Sejarah Konflik
Myanmar adalah sebuah negara yang memiliki populasi sekitar 57 Juta penduduk. Negara ini memiliki luas wilayah 252.321 mil persegi. Masyarakat Myanmar sendiri terbagi menjadi beberapa Kelompok Etnis dan Agama. Masyarakat memakai bahasa Birma sebagai bahasa resminya. Negara ini dulunya dijajah oleh Inggris dan memperoleh kemerdekaan pada Tahun 1948.Â
Â
Etnis Burma (Bamar) menjadi kelompok Etnis yang memiliki dominasi lebih besar di Myanmar, karena memiliki populasi sebesar (67 %) atau setengah dari populasi di Myanmar dihuni oleh Etnis tersebut. Dibanding dengan Kelompok Etnis lain seperti Shan (9 %), Karen (7 %), Rakhine (4 %), Chinese (3 %), Mon (2 %), Indian (2 %) dan Etnis lainya sebesar (5 %). Selain itu, Mayoritas penganut Agama di Myanmar terbagi diantaranya Budha (88%), Kristen (6%), Muslim (4%), Animisme (0,8%), Hindu (0,5%) dan lainya (0,2%).Â
Dengan banyaknya perbedaan Kelompok Etnis dan Agama yang dianut. Hal ini menjadi suatu fenomena yang memiliki nilai Keberagaman dalam mencerminkan kehidupan yang damai, jika setiap masyarakat yang berbeda-beda itu memiliki sikap yang menjunjung tinggi nilai perbedaan. Namun, banyaknya Kelompok Etnis dan penganut Agama yang berbeda-beda justru akan menimbulkan konflik setiap saat, jika masyarakat tidak mempunyai sikap toleransi yang tinggi akan perbedaan yang ada.
Sejak berabad-abad terkhusus saat Myanmar memperoleh identitas nasional setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Negara ini berjuang sangat keras untuk membentuk suatu pemerintahan yang efektif dalam masyarakat multietnisnya. Pada tahun 1962, angkatan bersenjata militer "Tatmadaw" sering kali mengambil alih kekuasaan pemerintah negaranya, sehingga angkatan bersenjata ini memiliki kuasa penuh dalam memegang kendali pemerintahan Myanmar. Dalam tindakanya, Tatmadaw sering kali merugikan kelompok etnis minoritas seperti Suku Rohingnya (Kelompok Muslim). Suku ini sangat teraniaya akibat dari perlakuan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya dan negaranya.[1] Mengutip Council on Foreign Relation, alasan kenapa suku Rohingnya tidak diberi hak untuk tinggal di Myanmar, karena mereka menganggap bahwa kelompok Rohingnya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh.Â
Pemerintah Myanmar tidak mengakui kelompok suku Rohingnya sebagai warga negara. Selain itu, kelompok mayoritas Budha atau MaBaTha dan gerakan anti muslim sering menyebarkan kebencian terhadap (Kelompok Muslim) Suku Rohingnya seperti ajakan untuk memboikot toko-toko milik masyarakat Muslim, ajakan untuk mengusir masyarakat Rohingnya dari Myanmar, dan lebih bahayanya mengajak untuk menyerang kelompok Muslim.
Pada juni dan oktober 2012, Suku Rohingnya kembali mengalami situasi kekerasan yang berefek pada bentrokan dan pembakaran rumah. Dalam kejadian ini menyebabkan ratusan orang tewas dan menyebabkan lebih dari 100 ribu suku Rohingnya mengungsi dengan kondisi kehidupanya yang tidak memperoleh fasilitas yang memadai untuk bisa bertahan hidup di Myanmar.
Pada agustus 2017, kelompok Suku Rohingnya membentuk sebuah kelompok militan yang disebut sebagai Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA). Kelompok ini melakukan serangan terhadap beberapa pos militer dan polisi. Sehingga kejadian ini menewaskan lebih dari 70 orang termasuk 12 orang dari petugas keamanan Myanmar. Sebagai balasan atas perilaku kelompok militan Suku Rohingnya, angkatan bersenjata militer Tatmadaw melakukan sebuah tindakan secara karas terhadap para penduduk desa kelompok suku Rohingnya, yang menyebabkan lebih dari 700 ribu masyarakat desa berbondong-bondong untuk melarikan diri keluar dari Myanmar. Dengan adanya peristiwa ini, PBB merespon dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata militer Myanmar merupakan tindakan "pembersihan etis" karena menyerang satu kelompok dengan tujuan menghilangkan mereka dari wilayah tersebut.
