Mayoritas masyarakat di nusantara percaya Tuhan tidak menciptakan manusia lalu membiarkannya. Dia menyempurnakan bentuk mereka, menentukan tugas mereka, dan menunjuki mereka suatu cara hidup untuk dapat mencapai tujuan-mereka.Â
Cara hidup inilah yang kemudian diturunkan olehnya, disebarkan oleh para utusannya, dikenali dan dipraktekkan oleh mereka yang menggunakan mata, telinga, akal dan hati yang dianugerahnya. Dan cara hidup ini pula yang pada akhirnya membedakan mereka dari hewan, mengajarkan mereka adab-adab dan mengangkat mereka ke derajat yang mulia.
Namun, setelah cara hidup itu sempurna, ada saja manusia yang berusaha mengembalikan mereka dari cara-cara hidup beradab yang dipimpin akal dan rasa malu kepada cara-cara hidup hewani yang dipimpin syahwat. Dari lurusnya akal pada liarnya nafsu. Dari hukum Tuhan kepada hukum rimba.
Satu diantara film-film yang manusia buat untuk mempromosikan cara hidup hewani itu boleh jadi adalah Zootopia.
Zootopia bercerita tentang seekor kelinci betina kecil polos yang bercita-cita menjadi polisi di sebuah kota dengan slogan where anyone can be anything, dimana siapapun bisa menjadi apapun. Kelinci yang lembut bisa jadi polisi, tikus yang kecil bisa jadi bos besar mafia, kukang yang lambat bisa jadi petugas administrasi, domba yang tampak jinak bisa jadi licik dan ganas. Slogan yang sederhana, mengena dan seolah tanpa cela.
Siapapun yang belum punya gambaran tentang suatu negeri yang sempurna (utopia) kemungkinan besar akan juga bercita-cita tinggal di tempat semacam zootopia dimana siapapun bisa menjadi apapun. Dan ketika orang-orang dengan satu cita ini gagal menemukan negeri semacam itu tentulah mereka akan berjuang mewujudkan apa yang mereka anggap benar di negeri mereka sendiri.Â
Mengapa pengaruhnya bisa demikian kuat? Karena film ini telah sangat berhasil mencitrakan bahwa seharusnya:
SETIAP ORANG DIBERI HAK PENUH UNTUK MEMILIH BAGI DIRINYA
Dalam film Zootopia, penonton disuguhkan gambaran betapa indah akhir kisah Judy Hopps dan Nick Wilde yang berhasil menjadi polisi berdedikasi dan dapat dipercaya. Hal ini tentu menginspirasi penonton untuk ikut bermimpi tinggal di dunia semacam itu dan akhirnya meyakini bahwa dunia seharusnya mengadopsi slogan anyone can be anything.
Salahkah keyakinan semacam ini? Salahkah jika kita meyakini bahwa seseorang berhak memilih apa yang hendak ia lakukan? Bukankah tiap orang memang berhak memutuskan akan seperti apa ia hendak menjadi? Tentu saja, asal ia menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Tanpa mengingatkan bahwa tiap orang akan ditanya tentang apa yang mereka pilih dan lakukan, sejatinya film ini sedang mengajarkan penontonnya paham kebebasan atau liberalisme (baik disengaja atau tidak).
Secara singkat, liberalisme adalah suatu paham dan pandangan hidup yang didasari keyakinan bahwa manusia seharusnya tidak tunduk pada siapapun kecuali pada kehendaknya sendiri (atau dalam bahasa agama: tunduk pada hawa nafsunya sendiri). Seorang yang percaya bahwa tunduk dan pasrah pada kehendak Zat Yang Maha Welas Asih, Maha Merajai, Maha Adil lagi Bijaksana adalah satu-satunya cara hidup selamat di dunia dan di akhirat tentulah akan menganggap film ini sebagai ancaman terhadap akidahnya.
Wajar sekali jika orang beriman beranggapan bahwa sekali saja diamini, keyakinan (bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya) itu akan membuka jalan bagi keburukan yang jauh lebih besar. Setan akan mudah sekali berbisik:
- Kita tidak bisa melarang perempuan mengambil jurusan hukum dan menjadi hakim, setiap orang bebas menjadi apa saja.
- Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memilih iblis sebagai sesembahan, setiap orang bebas menjadi apa saja.
- Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memilih hidup telanjang di jalan-jalan dan bersetubuh seperti binatang, setiap orang bebas menjadi apa saja.
Semua itu merupakan konsekuensi logis yang tak dapat dihindari mereka yang menerima keyakinan bahwa seharusnya anyone can be anything. Bahkan, bagi seorang muslim, keyakinan semacam itu jelas merupakan satu langkah dari langkah-langkah setan untuk menjauhkan manusia dari kalimat laa ilaha illa Allah yang merupakan kesaksian bahwa tiada yang memiliki otoritas untuk menentukan benar salah, baik buruk, patut tak patut, kecuali hanya Allah swt, pencipta, pemilik dan pemelihara seluruh alam.
Tidak cukup sampai di situ. Jika euforia hidup telanjang seperti binatang (yang diyakini evolusionis sebagai nenek moyang manusia) tidak cukup menggiurkan bagi penonton, film ini punya pesan lain yang lebih ringan diterima, ...
