Mohon tunggu...
Habib Miftahul Ghofar
Habib Miftahul Ghofar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Reader and writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perdata Islam di Indonesia

8 Maret 2024   19:28 Diperbarui: 8 Maret 2024   19:38 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstract: 

Pembahasan tentang hukum perdata Islam memang tidak terlepas dari aspek-aspek seperti pernikahan, hak waris, dan berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai agama yang mencakup aspek spiritual dan duniawi, Islam memberikan panduan yang jelas dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah perdata. Pernikahan, sebagai institusi yang sangat penting dalam Islam, diatur secara rinci dalam hukum perdata Islam. Mulai dari syarat-syarat sahnya pernikahan hingga hak dan kewajiban suami istri, hukum perdata Islam memberikan landasan yang kokoh bagi hubungan pernikahan yang harmonis dan saling menghormati.

Hak waris juga menjadi bagian penting dalam hukum perdata Islam. Islam menetapkan aturan yang adil dalam pembagian harta warisan, memastikan bahwa setiap ahli waris mendapatkan bagian yang layak sesuai dengan ketentuan syariat. Dengan memahami dan mentaati hukum perdata Islam, umat Muslim di Indonesia diharapkan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan sesuai dengan ajaran agama mereka, serta dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Keywords: Hukum Perdata Islam, Pernikahan, Hak Waris, Keindahan Hukum Islam, Pematuhan Terhadap Hukum Islam

Introduction

Buku ini memiliki struktur yang terorganisir dengan baik, dimulai dari ruang lingkup hukum perdata Islam di Indonesia sebagai landasan yang kuat dalam memahami seluruh konteks hukum yang dibahas. Kemudian, penekanan pada bab mengenai alasan-alasan dan prosedur poligami yang diatur dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menunjukkan keinginan untuk menjelaskan secara rinci aspek yang seringkali menjadi kontroversial dalam praktik pernikahan dalam masyarakat Muslim di Indonesia. Selain itu, pembahasan tentang perceraian, kewarisan dalam Islam, hibah, wasiat, dan pewakafan memberikan gambaran yang komprehensif tentang berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang diatur oleh hukum perdata Islam. Dengan demikian, buku ini tidak hanya memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep hukum Islam, tetapi juga aplikasinya dalam kehidupan nyata. Dengan struktur yang terinci seperti ini, pembaca akan dapat mengikuti pembahasan dengan lebih mudah dan memahami konteks serta implikasi dari setiap aspek hukum yang dibahas dalam buku ini. Hal ini juga memungkinkan pembaca untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang praktik hukum perdata Islam di Indonesia.

Result and Discussion

Ruang Lingkup hukum perdata islam di indonesia

Secara umum dan hukum perdata Islam, serta lingkup serta aplikasinya dalam masyarakat Indonesia. Secara umum, hukum perdata mencakup semua aturan yang mengatur hubungan privat materiil antara individu, seperti perkawinan, hubungan kekeluargaan, dan harta kekayaan. Hukum perdata juga dibedakan dari hukum pidana, yang menangani pelanggaran hukum yang melibatkan sanksi pidana. Di sisi lain, hukum perdata Islam khususnya berlaku bagi warga negara Indonesia yang menganut agama Islam. Hal ini mencakup aturan-aturan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban individu dalam konteks agama Islam, seperti waris, perkawinan, hibah, wakaf, zakat, dan infak. Hukum perdata Islam tidak berlaku bagi warga negara nonmuslim, sehingga aturan-aturan tersebut tidak mengikat bagi mereka. Hal tersebut memberikan pemahaman yang jelas tentang perbedaan dan cakupan hukum perdata secara umum dan hukum perdata Islam, serta menjelaskan bahwa hukum perdata Islam secara khusus mengatur kepentingan individu umat Islam di Indonesia. Penjelasan mengenai materi-materi hukum perdata Islam seperti waris, perkawinan, dan lainnya juga memberikan gambaran yang lengkap tentang lingkup dan aplikasi hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia.

Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia merujuk pada seperangkat aturan hukum yang mengatur hubungan perdata atau sipil antara individu-individu yang beragama Islam dalam konteks hukum nasional Indonesia. Hukum Perdata Islam ini didasarkan pada ajaran dan prinsip-prinsip hukum Islam, yang mencakup berbagai aspek kehidupan seperti pernikahan, perceraian, warisan, hibah, wasiat, dan lain sebagainya.

Latar Belakang lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia memiliki peruntukan yang berbeda-beda untuk setiap golongan warga negara, yang tercermin dari keragaman budaya, adat istiadat, dan latar belakang etnis yang ada di negara ini.

Pertama, untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat yang sebagian besar belum tertulis. Hukum adat ini merupakan seperangkat norma-norma dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan secara inheren melekat dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun belum tertulis secara formal, hukum adat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari perkawinan, waris, hingga penyelesaian konflik. Kedua, untuk golongan warga negara bukan asli Indonesia, berlaku hukum yang berbeda tergantung pada asal etnis dan latar belakang mereka. Bagi golongan ini, terutama yang berasal dari negara barat, berlaku hukum perdata yang didasarkan pada kitab undang-undang, seperti kitab hukum dagang. Ini mencakup aturan-aturan yang berlaku dalam konteks perdagangan dan bisnis. Ketiga, bagi golongan Asia Timur, kecenderungan penggunaan hukum perdata juga beragam. Sebagian mungkin mengadopsi hukum barat (WB) seperti golongan bukan asli Indonesia, sementara yang lain mungkin lebih memilih untuk menerapkan hukum dari negara asal mereka. Ini mencerminkan keragaman latar belakang budaya dan hukum di antara golongan Asia Timur. Namun, penting untuk dicatat bahwa penerapan hukum perdata tidaklah merata di seluruh wilayah Indonesia. Hukum yang berlaku bagi pribumi, atau bangsa Indonesia asli, dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya, tergantung pada tradisi adat, kebiasaan lokal, dan norma-norma yang berkembang di masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan keberagaman dalam sistem hukum perdata di Indonesia, yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan dinamika sosial masyarakat.

Prinsip Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1974, bukanlah sekadar ikatan fisik antara seorang pria dan seorang wanita. Ia adalah pertalian lahir dan batin yang disucikan oleh Tuhan, dengan tujuan utama membentuk keluarga yang bahagia dan abadi. Ini bukan sekadar persatuan dua individu, melainkan penandatanganan perjanjian suci di hadapan Allah untuk membangun rumah tangga yang penuh dengan kedamaian, cinta, dan kasih sayang. Ketika seseorang memasuki ikatan perkawinan, mereka tidak hanya berkomitmen untuk mengikuti ajaran-ajaran agama yang universal, tetapi juga untuk mematuhi hukum negara. Keduanya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum Allah dan hukum negara agar perkawinan mereka dianggap sah. Perkawinan bukanlah sekadar upacara formal, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju kebahagiaan keluarga. Ini adalah pondasi yang kokoh yang membangun hubungan yang langgeng dan mendalam antara suami dan istri. Dengan memahami pentingnya komitmen ini, mereka dapat bersama-sama menghadapi segala tantangan hidup dengan tekad dan kekuatan yang sama. Dalam kesucian ikatan perkawinan, terletak kekuatan yang menguatkan, cinta yang membara, dan harapan yang tak terbatas. Itulah mengapa perkawinan dianggap sebagai salah satu momen paling sakral dalam kehidupan manusia, karena di dalamnya terdapat janji kesetiaan, pengorbanan, dan cinta yang abadi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan beberapa prinsip-prinsip yang mendasari institusi perkawinan di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 

1. Ikatan Lahir Batin: Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ini menunjukkan bahwa perkawinan tidak hanya merupakan persatuan fisik, tetapi juga hubungan emosional dan spiritual yang mendalam antara dua individu. 

2. Tujuan Membentuk Keluarga: Tujuan utama dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan abadi. Ini menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya tentang hubungan antara suami dan istri, tetapi juga tentang membangun lingkungan yang stabil dan harmonis bagi generasi mendatang. 

3. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa: Perkawinan di Indonesia diakui sebagai institusi yang didasarkan pada ajaran agama dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ini menegaskan pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam menjalani kehidupan berkeluarga. 

4. Kesesuaian dengan Hukum Negara: Perkawinan diakui sah jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum negara. Ini mencakup pemenuhan rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

5. Cita-cita Keluarga Sakinah: Perkawinan yang sah harus bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, yaitu keluarga yang penuh dengan ketenangan, kasih sayang, dan saling pengertian. 

Hal ini menekankan pentingnya membangun hubungan yang saling menghormati dan mendukung di antara anggota keluarga. Prinsip-prinsip ini membentuk landasan moral, spiritual, dan hukum bagi institusi perkawinan di Indonesia. Mereka menegaskan pentingnya komitmen, tanggung jawab, dan kesetiaan antara suami dan istri dalam menjalani kehidupan berkeluarga.

