Mohon tunggu...
Habib Mufid Prasetyo Nugroho
Habib Mufid Prasetyo Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Saya Habib Mufid Prasetyo Nugroho. Saya Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelanggaran Hukum yang Diterima akibat dari Perang Saudara di Myanmar

11 Januari 2025   13:59 Diperbarui: 11 Januari 2025   16:45 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: BBC News, Indonesia )

Sejarah Konflik

Myanmar adalah sebuah negara yang memiliki populasi sekitar 57 Juta penduduk. Negara ini memiliki luas wilayah 252.321 mil persegi. Masyarakat Myanmar sendiri terbagi menjadi beberapa Kelompok Etnis dan Agama. Masyarakat memakai bahasa Birma sebagai bahasa resminya. Negara ini dulunya dijajah oleh Inggris dan memperoleh kemerdekaan pada Tahun 1948. 

 

(Sumber : Council on Foreign Relations) 
(Sumber : Council on Foreign Relations) 

Etnis Burma (Bamar) menjadi kelompok Etnis yang memiliki dominasi lebih besar di Myanmar, karena memiliki populasi sebesar (67 %) atau setengah dari populasi di Myanmar dihuni oleh Etnis tersebut. Dibanding dengan Kelompok Etnis lain seperti Shan (9 %), Karen (7 %), Rakhine (4 %), Chinese (3 %), Mon (2 %), Indian (2 %) dan Etnis lainya sebesar (5 %). Selain itu, Mayoritas penganut Agama di Myanmar terbagi diantaranya Budha (88%), Kristen (6%), Muslim (4%), Animisme (0,8%), Hindu (0,5%) dan lainya (0,2%). 

Dengan banyaknya perbedaan Kelompok Etnis dan Agama yang dianut. Hal ini menjadi suatu fenomena yang memiliki nilai Keberagaman dalam mencerminkan kehidupan yang damai, jika setiap masyarakat yang berbeda-beda itu memiliki sikap yang menjunjung tinggi nilai perbedaan. Namun, banyaknya Kelompok Etnis dan penganut Agama yang berbeda-beda justru akan menimbulkan konflik setiap saat, jika masyarakat tidak mempunyai sikap toleransi yang tinggi akan perbedaan yang ada.

Sejak berabad-abad terkhusus saat Myanmar memperoleh identitas nasional setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Negara ini berjuang sangat keras untuk membentuk suatu pemerintahan yang efektif dalam masyarakat multietnisnya. Pada tahun 1962, angkatan bersenjata militer "Tatmadaw" sering kali mengambil alih kekuasaan pemerintah negaranya, sehingga angkatan bersenjata ini memiliki kuasa penuh dalam memegang kendali pemerintahan Myanmar. Dalam tindakanya, Tatmadaw sering kali merugikan kelompok etnis minoritas seperti Suku Rohingnya (Kelompok Muslim). Suku ini sangat teraniaya akibat dari perlakuan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya dan negaranya.[1] Mengutip Council on Foreign Relation, alasan kenapa suku Rohingnya tidak diberi hak untuk tinggal di Myanmar, karena mereka menganggap bahwa kelompok Rohingnya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh. 

Pemerintah Myanmar tidak mengakui kelompok suku Rohingnya sebagai warga negara. Selain itu, kelompok mayoritas Budha atau MaBaTha dan gerakan anti muslim sering menyebarkan kebencian terhadap (Kelompok Muslim) Suku Rohingnya seperti ajakan untuk memboikot toko-toko milik masyarakat Muslim, ajakan untuk mengusir masyarakat Rohingnya dari Myanmar, dan lebih bahayanya mengajak untuk menyerang kelompok Muslim.

Pada juni dan oktober 2012, Suku Rohingnya kembali mengalami situasi kekerasan yang berefek pada bentrokan dan pembakaran rumah. Dalam kejadian ini menyebabkan ratusan orang tewas dan menyebabkan lebih dari 100 ribu suku Rohingnya mengungsi dengan kondisi kehidupanya yang tidak memperoleh fasilitas yang memadai untuk bisa bertahan hidup di Myanmar.

Pada agustus 2017, kelompok Suku Rohingnya membentuk sebuah kelompok militan yang disebut sebagai Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA). Kelompok ini melakukan serangan terhadap beberapa pos militer dan polisi. Sehingga kejadian ini menewaskan lebih dari 70 orang termasuk 12 orang dari petugas keamanan Myanmar. Sebagai balasan atas perilaku kelompok militan Suku Rohingnya, angkatan bersenjata militer Tatmadaw melakukan sebuah tindakan secara karas terhadap para penduduk desa kelompok suku Rohingnya, yang menyebabkan lebih dari 700 ribu masyarakat desa berbondong-bondong untuk melarikan diri keluar dari Myanmar. Dengan adanya peristiwa ini, PBB merespon dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata militer Myanmar merupakan tindakan "pembersihan etis" karena menyerang satu kelompok dengan tujuan menghilangkan mereka dari wilayah tersebut.

Pada februari 2021, militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan Myanmar. Selain itu, aksi kudeta militer dilakukan dengan menahan kepala negara "Aung San Suu Kyi" dan menyuruh anggota parlemen lainya untuk menyembunyikan diri dan tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan Myanmar. Sehingga peristiwa ini membuat aksi demo atau protes besar di setiap wilayah Myanmar, dengan tuntutan keinginanya untuk kembali ke dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Tetapi, tuntutan itu ditolak oleh militer dan ditanggapi dengan melakukan membubaran secara kekerasan terhadap aksi yang dilakukan oleh masyarakat. Peristiwa ini menyebabkan 100 orang tewas dalam satu hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun