#catatanperjalanan
Jika saja fajar telah menyingsing, kami akan melanjutkan lagi perjalanan kami. Tapi fajar belum juga menyingsing, kami tertahan di suatu tempat. Dan kami masih berharap pada satu hal yang sama: biarkan kami hidup dengan senyuman.
Cahaya lampu merkuri di depan Stasiun Ketapang terlihat sendu, ia menempa dedaunan dari pepohonan yang berdiri menjajar tepat di muka stasiun. Aku berjalan tertatih dan menyadari waktu telah berada pada pukul 00.15.
Semakin larut beban tas ransel yang kubawa semakin berat saja. Aku sudah membawa beban ini sejak dari Terminal Ubung Denpasar Bali. Betapa pun ini awalnya tidak terasa berat, namun saat turun dari KMP Nusa Dua yang mengantarkanku dari Pelabuhan Gilimanuk ke Pelabuhan Ketapang, tas ransel ini jadi semakin berat. Mungkin saja aku keletihan.
Saat melangkahkan kaki ke areal stasiun paling ujung di tanah Jawa bagian timur ini, aku sudah yakin bahwa stasiun tidak beroperasi pada waktu-waktu selarut ini. Aku mencari tempat beristirahat untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta pada pukul 06.00 pagi dengan K.A Ekonomi Sritanjung.
Rasa letih menggelayutiku, aku benar-benar membutuhkan tempat untuk istirahat. "Hoi, mas. Sini!" Seorang lelaki dari samping stasiun memanggilku seraya melambaikan tangannya kepadaku. Aku ingat, dia lelaki yang ada satu kapal feri denganku. Aku pun melangkah menuju lelaki itu.
"Ayo istirahat di sini," katanya kepadaku. Lelaki itu duduk di salah satu pelataran yang biasa jadi pintu masuk saat stasiun beroperasi. Di situ, ada beberapa orang lainnya, yaitu seorang lelaki tua berjaket hitam lusuh, seorang ibu, dan seorang perempuan muda. Tampaknya mereka adalah keluarga.
Mereka dengan ramah mempersilakan aku untuk istirahat. Si perempuan muda tengah menyapu lantai di pintu masuk stasiun itu. Sementara perempuan yang tampaknya adalah ibunya tengah menggelar karpet yang cukup besar, tentu saja untuk istirahat.
Setelah karpet tergelar, si ibu mempersilakan aku untuk istirahat di karpet tersebut. Setelah aku meletakkan tas ransel dan duduk di karpet itu, ibu itu bercerita bahwa karpet yang tampak kotor itu adalah pemberian dari majikannya sewaktu ia hendak diberhentikan untuk bekerja.
Alasannya, si majikan tidak lagi membutuhkan jasanya. Ia pun bersama keluarganya lalu memilih pulang ke Pasuruan ketimbang di Bali dengan tanpa pekerjaan. Sebelumnya, suaminya dan kedua anak lelakinya sesekali menjadi tukang bangunan, namun itu pun tak berlangsung lama sehingga banyak waktu terbuang karena menganggur dan tanpa uang.
"Istirahat di sini nak, tapi maaf karpetnya kotor," kata ibu itu kepadaku. Aku pun mengucapkan terimakasih dan tidak ambil pikiran dengan kotornya karpet itu. Malam di Ketapang ini terlampau dingin, angin malam tidak henti-hentinya berhembus di deaunan pohon-pohon, tidur di atas karpet itu pasti akan sedikit menghangatkan, pikirku.
Lelaki yang tidak seperti anggota keluarga itu juga menceritakan masalah yang sama di Bali. Ia sengaja pergi ke Bali dari Bandung untuk mencari pekerjaan yang semula ditawarkan seorang kawannya. Namun, sesampainya di Bali, kawannya tidak memberikan jalan apa pun untuk dirinya agar mendapatkan pekerjaan.
"Teman saya itu brengsek, dua kali saya datang ke Bali, tapi nggak juga dapat kerjaan," katanya mengumpat.
Ia pun menyimpulkan, bahwa yang paling menghasilkan di Bali adalah andaikata ia bisa melakukan bisnis pelacuran. Ia merasa yakin hal itu bisa membuatnya memiliki uang yang cukup banyak.
Mendengar hal ini, aku hanya terdiam. Terlintas satu kejanggalan dalam ucapannya, ia tampak marah dan mendendam. Hal ini membuatnya terus berkata-kata kepadaku dan keluarga dari Pasuruan itu. Keluarga itu tampaknya tidak banyak mau mengerti apa yang dikatakan lelaki berlogat sunda ini. Begitu juga denganku.
Saat itu, datang lagi dua orang lelaki, satu di antaranya menenteng kantong plastik berwarna merah transparan berisi gorengan, satu lainnya menggendong seorang bocah berkepala plontos karena koreng di kepalanya.
Ketika lelaki pembawa kantong plastik meletakkan plastik itu di tengah-tengah karpet yang tergelar seraya mempersilakanku untuk ikut menikmati gorengan di dalamnya, kontan anak plontos itu tergelak dan ingin meraih kembali kantong plastik itu.
Karena hal itu, ibunya lalu menasehatinya agar mau berbagi gorengan denganku dan lelaki yang duduk di sampingku yang tentu bukan anggota keluarga mereka. Anak berumur dua tahunan itu pun mau, dan tersenyum dengan lucunya kepadaku.
"Ayo nak, gorengannya dimakan sama-sama," kata si ibu kepadaku dengan logat maduranya. Aku pun meraih satu gorengan dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Aku sadar betapapun keluarga ini dalam keadaan susah, mereka tak segan untuk berbagi.
Lelaki yang tadi menggendong anak plontos lalu berkata bahwa ia diperingatkan oleh pedagang gorengan untuk berhati-hati bila tidur di pelataran yang kami gunakan untuk istirahat ini. Pasalnya, kemarin seorang lelaki kehilangan dompet dan ponselnya gara-gara ia beristirahat dan terlelap tidur tanpa sadar copet menggerayangi kantongnya dan mengambil barang berharha miliknya.
Malam semakin larut dan semakin membuat tubuh menggigil. Sesekali terdengar lenguh panjang kapal dari arah Pelabuhan Ketapang. Semua anggota keluarga itu telah berbaring untuk istirahat. Aku pun istirahat dan ikut berbaring di pinggiran karpet besar yang tergelar.
Semua orang di dekatku telah tidur terlelap. Entah mengapa hanya aku yang belum. Aku terlalu gelisah dengan cerita pencopet yang berkeliaran di stasiun ini dan memanfaatkan keletihan para musafir.
Aku pikir mereka brengsek dan pantas dihukum. Malahan, aku ingin mengerjai pencopet itu dengan berpura-pura tidur lalu menangkapnya saat mereka mencopet dan mengira semua orang terlelap. Aku akan memukulinya sesuka hatiku.
Di balik itu, aku heran kenapa tak satu pun polisi ataupun semacamnya ada untuk menjaga fasilitas publik seperti stasiun dari copet-copet kurang ajar itu. Bukankah masyarakat harus dilindungi? Tak heran sepertinya bila itu tidak ada dan tidak dilakukan di negara ini.
Dan benar saja, dengan keyakinan yang kuat aku mengira beberapa orang yang bersliweran sembari pura-pura berbicang lewat ponsel itu punya niat jahat. Mereka memandangi orang-orang yang terlelap tidur karena keletihan. Ketika pandangannya bertemu dengan pandanganku, ia langsung memalingkannya ke arah lain. Terlihat sekali mereka punya niat jahat.
Karena hal ini, aku tidak juga bisa terlelap dan terus waspada. Padahal mata ini semakin berat saja, dan keletihan membuat badanku tergeletak nyaman. Angin malam menerpa dedaunan, membuatnya bergoyang dan timbulkan suara desir yang membuat udara kian dingin.
Aku tetap terjaga memeluk sendiri badanku, seraya menunggu matahari terbit di malam selarut itu. Aku berdoa semoga esok bisa kulanjutkan lagi perjalananku yang terhenti ini.
Ya Tuhan, aku letih sekali... (habibi hidayat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H