Pendahuluan Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur secara rinci persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum suatu perkawinan dapat dilaksanakan di Indonesia. Terdapat beberapa poin penting yang menjadi pertimbangan dalam proses pendahuluan perkawinan: 

Pertama, persetujuan kedua calon mempelai menjadi hal yang sangat penting dalam proses perkawinan. Ini menekankan pentingnya kesepakatan dan komunikasi antara kedua belah pihak yang akan memasuki ikatan perkawinan.

 Kedua, usia kedua calon mempelai juga menjadi faktor yang harus diperhatikan. Undang-Undang menetapkan batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan, yang membutuhkan izin tertentu jika seseorang belum mencapai usia yang ditentukan.

Ketiga, izin dari kedua orangtua atau wali calon mempelai juga diperlukan, terutama jika salah satu atau kedua orangtua masih hidup. Ini menegaskan pentingnya peran keluarga dalam mendukung dan mengawasi proses perkawinan. 

Keempat, hubungan darah atau mahram dan bukan mahramnya kedua calon mempelai menjadi faktor penting lainnya. Undang-Undang melarang perkawinan antara individu yang memiliki hubungan darah atau hubungan mahram tertentu. 

Kelima, keyakinan agama kedua calon mempelai juga harus diperhatikan, dengan penekanan bahwa perkawinan harus didasarkan pada nilai-nilai agama yang dianut oleh kedua belah pihak. 

Keenam, status perjaka, duda, atau janda dari kedua calon mempelai juga menjadi pertimbangan penting. Hal ini menunjukkan bahwa status dan kondisi individu juga memainkan peran dalam proses perkawinan.

Secara keseluruhan, pendahuluan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mencakup serangkaian persyaratan dan pertimbangan yang harus dipenuhi untuk memastikan bahwa perkawinan dilakukan dengan memperhatikan norma-norma hukum dan nilai-nilai sosial yang berlaku.

Alasan-alasan dan Prosedur Poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mendefinisikan poligami sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari satu wanita. Namun, pengaturan poligami tersebut juga mengikat suami untuk memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan. Persyaratan tersebut meliputi persetujuan dari istri atau istri-istri, kemampuan suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa poligami tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan harus dilandaskan pada keadilan dan tanggung jawab suami terhadap istri-istri dan keluarganya. Suami yang hendak melakukan poligami harus memastikan bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan hidup semua istri dan anak-anak mereka secara ekonomi dan memberikan perlakuan yang adil di antara mereka.

Inti dari pembahasan tersebut adalah bahwa prinsip keadilan menjadi kunci dalam menjalankan poligami. Suami harus mampu memberikan perlakuan yang adil dan tanggung jawab kepada setiap istri dan anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah sekadar masalah jumlah istri, tetapi lebih pada bagaimana suami memperlakukan istri-istri dan keluarganya dengan adil dan bertanggung jawab.

Dalam Undang-Undang Nomor 1/1974, upaya untuk membatasi poligami memberikan penekanan pada peningkatan status perempuan atau istri agar tidak disamakan kedudukannya dengan laki-laki, khususnya oleh suaminya. Dalam hal ini, suami yang berencana melakukan poligami harus mendapatkan izin dari istrinya, yang harus dinyatakan di hadapan majelis hakim di pengadilan.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1/1974 mengatur prosedur perkawinan dan perceraian di Indonesia, termasuk tata cara poligami bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan poligami bagi PNS diatur secara terpisah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi acuan hukum bagi masyarakat Islam. Meskipun Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya berprinsip monogami, yaitu satu suami untuk satu istri, namun dalam keadaan atau alasan tertentu, suami diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri. Namun, hal ini diatur dengan persyaratan yang ketat dan harus mendapatkan persetujuan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhinya persyaratan yang ditentukan.

Pasal-pasal yang langsung terkait dengan poligami dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 menetapkan bahwa jika seorang suami berniat untuk menikahi lebih dari satu wanita, ia harus mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah di tempat tinggalnya. Pengadilan hanya akan memberikan izin untuk poligami jika istri tidak mampu menjalankan kewajibannya, mengalami cacat badan atau penyakit tidak disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.

Sementara itu, Pasal 5 menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan ke pengadilan, yaitu persetujuan dari istri atau istri-istri, kepastian bahwa suami mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.Dengan demikian, Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa poligami tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus melalui proses hukum yang melibatkan pengadilan dan memenuhi persyaratan yang ketat. Ini menegaskan perlunya persetujuan dari istri atau istri-istri, serta tanggung jawab suami untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh keluarganya.