TAK PERLU MALU, SEMUA ORANG MELAKUKANNYA
Ketika film ini memberitahu kita bahwa Chief Bogo diam-diam juga menyukai aplikasi erotis memalukan sebagaimana Clawhauser, sebenarnya film ini sedang membujuk kita untuk membuang rasa malu yang menurut mereka tidak perlu. Mereka mengejek Chief Bogo yang berusaha mempertahankan kehormatannya walau di dalam ruangannya ia masih kalah oleh dorongan nafsunya. Mereka berdalih, "kalau semua orang menyukainya, untuk apa malu mengakuinya."
Sebagai bagian dari masyarakat yang membenarkan bahwa "malu adalah sebagian dari iman" saya pribadi tentu tidak dapat menerima dalih mereka. Rasa malu adalah fitrah yang dibawa manusia sejak lahir. Ia tidak datang dari konsensus yang sewaktu-waktu dapat berubah. Karena kemutlakannya itulah, (sebagaimana kita yakini bersama) umat-umat terdahulu dipesankan Nabi mereka, "jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu."
Jika kita terus membiarkan anak-anak kita menonton film semacam ini, tidak perlu menunggu lama hingga umat ini mengikuti jejak warga Zootopia. Mungkin tidak setiap dari mereka akan meniru jejak macan-macan tegap yang memilih jadi banci dan menari. Tapi besar kemungkinan mereka akan ramai-ramai datang ke konser si seksi Gazelle, bergoyang dan melakukan hal-hal tidak senonoh layaknya binatang.
Dan sebagai bentuk pertahanan dari umat yang dipandang paling radikal, dalam film ini juga ada pesan yang berkata ...
JANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA
Mereka berkata bahwa rubah yang kejujurannya sering dipandang sebelah mata bisa saja berhati mulia. Singa yang akhlaknya tidak terlihat mulia bisa saja sebenarnya tidak seburuk yang terlihat.
Tentu saja pesan ini ada benarnya dan akan menjadi pesan yang baik jika diterapkan secara benar. Tapi jika adanya pesan ini hanya mengakibat penonton  berburuk  sangka pada orang yang mereka anggap mirip Wakil Walikota Bellwether, maka pesan ini sama sekali bukan pesan yang baik.
Orang-orang yang menghabiskan hari-harinya dalam kubangan lumpur maksiat senang sekali mengulang-ulang bagian terbongkarnya kebusukan hati Bellwether, si domba yang tampak jinak. Pasalnya, mereka memang sejak dulu tidak suka dengan keberadaan orang-orang baik.Â
Adanya putih akan membuat abu-abu tampak gelap. Adanya orang yang benar-benar baik akan membuat kesalahan para pelaku maksiat tampak jelas sebagai kesalahan. Dan mereka mengira kesalahan mereka tidak akan terlihat jelas jika semua orang melakukan kesalahan yang sama. Itu sebabnya mereka sangat ingin mengenyahkan keberadaan orang-orang baik, persis seperti Cain (Qabil) yang ingin membunuh Abel (Habil).
Setelah melihat terbongkarnya kebusukan hati Bellwether, orang-orang munafik ini akhirnya dapat berjalan lebih tegak di hadapan teman-teman sekantornya yang dikenal baik. Itu karena sekarang mereka dapat berkata dalam hati, "kau mungkin bisa menipu yang lain tapi kau tak bisa menipuku. Aku tahu hatimu lebih busuk dari kelakuanku." Mereka punya pembenaran untuk terang-terangan bermaksiat sekarang.
Lebih jauh, setelah menonton film ini mereka akan berkata, "Kami masih jauh lebih baik dari mereka. Kami terang-terangan mengaku suka maksiat sedangkan mereka pura-pura tak suka."
Argumen mereka ini tidak sulit dipatahkan karena sebenarnya buku memang dinilai dari sampulnya. Jika buku tidak dinilai dari sampulnya, mengapa desain sampul buku disayembarakan? Mengapa calon karyawan berpakaian rapi saat dipanggil interview? Mengapa politikus mendadak tampak islami menjelang pemilihan? Tidak lain, jawabannya adalah karena kita memang menilai buku dari sampulnya sebelum mendapat kesempatan memeriksa isinya.
Di kalangan umat Islam pun terdapat sebuah kaidah bahwa: kita berhukum dengan yang zahir. Muslim diajarkan untuk memenuhi hak-hak mereka yang mengucapkan dua kalimat syahadat meskipun mereka tidak tahu apakah orang itu benar-benar beriman kepada Allah. Sejalan dengan itu, orang yang ditimpa persangkaan buruk teman-temannya karena tiap malam masuk ke tempat maksiat tidak layak menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri.
Karena itu berhentilah mencari pembenaran atas kemaksiatan-kemaksiatan itu dan tetaplah berbaik sangka pada saudara kita sebagaimanayang diajarkan agama dan orang tua kita.
Tentu saja film ini sangat menghibur. Siapa yang tidak tergelitik saat melihat seekor kukang melanggar batas kecepatan. Dan tentu kita tidak menafikan ada pesan-pesan positif yang ada dalam film ini (misalnya: buruknya pengaruh makanan atau minuman yang menghilangkan akal).Â
Hanya saja, terdapat sebuah kaidah: Menghindari kerusakan lebih utama dari mengambil kebaikan. Karena itu, cegahlah manusia menanggalkan satu-satunya pakaian yang membedakan mereka dari binatang! Ingatlah selalu bahwa malu adalah sebagian dari iman. Dan bahwa iman ini terlalu berharga untuk ditukar dengan sekadar hiburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H