Italia dalam penerapan sistem pemilu campuran : memilih sebagian peserta dengan sistem mayoritas beranggota tunggal dan sebagian lagi menggunakan sistem proporsional (beranggota banyak). Di setiap daerah pemilihan, hanya satu wakil yang dipilih untuk parlemen dan setiap partai atau koalisi partai hanya mencalonkan satu orang pilihannya. Mempertimbangkan sistem proporsional, di setiap wilayah dibagi menjadi daerah pemilihan "beranggota banyak". Di setiap daerah pemilihan ini lebih dari satu perwakilan dipilih bergantung pada jumlah populasi daerah pemilihan yang dipertimbangkan dengan beberapa pengecualian.Â
Di setiap daerah pemilihan proporsional, kedua daftar tunggal dapat disajikan, terdiri dari satu partai yang tidak berkoalisi ataupun berkoalisi, yang menampilkan daftar calon sebanyak jumlah partai yang menyusunnya. Setiap daftar harus berisi paling banyak dua hingga empat kandidat atau pengaturan sesuai jumlah penduduk. Kursi yang diberikan kepada partai sebanding dengan suara yang diterima. Pemilih tidak mengungkapkan preferensi kandidat, tetapi dengan memilih partai, mereka berpotensi menyetujui daftar kandidat secara massal.Â
Yang terakhir dipilih berdasarkan urutan penyajiannya. Jika daftar X memperoleh dua kursi, dua calon pertama dalam daftar tersebut akan masuk ke parlemen. Kesimpulannya, sebagian X% anggota parlemen dipilih dengan sistem mayoritas anggota tunggal, dan sebanyak Y% pula dengan sistem proporsional.
Di tempat pemungutan suara, setiap warga negara akan memilih dengan memberikan satu suara untuk parlemen. Dalam sistem proporsional juga diberlakukan parliamentary threshold, yaitu persentase minimum suara yang harus dicapai oleh partai dan koalisi di tingkat nasional agar calonnya dapat masuk parlemen.
Peralihan sistem pemilu campuran membuahkan rekonstruksi aktor, partai politik, secara masif dalam perannya terkait tiga daftar kriteria baik dalam efektivitas presidensial dengan koalisi yang strategis dan ideologis sehingga berdampak pada penguatan relasi antara eksekutif dan legislatif. Terbentuknya dua pemilihan menimbang adanya kedaulatan rakyat yang langsung bersinggungan dengan pemilihan mayoritas dengan jaminan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan partai.Â
Rekomendasi dari penulis melihat institusional partai politik sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia dengan didukung regulasi dan masyarakat sipil, atau legal-formal. Sudah menjadi klaim bahwa pragmatisme koalisi partai, ideologi partai yang tidak lagi substantif, pejabat (eksekutif dan parlemen) yang dalam kendali partai, kedaulatan ada ditangan partai, dan dinamika multi partai yang ekstrimis, menjadi citra buruk sistem pemilu Indonesia.
Menilik kembali pada sejarah demokrasi menafikan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dalam format akhir, kendali ditentukan oleh mayoritas sebagai pihak pemenang dan minoritas sebagai pihak yang kalah. Esensi demokrasi perlu direformasi terhadap berkembangnya masyarakat deliberatif.Â
Bukan berarti konsep "suara" mayoritas dan minoritas (vertikal), dalam hal ini diperoleh pertimbangan terhadap kesetaraan kedaulatan antara mayoritas dan minoritas sebagai sebuah konsep pemerintah (afirmatif) dan oposisi. Hal ini dapat didapatkan juga proses deliberasi mampu mendekatkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan tertinggi dalam proses deliberasi.
References