Prosedur poligami yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Permohonan kepada Pengadilan: Suami yang berniat melakukan poligami harus mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya. Permohonan ini harus disertai dengan alasan yang jelas dan didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

2. Pemeriksaan Pengadilan: Pengadilan akan memeriksa permohonan poligami tersebut. Pengadilan hanya akan memberikan izin untuk poligami jika terbukti bahwa istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri, mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.

3. Persetujuan dari Istri/Istri-Istri: Suami harus memperoleh persetujuan dari istri atau istri-istri yang sudah ada sebelumnya. Persetujuan ini menjadi salah satu syarat utama yang harus dipenuhi sebelum pengadilan memberikan izin untuk poligami.

4. Kemampuan Suami: Suami harus dapat menjamin bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Ini mencakup aspek-aspek seperti finansial, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

5. Jaminan Keadilan: Suami juga harus memberikan jaminan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Ini menunjukkan pentingnya sikap yang adil dan tanggung jawab suami dalam menjalankan poligami.

Dengan memenuhi semua persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suami dapat memperoleh izin untuk melakukan poligami secara sah di hadapan hukum.

Perceraian dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

 Perceraian dalam Hukum Islam, yang dikenal sebagai Thalaq, berasal dari kata "ithlaq" yang berarti "melepaskan atau meninggalkan". Dalam konteks agama, Thalaq mengacu pada tindakan melepaskan ikatan perkawinan atau mengakhiri hubungan suami istri. Ini merupakan proses di mana perkawinan dibubarkan dan hubungan suami istri berakhir. Perceraian diizinkan jika terdapat kemaslahatan karena usaha perdamaian antara suami istri yang bertengkar tidak membuahkan hasil positif. Perceraian dianggap sebagai pilihan terakhir yang lebih baik bagi kedua belah pihak. Namun, perceraian seharusnya hanya terjadi sebagai kehendak Tuhan, dengan kematian sebagai satu-satunya alasan yang sah untuk mengakhiri perkawinan.

Secara moral, meskipun perceraian dianggap halal, tindakan tersebut harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan dalam batas-batas yang bertanggung jawab. Hal ini penting dilihat dari sudut pandang hubungan suami istri serta dampaknya terhadap keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Perceraian dapat terjadi jika kedua belah pihak suami istri tidak dapat menyelesaikan perselisihan mereka dan telah sepakat bahwa perselisihan tersebut tidak dapat diatasi lagi. Dalam hal ini, istri dapat membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan dengan mengembalikan sebagian harta maskawin yang telah diterimanya, sementara suami menyatakan persetujuannya, yang kemudian menghasilkan khulu'.

Hukum Thalaq dalam Islam terbagi menjadi empat:

1. Wajib: Terjadi ketika terdapat perselisihan antara suami istri dan dua hakim yang menangani kasus tersebut setuju bahwa perceraian diperlukan.

2. Sunah: Terjadi jika suami tidak mampu memenuhi kewajibannya atau jika istri tidak menjaga kehormatannya.

3. Haram: Terjadi dalam dua keadaan, yaitu ketika talak diucapkan saat istri sedang haid atau saat dalam keadaan suci yang telah dicampurinya.

4. Makruh: Dianjurkan untuk dihindari.

Tata Cara Perceraian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan peraturan hukum yang mengatur berbagai aspek terkait pernikahan di Indonesia, termasuk tata cara perceraian. Berikut adalah tata cara perceraian menurut Undang-Undang tersebut:

1. Permohonan Perceraian: Perceraian harus dimulai dengan permohonan dari salah satu atau kedua belah pihak suami istri yang ingin bercerai. Permohonan ini diajukan kepada Pengadilan Agama setempat.

2. Mekanisme Mediasi: Sebelum mengajukan permohonan cerai ke pengadilan, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengikuti mediasi di Kantor Urusan Agama setempat. Mediasi dilakukan dengan tujuan untuk mencari jalan keluar yang dapat menyelesaikan masalah rumah tangga tanpa melalui proses perceraian.

3. Pengajuan Gugatan: Jika mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Gugatan cerai harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, termasuk alasan perceraian yang sah menurut hukum.

4. Pemeriksaan di Pengadilan: Setelah gugatan cerai diajukan, Pengadilan Agama akan melakukan pemeriksaan terhadap perkara perceraian tersebut. Pemeriksaan ini mencakup pendengaran kedua belah pihak, serta bukti-bukti yang diajukan oleh masing-masing pihak.

5. Putusan Pengadilan: Setelah mempertimbangkan semua bukti dan argumen yang diajukan, Pengadilan Agama akan mengeluarkan putusan mengenai permohonan perceraian. Putusan ini dapat berupa pengabulan atau penolakan permohonan cerai.

6. Pelaksanaan Putusan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun