Keamanan internasional di era globalisasi masih tetap merupakan isu yang sangat penting sekalipun perang dingin telah berakhir lebih dari dua dekade yang lalu. Mendiskusikan isu keamanan internasional tidak lagi hanya berbicara tentang kemanan negara, melainkan juga berkaitan dengan keamanan “manusia” (Barry Buzan dkk dalam Budi, 2014). Dalam pandangan konvensional, masalah keamanan biasanya dipersepsikan dan di tangani dalam konteks hubungan antarnegara. Artinya, bagaimana menjaga dan melindungi keamanan suatu negara dari ancaman pihak lain, khususnya yang berkaitan dengan ancaman militer yang berasal dari negara lain. Dalam pengertian ini, keamanan dipahami sebagai “keamanan tradisional”.
Dalam perkembangannya telah terjadi suatu pergeseran konsep keamanan tradisional ke keamanan non-tradisional. Konsep keamanan non-tradisional di kaitkan dengan kasus perdagangan manusia (human trafficking). Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan manusia telah dimulai sejak zaman kerajaan dan kolonialisme yang dikenal dengan era perbudakan. Perbudakan dipandang sebagai konsekuensi logis dari penjajahan dan kekuasaan pemimpin yang membutuhkan sumber daya manusia untuk kepentingan negara/dinastinya.
Sejarah kelam kemanusian yang membuat hati miris dan sulit dilupakan adalah perbudakan. Penistaan derajat manusia ini terjadi pada abad pertengahan bahkan memasuki abad 21. Peran konferensi Asia Afrika di Bandung yang diprakarsai Presiden pertama Indonesia Soekarno menjadi salah satu pencetus munculnya kemerdekaan perbudakan, juga mendorong penghapusan sistem perbudakan. Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan perdagangan budak banyak terjadi di belahan dunia. Zaman kolonialisme atau yang disebut sebagai masa-masa imperialisme klasik membawa banyak cerita duka tentang eksploitasi manusia. Pada saat itu manusia dan tahanan kerajaan diperlakukan sebagai komoditas utama yang dapat diperjualbelikan. Bahkan katanya manusia-manusia kala itu juga diperdagangkan di pasar budak internasional yang telah tersistem.
Dalam sejarahnya, perjuangan melawan perbudakan telah muncul sejak tahun 1562, dipimpin oleh Raja Kongo yaitu Zanga Bamba yang mengirimkan protes terhadap Raja Portugal. Pada masa itu perdagangan budak dianggap sebagai tindak kejahatan kemanusiaan yang melibatkan kelompok sindikat internasional. Permainan negara-negara Barat yang membutuhkan modal besar, pasar yang luas, sumber bahan mentah, dan energi serta buruh yang murah. Untuk itulah negara-negara Barat melakukan kolonialisasi. Beberapa pemimpin Afrika Barat berusaha dengan melarang pengangkutan budak melewati wilayah atau daerah kekuasaannya. Namun usaha tersebut selalu gagal karena usaha atau perjuangan tersebut hanya bersifat lokal dan tanpa didukung senjata yang memadai. Sementara para pemburu budak di Eropa rata-rata memiliki senjata api yang sangat ditakuti pada saat itu. Sehingga, sekitar 11 juta warga Afrika menjadi korban kekejaman dalam bisnis eksploitasi manusia lewat perbudakan ini selama empat abad di masa lalu.
Dalam era globalisasi saat ini, eksploitasi manusia menjadi fenomena yang sangat kompleks dan saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Konflik dalam hal ini menyangkut persoalan ketenagakerjaan, migrasi, kemiskinan, kekerasan, dan kejahatan. Perempuan dan anak menjadi korban paling banyak jual beli manusia di era globalisasi, dengan tujuan untuk eksploitasi seksual untuk kepentingan industri seksual yng tentu mengabaikan kepentingan korban dan memperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia namun cenderung sebagai komoditas. Maka dari itu, perlu dipahami bahwa penanganan masalah perdagangan manusia membutuhkan andil yang besar dari negara sebagai sebuah sistem hukum yang berkewajiban menjamin penuh Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap selurh warga negaranya. Jangan sampai negara yang memiliki otoritas politik dan ekonomi turut mengabaikan harkat dan martabat kemanusian sehingga perdagangan manusia ini menjadi salah satu sektor pendukung pendapatan lokal.
Keamanan non-tradisional dalam era globalisasi memiliki makna yang luas dan sifatnya non-militer, dalam arti pemikiran yang dikaitkan dengan konsep keamanan terhadap individu, yang lebih dikenal dengan konsep human security. Konsep ini didasarkan pada dua komponen kebebasan negatif, yakni bebas rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want), yang merupakan bagian dari hak yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, human security mencakup berbagai dimensi keamanan, seperti keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan masyarakat, dan keamanan politik. Dalam hal ini human security akan digunakan untuk menganalisis kasus yang berkaitan dengan keamanan individu tentang permasalahan perdagangan manusia (human trafficking).
Human Trafficking atau yang sering kita kenal dengan perdagangan manusia telah menjadi isu yang mengemuka dalam hubungan internasional saat ini dan telah banyak menjadi bahasan di forum-forum internasional serta dipahami sebagai permasalahan global. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) salah satu Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga memiliki konsentrasi terhadap permasalahan mengenai perdagangan manusia dan penyelundupan imigran gelap mendefinisikan perdagangan manusia sebagai tindak kejahatan terhadap manusia dengan cara merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima seseorang melalui kekerasan, paksaan dan tindakan jahat lainnya dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka. Penyelundupan imigran adalah tindak kejahatan untuk mendapatkan uang atau keuntungan materi lainnya dengan cara memasukkan orang kedalam suatu negara dimana orang tersebut bukan merupakan warganegara negara tersebut.
Perdagangan manusia bukan hanya merupakan persoalan tindakan kejahatan, melainkan pula terkait erat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemahaman ini berkaitan dengan hak-hak paling dasar dari manusia yaitu mendapatkan kehidupan yang baik, sejahtera hingga pengakuan hak individu sebagai manusia yang bermartabat. Oleh karena itu, dalam kasus perdagangan manusia, nilai-nilai tersebut telah di langgar dengan memperlakukan manusia layaknya sebuah barangan dagangan seperti properti dan produk komersial yang bisa di eksploitasi. Perdagangan manusia menjadi isu sentral dalam era globalisasi saat ini karena eksistensi dari kejahatan sudah menjadi epidemi di berbagai negara.
Definisi mengenai perdagangan manusia (human traffcking) telah dibahas dalam forum-forum internasional dan dipahami sebagai sebuah masalah global. Badan Perserikan Bangsa-Bangsa (United Nations) telah membentuk unit kerja khusus yang dinamakan United Nations Office on Drugs an Crime (UNODC) yang berkonsentrasi juga dalam masalah perdagangan manusia dan penyelundupan imigran gelap. Menurut UNODC perdagangan manusia diartikan sebagai :
“Perdangan manusia adalah pendapatan (bisnis) yang diperoleh dengan cara yang jahat, seperti pmaksaan, penipuan, atau muslihat dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka. Penyelundupan imigran adalah usaha untuk mendapatkan uang atau keuntungan material lainnya dengan memasukkan seorang secara ilegal ke dalam sebuah negara, di mana seseorang tersebut bukan merupakan seorang warga negara”.
Dalam protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah kegaiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, Budi (2014:327).
Human Trafficking di Asia Tenggara
Isu human trafficking menjadi sebuah masalah yang serius dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara. Jumlah perdagangan manusia semakin meningkat sepanjang tahun, dengan beberapa sumber menempatkan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang paling tinggi “mengekspor” manusia untuk diperdagangkan. Di Asia Tenggara, diperkirakan 200 ribu - 400 ribu orang diperdagangkan setiap tahunnya. Selain itu, jaringan kriminal yang memperjualbelikan manusia pun selain beroperasi melewati batas-batas negara, kini semakin berkembang dan terorganisir seiring kemajuan tekhnologi yang menjadikan isu perdagangan manusia sebagai suatu kejahatan transnasional yang cukup serius. Menurut Shelly beberapa faktor yang menyebabkan kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu pusat aktivitas perdagangan manusia adalah konflik yang berkepanjangan di kawasan, kemiskinan, tinggginya angka korupsi, faktor geografis dan faktor budaya.