Pada februari 2021, militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan Myanmar. Selain itu, aksi kudeta militer dilakukan dengan menahan kepala negara "Aung San Suu Kyi" dan menyuruh anggota parlemen lainya untuk menyembunyikan diri dan tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan Myanmar. Sehingga peristiwa ini membuat aksi demo atau protes besar di setiap wilayah Myanmar, dengan tuntutan keinginanya untuk kembali ke dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Tetapi, tuntutan itu ditolak oleh militer dan ditanggapi dengan melakukan membubaran secara kekerasan terhadap aksi yang dilakukan oleh masyarakat. Peristiwa ini menyebabkan 100 orang tewas dalam satu hari.
Kudeta yang dilakukan oleh angkatan miiliter ini memperburuk situasi politik dan ekonomi masyarakat yang tinggal di Myanmar terkhusus kelompok minoritas seperti Rohingnya. Adanya pandemi COVID-19 memperparah kondisi kelompok minoritas, karena tidak ada dialog antara angkatan Militer dan Kelompok Minoritas. Hingga saat ini, status hak warga negara kelompok minoritas Rohingnya masih belum jelas diakui oleh pemerintah Myanmar. Mengutip laman United States Institute of Peace mencatat negara yang menerima pengungsi Rohingnya terbanyak adalah Bangladesh 1,1 juta orang, Pakistan 400 ribu orang, Arab Saudi 340 ribu orang, dan Malaysia 210 ribu orang.
Pelanggaran Hukum
Berdasarkan kasus yang disebabkan oleh perang saudara di Myanmar ini. Terdapat beberapa pelanggaran yang dapat di anilisis lebih mendalam mengenai penyalagunaan kewenangan dan kekuasaan yang di lakukan oleh angkatan bersenjata Tatmadaw Myanmar, diantaranya :
Pada tahun 1962, terjadi sebuah tindakan diskriminasi oleh Pemerintah, Militer dan Masyarakat Mayoritas terhadap Kelompok Minoritas Rohingnya. Dalam tindakan tersebut melanggar Konvensi Internasional Pasal 1 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi atau Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).
Pada juni dan oktober 2012, terjadi sebuah tindakan kekerasan terhadap masyarakat Rohingnya yang menyebabkan lebih dari 100 orang tewas dan lebih dari 100 ribu suku Rohingnya mengungsi. Dalam tindakan tersebut melanggar Konvensi Jenewa, Pasal 4 tentang Jaminan Fundamendal 1 (a). Â
Pada agustus 2017, terjadi sebuah tindakan kekerasan lagi terhadap warga sipil suku Rohingnya, sehingga menyebabkan korban 70 orang termasuk 12 orang dari petugas keamanan Myanmar tewas. Selain itu, terdapat 700 ribu masyarakat desa berbondong-bondong untuk melarikan diri keluar dari Myanmar. Dalam tindakan tersebut melanggar Konvensi Jenewa IV Pasal 147 tentang Penal sanction II. Grave breaches.
Pada februari 2021, terjadi sebuah tindakan aksi pengambilalihan kekuasaan oleh militer yang ditolak oleh masyarakat terutama mahasiswa. Dalam kejadian tersebut menyebabkan 100 orang tewas dalam aksi demonstrasi. Dalam tindakan tersebut melanggar Konvensi Jenewa Protokol Tambahan II (Pasal 13) tentang Protection of the civilian population.
KesimpulanÂ
Konflik non-internasional yang terjadi akibat dari kekerasan terhadap masyarakat suku minoritas Rohingnya ini terjadi hampir setiap tahun. Tetapi, negara Myanmar sendiri belum bisa keluar untuk menyelesaikan permasalahan ini. Beberapa tindakan kekerasan secara fisik dan verbal yang terjadi terhadap suku Rohingnya setelah Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Hingga, pada februari 2021 terjadi kudeta yang di lakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar. Situasi dan kondisi politik pemerintahan negara ini belum menemukan kesetabilan. Myanmar, sebagai salah satu negara yang tergabung dalam anggota PBB, memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, seperti larangan melakukan tindakan diskriminasi, melakukan perlindungan terhadap warga sipil, dan mematuhi aturan untuk menghapus kekerasan terhadap kelompok minoritas. Pengadilan internasional seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atau Mahkamah Internasional (ICJ) memiliki yurisdiksi untuk menuntut kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis. Tindakan militer Myanmar terhadap suku Rohingya dan masyarakat sipil lainnya melanggar berbagai prinsip hukum internasional. Oleh sebab itu, kejadian tersebut membutuhkan perhatian serius dari Negara, Organisasi dan masyarakat internasional untuk memastikan akuntabilitas dan perlindungan terhadap masyarakat minoritas di Myanmar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI