Human Trafficking di Asia Tenggara
Isu human trafficking menjadi sebuah masalah yang serius dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara. Jumlah perdagangan manusia semakin meningkat sepanjang tahun, dengan beberapa sumber menempatkan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang paling tinggi “mengekspor” manusia untuk diperdagangkan. Di Asia Tenggara, diperkirakan 200 ribu - 400 ribu orang diperdagangkan setiap tahunnya. Selain itu, jaringan kriminal yang memperjualbelikan manusia pun selain beroperasi melewati batas-batas negara, kini semakin berkembang dan terorganisir seiring kemajuan tekhnologi yang menjadikan isu perdagangan manusia sebagai suatu kejahatan transnasional yang cukup serius. Menurut Shelly beberapa faktor yang menyebabkan kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu pusat aktivitas perdagangan manusia adalah konflik yang berkepanjangan di kawasan, kemiskinan, tinggginya angka korupsi, faktor geografis dan faktor budaya.
Berbagai konflik dan urusan militer yang terjalin antarnegara di kawasan Asia Tenggara maupun dengan negara-negara di luar kawasan mempengaruhi berkembangnya kejahatan perdagangan manusi. Ada kecenderungan bahwa di daerah-daerah konsentrasi tentara yang bertugas dan bertempat tinggal selama masa konflik, tingkat kasus perdagangan manusianya juga meningkat. Contoh kasusnya adalah ketika di Filipina dibangun pangkalan udara militer AS, sekitar pangkalan daerah ini, tercatat terdapat kurang lebih 55 ribu pekerja seks perempuan yang juga merupakan korban perdagangan manusia. Berbanding terbalik ketika pangkalan militer udara AS tersebut ditutup pada tahun 1999, angka tersebut sempat mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa ada kaitan antara konflik atau urusan militer denggan perdagangan manusia yang mungkin juga disebabkan oleh beberapa faktor yang mempenngaruhi.
Selanjutnya, kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama berkembangnya kejahatan perdagangan manusia disuatu negara, sehingga hal ini juga mempengaruhi terhadap dinamika kejahatan perdagangan manusia di Asia Tenggara. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sektor industri yang tidak seimbang menciptakan kesenjangan yang semakin tajam di Asia Tenggara, sehingga melahirkan batas-batas yang sangat jelas antara negara-negara yang tergolong kaya dan negara-negara miskin. Kondisi geografis kawasan membuat sebuah negara memiliki banyak wilayah perbatasan yang seringkali berdekatan bahkan berhimpitan, terpencil, serta tidak terjangkau oleh kontrol pemerintah pusat. Kondisi ini sering di manfaatkan oleh organisasi kriminal transnasional. Mereka kemudian bisa mengambil alih kewenangan di perbatasan tersebut agar lebih mudah melakukan perpindahan korbannya. Sebgaia contoh adalah kawasan segitiga emas, yang merupakan sebuah wilayah pegunungan yang menghubungkan negara-negara di Greater Mekong Subregion (GMS), yaitu Myanmar, Laos dan Tahiland. Wilayah ini telah menjadi pusat aktivitas berbagai organisasi kriminal transnasional, baik perdagangan manusia, perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan lain sebagainya.
Dari penjabaran di atas pembangunan ekonomi yang tidak merata dapat mempengaruhi perkembangan kejahatan perdagangan manusia dalam dua sisi. Pertama, negara-negara yang secara relatif berhasil sekarang ini memiliki kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan industrinya yang semakin berkembang. Kedua, masyarakat di negara-negara yang tertinggal secara ekonomi terdorong untuk mencari perbaikan nasib dan kesempatan memperoleh penghasilan yang lebih baik di luar negaranya, sehingga mereka berkeinginan untuk melakukan migrasi dan mudah dibujuk untuk bekerja di luar negeri. Kedua kondisi ini aling berkaitan, dan hal ini yang kemudian dimanfaatkan organisasi kriminal transnasional untuk meraup keuntungan ekonomi, yaitu dengan memperdagangkan manusia dari negara-negara Asia Tenggara yang miskin untuk menjadikan pekerja paksa berbiaya murah di negara-negara Asia yang lebih maju.
Untuk melengkapi gambaran diatas mengenai aktivitas perdagangan manusia di Asia Tenggara bisa kita lihat dari laporan tahunan International Organization for Migration (IOM). Menurut data dalam laporan IOM tahun 2011, empat negara Asia tenggara menduduki posisi top ten sebagai negara penyumbang utama kasus perdagangan manusia di dunia. Laos berada pada urutan 4, dan disusul oleh Kamboja pada urutan 6, sebagai negara dengan korban perdagangan manusia terbesar di dunia. Sementara Thaiand berada di urutan 4 dan Indonesia pada urutan 7 dalam daftar negara tujuan perdagangan manusia terbesar di dunia. Selain itu indonesia merupakan negara penyuplai sekaligus negara tujuan kejahatan perdagangan manusia yang cukup mengkhawatirkan di Asia Tenggara, sedangkan Malaysia dilaporkan menjadi negara tujuan populer sindikat kejahatan perdagangan untuk mengirim korban-korban perdagangan manusia, terutama korban-korban dari Myanmar, Kamboja, China, Indonesia, Laos, Filipina, dan Bangladesh.
Dalam kasus perdagangan manusia atau kejahatan terhadap manusia, individu dijadikan sebuah komoditas ekonomi yang dieksploitasi secara fisik dan psikologis. Jika kita pahami secara menjauh, yang menjadi alasan individu yang terjebak dalam kejahatan perdagangan manusia kerap kali memiliki alasan klasik, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup atau mencari pendapatan. Seringkali yang menjadi korban perdagangan manusia adalah kaum ekonomi lemah yang tidak memiliki posisi tawar dalam kehidupan. Mencari pekerjaan adalah suatu hal yang cukup sulit, apalagi mendapatkan penghasilan yang layak demi bertahan hidup pada kondisi sosial masyarakat yang penuh kompetisi. Dan sudah barang tentu fenomena seperti ini hanya terjadi pada masyarakat di negara-negara berkembang yang cenderung menjadi korban, namun juga imigran gelap di negara-negara maju.
Jurang kemiskinan di negara-negara berkembang semakin tinggi. Kemiskinan di negara-negara berkembang menigkat tajam karena karena tingginya jumlah hutang luar negeri yang harus dibayar setiap tahunnya sehingga pembayarannya telah menghabiskan sebagian besar pendapatan negara. Di sisi lain, investasi asing tidak mampu mencitakan dan memperluas lapangan pekerjaan. Bahkan kebijakan peringanan dan penghapusan pajak bagi korporasi transnasional (MNC) justru menyebabkan pengurangan anggaran bagi kebijakan-kebijakan sosial (social spending). Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi tampaknya menjadi epidemi yang melanda dunia. Berdasarkan data PBB dalam Human Developnment Report tahun 2000 dan tahun 2002, pendapatan satu persen orang terkaya dari penduduk dunia setara dengan 57% pendapatan orang termiskin. Jurang kemiskinan antara 20% orang terkaya dan 20% orang termiskin di dunia meningkat dari 30:1 di tahun 1960, ke 60:1 di tahun 1990, meningkat menjadi 74:1 di tahun 1999, dan bahkan diprediksimeningkat ke angka 100:1 di tahun 2005.
Oleh sebab itu kondisi ekonomi lemah yang yang dihadapi masyarakat dapat menjadi faktor pendorong masing-masing individu untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Dengan harapan pendapatan mereka dapat mencukupi biaya hidup dan sebagai modal usaha. Sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan yang tentunya tidak memiliki pendidikan tinggi, keahlian profesi, dan pengetahuan cukup tentang prosedur menjadi tenaga kerja di luar negeri. Negara yang belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya mendorong mereka mencari penghidupan dengan berbagai cara meskipun hal tersebut membawa mereka menjadi sebuah komoditas ekonomi yang tidak manusiawi.
Lemahnya peran dan kontrol pemerintah (Law Enforcement) membuat kasus perdagangan manusia kian rumit. Contoh kasus perdagangan manusia di Indonesia, pada dasarnya juga melibatkan dan dimainkan oleh para ‘calo’ dengan dalih badan kerja sama pencari tenaga kerja yang telah memiliki akses ke luar negeri. Korban perdagangan manusia, sering terperdaya dengan rayuan/bujukan gaji yang besar, dan hidup yang lebih sejahtera dibandingkan saat ini yang mampu membuat korban tergoda untuk mengikuti kehendak para calo sehingga dengan mudah mereka pergi ke negara tujuan tanpa mengetahui secara pasti bagaimana kondisi kerja dan situasi dunia kerja di luar negeri. Adapun pekerjaan yang ditawarkan sebagian besar adalah sebagai buruh yang bekerja pada wilayah domestik (rumah tangga), restoran, hotel, industri, atau yang lebih buruk diperkerjakan sebagai perempuan pekerja seks komersial (PSK).
Dalam kejahatan transnasional dibalik fenomena globalisasi, manusia telah diperdagangkan sebagai eksploitasi buruh, pernikahan, pengemis, jasa sebagai tentara anak-anak, dan juga penjualan organ. Kasus ini telah eksis di berbagai belahan negara dunia. Kejahatan perdagangan manusia juga muncul sebagai sebuah kasus yang dihasilkan dari mekanisme permintaan dan penawaran pasar. Kejahatan perdagangan manusia juga semakin meningkat seiring dengan maraknya perpindahan manusia lintas negara (migrasi).