Berbagai konflik dan urusan militer yang terjalin antarnegara di kawasan Asia Tenggara maupun dengan negara-negara di luar kawasan mempengaruhi berkembangnya kejahatan perdagangan manusi. Ada kecenderungan bahwa di daerah-daerah konsentrasi tentara yang bertugas dan bertempat tinggal selama masa konflik, tingkat kasus perdagangan manusianya juga meningkat. Contoh kasusnya adalah ketika di Filipina dibangun pangkalan udara militer AS, sekitar pangkalan daerah ini, tercatat terdapat kurang lebih 55 ribu pekerja seks perempuan yang juga merupakan korban perdagangan manusia. Berbanding terbalik ketika pangkalan militer udara AS tersebut ditutup pada tahun 1999, angka tersebut sempat mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa ada kaitan antara konflik atau urusan militer denggan perdagangan manusia yang mungkin juga disebabkan oleh beberapa faktor yang mempenngaruhi.
Selanjutnya, kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama berkembangnya kejahatan perdagangan manusia disuatu negara, sehingga hal ini juga mempengaruhi terhadap dinamika kejahatan perdagangan manusia di Asia Tenggara. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sektor industri yang tidak seimbang menciptakan kesenjangan yang semakin tajam di Asia Tenggara, sehingga melahirkan batas-batas yang sangat jelas antara negara-negara yang tergolong kaya dan negara-negara miskin. Kondisi geografis kawasan membuat sebuah negara memiliki banyak wilayah perbatasan yang seringkali berdekatan bahkan berhimpitan, terpencil, serta tidak terjangkau oleh kontrol pemerintah pusat. Kondisi ini sering di manfaatkan oleh organisasi kriminal transnasional. Mereka kemudian bisa mengambil alih kewenangan di perbatasan tersebut agar lebih mudah melakukan perpindahan korbannya. Sebgaia contoh adalah kawasan segitiga emas, yang merupakan sebuah wilayah pegunungan yang menghubungkan negara-negara di Greater Mekong Subregion (GMS), yaitu Myanmar, Laos dan Tahiland. Wilayah ini telah menjadi pusat aktivitas berbagai organisasi kriminal transnasional, baik perdagangan manusia, perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan lain sebagainya.
Dari penjabaran di atas pembangunan ekonomi yang tidak merata dapat mempengaruhi perkembangan kejahatan perdagangan manusia dalam dua sisi. Pertama, negara-negara yang secara relatif berhasil sekarang ini memiliki kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan industrinya yang semakin berkembang. Kedua, masyarakat di negara-negara yang tertinggal secara ekonomi terdorong untuk mencari perbaikan nasib dan kesempatan memperoleh penghasilan yang lebih baik di luar negaranya, sehingga mereka berkeinginan untuk melakukan migrasi dan mudah dibujuk untuk bekerja di luar negeri. Kedua kondisi ini aling berkaitan, dan hal ini yang kemudian dimanfaatkan organisasi kriminal transnasional untuk meraup keuntungan ekonomi, yaitu dengan memperdagangkan manusia dari negara-negara Asia Tenggara yang miskin untuk menjadikan pekerja paksa berbiaya murah di negara-negara Asia yang lebih maju.
Untuk melengkapi gambaran diatas mengenai aktivitas perdagangan manusia di Asia Tenggara bisa kita lihat dari laporan tahunan International Organization for Migration (IOM). Menurut data dalam laporan IOM tahun 2011, empat negara Asia tenggara menduduki posisi top ten sebagai negara penyumbang utama kasus perdagangan manusia di dunia. Laos berada pada urutan 4, dan disusul oleh Kamboja pada urutan 6, sebagai negara dengan korban perdagangan manusia terbesar di dunia. Sementara Thaiand berada di urutan 4 dan Indonesia pada urutan 7 dalam daftar negara tujuan perdagangan manusia terbesar di dunia. Selain itu indonesia merupakan negara penyuplai sekaligus negara tujuan kejahatan perdagangan manusia yang cukup mengkhawatirkan di Asia Tenggara, sedangkan Malaysia dilaporkan menjadi negara tujuan populer sindikat kejahatan perdagangan untuk mengirim korban-korban perdagangan manusia, terutama korban-korban dari Myanmar, Kamboja, China, Indonesia, Laos, Filipina, dan Bangladesh.
Dalam kasus perdagangan manusia atau kejahatan terhadap manusia, individu dijadikan sebuah komoditas ekonomi yang dieksploitasi secara fisik dan psikologis. Jika kita pahami secara menjauh, yang menjadi alasan individu yang terjebak dalam kejahatan perdagangan manusia kerap kali memiliki alasan klasik, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup atau mencari pendapatan. Seringkali yang menjadi korban perdagangan manusia adalah kaum ekonomi lemah yang tidak memiliki posisi tawar dalam kehidupan. Mencari pekerjaan adalah suatu hal yang cukup sulit, apalagi mendapatkan penghasilan yang layak demi bertahan hidup pada kondisi sosial masyarakat yang penuh kompetisi. Dan sudah barang tentu fenomena seperti ini hanya terjadi pada masyarakat di negara-negara berkembang yang cenderung menjadi korban, namun juga imigran gelap di negara-negara maju.
Jurang kemiskinan di negara-negara berkembang semakin tinggi. Kemiskinan di negara-negara berkembang menigkat tajam karena karena tingginya jumlah hutang luar negeri yang harus dibayar setiap tahunnya sehingga pembayarannya telah menghabiskan sebagian besar pendapatan negara. Di sisi lain, investasi asing tidak mampu mencitakan dan memperluas lapangan pekerjaan. Bahkan kebijakan peringanan dan penghapusan pajak bagi korporasi transnasional (MNC) justru menyebabkan pengurangan anggaran bagi kebijakan-kebijakan sosial (social spending). Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi tampaknya menjadi epidemi yang melanda dunia. Berdasarkan data PBB dalam Human Developnment Report tahun 2000 dan tahun 2002, pendapatan satu persen orang terkaya dari penduduk dunia setara dengan 57% pendapatan orang termiskin. Jurang kemiskinan antara 20% orang terkaya dan 20% orang termiskin di dunia meningkat dari 30:1 di tahun 1960, ke 60:1 di tahun 1990, meningkat menjadi 74:1 di tahun 1999, dan bahkan diprediksimeningkat ke angka 100:1 di tahun 2005.
Oleh sebab itu kondisi ekonomi lemah yang yang dihadapi masyarakat dapat menjadi faktor pendorong masing-masing individu untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Dengan harapan pendapatan mereka dapat mencukupi biaya hidup dan sebagai modal usaha. Sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan yang tentunya tidak memiliki pendidikan tinggi, keahlian profesi, dan pengetahuan cukup tentang prosedur menjadi tenaga kerja di luar negeri. Negara yang belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya mendorong mereka mencari penghidupan dengan berbagai cara meskipun hal tersebut membawa mereka menjadi sebuah komoditas ekonomi yang tidak manusiawi.
Lemahnya peran dan kontrol pemerintah (Law Enforcement) membuat kasus perdagangan manusia kian rumit. Contoh kasus perdagangan manusia di Indonesia, pada dasarnya juga melibatkan dan dimainkan oleh para ‘calo’ dengan dalih badan kerja sama pencari tenaga kerja yang telah memiliki akses ke luar negeri. Korban perdagangan manusia, sering terperdaya dengan rayuan/bujukan gaji yang besar, dan hidup yang lebih sejahtera dibandingkan saat ini yang mampu membuat korban tergoda untuk mengikuti kehendak para calo sehingga dengan mudah mereka pergi ke negara tujuan tanpa mengetahui secara pasti bagaimana kondisi kerja dan situasi dunia kerja di luar negeri. Adapun pekerjaan yang ditawarkan sebagian besar adalah sebagai buruh yang bekerja pada wilayah domestik (rumah tangga), restoran, hotel, industri, atau yang lebih buruk diperkerjakan sebagai perempuan pekerja seks komersial (PSK).
Dalam kejahatan transnasional dibalik fenomena globalisasi, manusia telah diperdagangkan sebagai eksploitasi buruh, pernikahan, pengemis, jasa sebagai tentara anak-anak, dan juga penjualan organ. Kasus ini telah eksis di berbagai belahan negara dunia. Kejahatan perdagangan manusia juga muncul sebagai sebuah kasus yang dihasilkan dari mekanisme permintaan dan penawaran pasar. Kejahatan perdagangan manusia juga semakin meningkat seiring dengan maraknya perpindahan manusia lintas negara (migrasi).
Mekanisme penawaran eksis karena globalisasi menyebabkan peningkatan ekonomi dan perbedaan demografi antara negara maju dan negara berkembang, seiring dengan fenomena kemiskinan dan marginalisasi komunitas pedesaan. Globalisasi juga menghasilkan pertumbuhan pariwisata dengan kemajuan tekhnologi informasi dan transportasi yang juga menawarkan berbagai jasa pelayanan seks komersial. Perdagangan manusia telah menjadi sektor bisnis yang menguntungkan. Kejahatan ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerapan hak-hak asasi manusia versus prinsip ekonomi kapitalis. Mekanisme permintaan dan penawaran telah menyebabkan sebagian besar perempuan dan anak-anak sebagai korban perdagangan manusia di pasar internasional.
Seperti yang dikutip dalam buku ‘Human Trafficking: A Global Perspective’ (2010), pemerintah negara-negara Eropa menghadapi peningkatan jumlah imigran gelap dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia yang diperkirakan 400,000 jiwa per tahunnya. Sejak tahun 2000, sejumlah 850,000 imigran gelap juga memasuki AS. Sebagian besar imigran gelap ini membayar para calo (Human Smugglers) dan sulit untuk disebut sebagai korban perdagangan manusia. Memang agak sulit membedakannya, namun korban perdagangan manusia sering kali muncul sebagai konsekuensi dari proses masifnya perpindahan manusia lintas negara.
Terkait dengan kasus perdagangan manusia, pada tahun 2004 pemerintah AS memperkirakan 600,000-800,000 orang menjadi korban perdagangan manusia pada skala internasional, dimana 80 persen diantaranya adalah perempuan, 50 persen anak-anak dan 70 persen ditujukan untuk eksploitasi seksual. Sementara, organisasi buruh internasional (ILO) pada tahun 2006 memaparkan data bahwa 12,3 juta orang menjadi buruh sandera (forced bonded labor), buruh anak-anak, dan pelayan seksual. Dalam laporannya ILO dengan judul ”A Global Alliance Againts Forced Labor”, 9,8 juta orang dieksploitasi oleh agen swasta (Private Agents) dan 2,5 juta orang dipaksa untuk bekerja pada pemerintah dan kelompok-kelompok militer, dan korban terbanyak dari Benua Asia. ILO memperkirakan 2,5 juta orang menjadi korban perdagangan manusia, dua per tiga-nya adalah perempuan dan anak-anak yang ditujukan untuk eksploitasi seksual serta satu per tiga-nya adalah laki-laki yang juga di eksploitasi untuk kegiatan ekonomi lainnya. UNICEF sendiri memprediksi 300.000 anak pada rentang usia 18 diperdagangkan sebagai tentara bayaran pada konflik-konflik militer di berbagai wilayah dunia.
Kasus perdagangan manusia di berbagai negara sepertinya menjadi fenomena gunung es yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak dalam pemberantasannya. Beberapa negara seolah mendiamkan kasus ini karena fungsi strategisnya sebagai penyumbang terbesar pendapat nasional dari sektor pariwisata. Contohnya seperti di Thailand, pelayanan seks komersial telah menjadi rahasia umum. Menurut UNODC perdagangan manusia merupakan bisnis yang sangat menguntungan di peringkat kedua setelah obat-obatan terlarang dan lebih baik dari bisnis senjata. Berdasarkan data yang dirilis ILO, diperkirakan keuntungan setiap tahunnya dari bisnis perdagangan manusia mencapai US$ 33,9 miliar dengan prediksi 1,4 juta orang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Kasus kejahatan perdagangan manusia sebagai fenomena globalisasi, kini bukan hanya negara-negara berkembang namun juga cukup marak di negara-negara maju. Oleh karena itu, eksistensi kasus ini dipahami sebagai ‘transnasional crime’ yang membutuhkan kerjasama global.
Sebuah Ancaman Terhadap Human Security
Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk ancaman non-tradisional atau keamanan manusia (human security) yang serius dan perlu penanganan yang tepat. Perdagangan manusia secara khusus berkaitan dengan kejahatan atau pencederaan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Tindaan kejahatan ini bertentangan dengan berbagai prinsip hak asasi manusia yang tercantum dalam berbagai perjanjian internasional yang dibuat oleh PBB, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights.
Dalam Winarno (2014:345), mengapa perdagangan manusia masuk dalam pelanggaran HAM, setidaknya ada tujuh alasan. Pertama, memperlakukan manusia layaknya benda mati yang bisa di pertukarkan dengan sejumlah uang dalam proses jual beli merupakan suatu perbuatan yang sangat merendahkan harkat dan martabat seseorang. Menempatkan manusia sebagai komoditas perdagangan demi memperoleh keuntungan ekonomi merupakan suatu tindakan kejahatan yang termasuk dalam pelanggaran berat atas berbagai hak dasar manusia, salah satunya hak kebebasan.
Kedua, cara-cara yang digunakan pelaku perdagangan manusia untuk menjaring korbannya juga merupakan suatu bentuk pencederaan terhadap upaya dan semangat perlindungan hak asasi manusia. Pelaku kerap kali menggunakan cara-cara paksaan dan kekerasan dalam memaksa seseorang untuk tunduk pada kehendaknya. Ini juga merupakan pelanggaran hak asasi setiap orang yang seharusnya berhak menentukan nasibnya sendiri dan bebas dari berbagai tekanan, tindakan, dan situasi yang mengancam keselamatan fisik serta mental dirinya. Ketiga, korban-korban perdagangan manusia biasanya dieksploitasi secara tidak manusiawi dan tidak sewajarnya. Beberapa korban dipaksa kerja tanpa imbalan dan yang paling para korban perempuan perdagangan manusia dipaksa kerja prostitusi. Keempat, human trafficking merupakan tindak kejahatan yang memang tidak secara langsung dampak dan terlihat dampaknya terhadap kemanan negara, namun pada akhirnya masalah ini juga memiliki pengaruh yang negatif bagi keberlangsungan suatu negara. Kelima, perdagangan manusia berarti adanya arus keluar dan arus masuk manusia yang tidak diketahui mau pun terdeteksi oleh pemerintah. Keenam, perdagangan manusia umumnya diprakarsai oleh organisasi kejahatan transnasional yang juga melahirkan ancaman yang nyata bagi negara. Ketujuh, perdagangan manusia juga berpotensi memicu munculnya masalah-masalah tambahan sebagai efek samping tindak kejahatan tersebut, terutama mengenai masalah kejahatan.
Kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) menjadi isu global yang berkaitan dengan kemananan manusia (human security) dan secara khusus berdampak pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perdagangan manusia menjadi sebuah dilema dalam permasalahan global yang menyebabkan selalu mengandung dua asumsi berlawanan. Pertama, bagi pihak eksternal masalah perdagangan manusia merupakan sebuah bentuk ancaman terhadap human security, yaitu berupa pelanggaran HAM dan pelakunya perlu mendapatkan hukuman yang setimpal. Kedua, bagi pihak internal yang juga merangkap didalamnya termasuk para korban, tindakan demikian merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kedua faktor inilah yang yang kemudian dan nantinya menjadi masalah dalam usaha mengatasi tindakan perdagangan manusia. Negara sebagai penjamin hak-hak keselamatan dan keamanan manusia khususnya individu belum mampu mengatasi ancaman kejahatan perdagangan manusia.
Di negara berkembang secara khusus muncul pandangan bahwa negara tidak mampu dan memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dan hukum yang mengikat sehingga sebagian warga negara menjadi korban kejahatan perdagangan manusia dan tidak dapat jaminan keamanan bagi mereka. Organisasi Internasional seperti PBB hanya tidak lebih dari sebuah media yang hanya menyampaikan ragam masalah perdagangan manusia namun upaya penyelesaian masalah tetap dipercayakan kepada masing-masing negara.
Ketimpangan keadilah dalam mengatasi kejahatan perdagangan manusia juga menjadi alasan mengapa kasus ini terus dan terus berkembang. Menurut Rawls hanya mereka yang menjadi bagian dari well-ordered stateslah yang bisa memperoleh keadilan yang sama didepan hukum dan hidup secaraa manusiawi. Hal ini dapat dilihat perbedaannya dalam realitas kehidupan negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang.
Penegakan hukum internasional dalam hal perdagangan manusia adalah usaha yang paling efektif dan efisien. ketika dimasukkan ke dalam undang-undang regional dan domestik. Instrumen regional dan domestik yang telah memainkan peran penting dalam pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia. Beberapa contoh peranan penting domestik meliputi : The United States Victims of Trafficking and Violence Protection Act (2000), the Council of Europe Convention on Action against Trafficking in Human Beings (2008), and the European Convention for the Protection of Human Right and Fundamental Freedoms (1950). Hampir seluruh wilayah di dunia juga membuat usaha untuk mengakhiri kejahatan perdagangan manusia. Misalnya, pada tahun 2005, the Coordinated Mekong Ministerial Initiative against Trafficking (COMMIT), kelompok sub-regional yang terdiri dari China, Laos, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam didirikan. Tujuannya adalah untuk membuat kebijakan untuk langkah-langkah anti-perdagangan manusia di wilayah tersebut, yang memungkinkan setiap negara untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Instrumen domestik dan regional yang bertujuan untuk memerangi perdagangan manusia melalui ketentuan yang sejalan dengan perjanjian internasional terhadap perdagangan manusia, sementara penyesuaian penegakan dan metode untuk kebutuhan pemantauan daerah atau negara.
REFERENSI :
Chuang, Janie. 2006. “Beyond a Snapshot: Preventing Human Trafficking i the Global Economy”, Indiana Journal od Global Legal Sudies, Vol. 13, No. 1 (2006)
International Organization for Migration, Counter Trafficking and Assistance to Vulnerable Migrants: Annual Reports of Activities. 2011. Geneva: IOM
Reidy, David A. 2004. “Rawls on international Justice: A Defense”, Political Theory, Vol. 32, No. 3. sage Publications, Inc
Samarsinghe, Vidyamali. 2008. Female Sex Traffcxking in Asia: The Resilence of Patriarchy in a Changing World. New York: Routledge
Shelly, Louis. 2010. Human trafficking : A Global Perspective. New York: Cambridge University Press
Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu
Stubbs, Ricard. 2005. Rethinking Asia’s Economic Miracle. New York: Palgrave MacMillan
United Nations Office on Drugs and Crime. 2012. “Global Report on Trafficking in Persons”, UNODC.
Winarno, Budi. 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme. Jakarta: Penerbit Erlangga
Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center of Academic Publishing Service (CAPS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H